Sabtu, 19 Januari 2013

Saraswati -Nyanyian Dharma-


Saraswati...

Seindah Nada yang kulantunkan, semanis paras yang kau tampilkan...
Aku bisa berjalan di bulan, menyelam di bumi karena Engkau
Membelah lautan, melayang di udara, itu semua hanya karena Engkau

Diriku bisa berbuat dan berpikir, Saraswati rupa maha suci
Sinari dunia dengan teratai cinta
Pujaanku Mahadewi Saraswati

Untaian Nada, yang kulantunkan, di hatiku seperti rindu

Song by: Gus Wicak

"Lirik lagu ini jika diperhatikan serius, bermakna sangat dalam. Penggambaran Dewi Saraswati beserta peranannya dalam kehidupan manusia ditampilkan dengan sangat indah. Yah begitulah selayaknya manusia memandang ilmu pengetahuan, sebagai sosok indah yang menjadi idaman untuk menerangi kita dari kegelapan (awidya)."

Sabtu, 12 Januari 2013

Kisah seru HUT XX FPMHD-UNUD




 
Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Udayana (FPMHD-UNUD)  merupakan suatu organisasi yang bernafaskan Hindu di Lingkungan Universitas Udayana. Sebagai sebuah organisasi, layaknya manusia lahir kedunia, FPMHD-UNUD juga memiliki hari lahir/hari jadi, dan kini FPMHD-UNUD telah berusia 20 tahun  yang jatuh pada tanggal 28 Juni. Pada ulang tahun yang 20 ini perayaannya diselenggarakan sangat meriah dengan melaksanakan beberapa kegiatan seperti, tirtayatra yang di laksanakan di pulau seberang sana “Nusa penida” dengan melaksanakan persembahyangan bersama para panitia dan anggota Forum sendiri, tirtayatra ini melaksanakan persembahyangan di Pura Goa Giri Putri, Pura Puncak Munggu, Pura Dalem Krangkeng dan Pura Dalem Ped.
Acara berikutnya adalah Malam keakraban yang dilaksanakan di Gedung pramuka Quartir daerah bali, Renon, kegiatan ini merupakan kegiatan rutin yang di lakukan oleh FPMHD-Unud yang bertujuan untuk menjalin rasa kekeluargaan dan keakraban anggota dengan sesama anggota, kemudian dengan Alumni FPMHD dan juga para organisasi luar yang bernafaskan Hindu yang ada di lingkungan universitas maupun di luar universitas di Denpasar seperti KMHD Bali, KMHD Badung dan KMHD Unwar.
Kemudian dilanjutkan dengan diadakannya kegiatan baktisosial yang diadakan di panti asuhan Sunya Giri dengan menyumbang berbagai keperluan yang sekiranya bisa membantu kehidupan anak panti asuhan disana.
Kegiatan yang terakhir merupakan kegiatan yang paling megah di HUT ini yaitu Fun Bike di Lapangan Parkir Gedung PWI Bali, Lumintang. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang sangat meriah dengan melibatkan bukan hanya dari intern forum dan kampus Universitas Udayana kegiatan ini juga melibatkan masyarakat Umum dan dimeriahkan bintang papan atas Bali yaitu “KIS”. Hadiah utama yang begitu menarik pada acara Fun Bike kali ini  yaitu 20 unit sepeda, TV ber-warna, mini-compo, DVD player, dispenser dan Puluhan hadiah menarik lainnya di dalam acara ini  2000 tiket yang terjual dengan mendapatkan snack dalam satu tiketnya. Itulah serangkaian acara yang dilakukan FPMHD-Unud dalam merayakan Hari Ulang Tahunnya. Seru kan temen-temen ?? jangan kelewatan dech mengikuti acara ini dan bergabung menjadi anggota aktif FPMHD, pasti seru !!!!!!!!!

Penulis Oleh: I Made Adi Sudiatmika (Fakultas Teknik Jurusan Elektro)

Implementasi Filosofi Catur Warna Sebagai Hakekat Manusia Hindu (Sebuah Opini Praktis)



 
Om Swastiastu…
Om Anobadrah Kratevo Yantu Visvatah…

              Di suatu ketika, seorang sahabat baik saya yang berbeda keyakinan dengan saya bertanya satu hal, “Putu, kamu itu orang yang berkasta apa sih ?”. Apa reaksi saya ketika mendapat pertanyaan seperti itu ? saya dengan polosnya menjawab, “wah, saya tidak tahu”, lalu dia berkata, “lho..? kok bisa begitu ?” dan saya pun menjawab, ”iya, karena saya sudah hampir 9 tahun menimba ilmu di sebuah Pasraman, tapi saya tidak pernah mendapat ajaran mengenai kasta, tetapi yang saya dapat adalah Catur Warna”. Mendengar pernyataan saya tersebut dia kembali bertanya, “oh begitu ? apa kamu bisa jelaskan kepada saya seperti apa Catur Warna itu ?”. Mendengar permintaan sahabat saya itu, saya sungguh tertarik untuk menjelaskan, namun apa yang saya jelaskan kepadanya itu hanya sebuah OPINI saya tanpa menghilangkan esensi ajaran Catur Warna itu sendiri. Ketika membicarakan sebuah opini, maka pastinya belum tentu berlaku bagi pemikiran orang lain, namun itulah indahnya kehidupan yang penuh dengan perbedaan.
             

              Secara umum pengertian Catur Warna itu sendiri adalah penggolongan masyarakat berdasarkan pekerjaannya. Empat golongan yang dimaksud antara lain:
·   Brahmana: yaitu golongan rohaniawan, seperti pendeta, guru agama ataupun pemuka agama.
·   Ksatria: yaitu golongan masyarakat yang menggerakkan roda pemerintahan, pelindung masyarakat seperti pejabat negara, birokrat, gubernur, bupati, polisi ataupun tentara.
·   Waisya: yaitu golongan masyarakat yang menggerakkan roda perekonomian, seperti pedagang, pengusaha (wirausahawan) dan sebagainya.
·   Sudra: yaitu golongan masyarakat yang membantu/melayani ketiga golongan di atas.
Secara umum, memang seperti itulah pengertian Catur Warna yang telah diajarkan dalam agama Hindu. Akan tetapi, apabila dilihat secara logika sesungguhnya ajaran Catur Warna memiliki filosofi yang sangat luhur. Filosofi tersebut hendaknya menjadi suatu hakikat bagi manusia hindu. Dengan kata lain, filosofi Catur Warna merupakan wujud keluhuran agama Hindu.
              Seperti apakah filosofinya? sebagai manusia Hindu, hendaknya kita menjadikan ajaran Catur Warna sebagai bagian dari diri kita. Maksudnya adalah keempat unsur Catur Warna itu hendaknya selalu ada di dalam diri setiap manusia. Hal ini dikarenakan agar terciptanya keseimbangan bagi kehidupan manusia. Dengan tidak adanya batasan antar keempat unsur tersebut, maka itulah hakikat manusia Hindu yang luhur. Dalam hal menjelaskan filosofi ini, dapat dilihat dalam contoh kasus sehari-hari.
              Contoh yang paling sederhana adalah peran seorang Ayah. Untuk menjalankan roda rumah tangga agar terus dapat berputar dengan baik, filosofi Catur Warna hendaknya selalu ditanamkan oleh seorang ayah. Pertama, seorang ayah harus mampu membangkitkan peran Brahmana di dalam dirinya yaitu dengan cara memberikan contoh kepada istri dan anak-anaknya dalam hal Sembahyang. Selain itu pula seorang ayah juga harus, mampu mengajarkan anak-anaknya untuk sembahyang serta menjelaskan berbagai ajaran agama kepada anak-anaknya. Mengapa demikian? karena peran tersebut tidak hanya dilakukan oleh para guru agama, melainkan seorang ayah juga harus mampu menjalankan peran tersebut. Kedua, seorang ayah juga harus mampu menjalankan peran Ksatria. Seorang ayah harus mampu menjadi pemimpin yang baik dalam keluarga. Sebuah keluarga tentunya memiliki tujuan yang baik, yaitu menjadi keluarga yang berbahagia, maka di sinilah jiwa kepemimpinan sang ayah harus terus dibangkitkan agar roda rumah tangga terus berputar di jalan Dharma. Ketiga, seorang ayah juga harus menjalankan peran Waisya dengan cara mengatur roda perekonomian keluarga sebaik-baiknya. Seorang ayah harus bijaksana dalam mengatur keuangan keluarga, agar perekonomian keluarga tidak akan terputus sehingga mempu menjadikan keluarga yang sejahtera. Keempat, peran terakhir adalah Sudra  di mana seorang ayah harus juga mampu melayani berbagai kebutuhan atau kepentingan istri dan anak-anaknya. Umumnya, orang-orang awam menganggap “rendah” warna Sudra, tapi justru peran Sudra sangatlah vital bagi diri seseorang. Warna sudra akan menjadikan seseorang jauh dari rasa egois atau mementingkan diri sendiri. Peran Sudra sebenarnya secara filosofi adalah bentuk lain dari kalimat “manusia adalah makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan”.
              Dari contoh sederhana di atas, sebenarnya kita dapat menyimpulkan secara global filosofi ajaran Catur Warna yang seharusnya diterapkan sebagai hakikat manusia Hindu. Sebagai manusia Hindu, hendaknya kita selalu menjunjung ajaran-ajaran Dharma, caranya cukup sederhana yaitu kita mempelajari dan meng-implementasikan ajaran-ajaran agama Hindu, menjalankan sembahyang, dan lain sebagainya. Selain itu kita harus membangkitkan jiwa kepemimpinan kita, terutama dalam memimpin diri sendiri (Lead Yourself). Kemampuan dalam memimpin diri sendiri itu sangat besar pengaruhnya terhadap jalan kehidupan kita. Yang paling sederhana adalah minimal kita mampu memimpin diri kita agar kita jauh dari sifat-sifat buruk/sifat yang harus dijauhi. Selain itu kita juga harus mampu mengatur kebutuhan jasmaniah kita seperti kita harus mampu mengelola keuangan sesuai dengan yang kita butuhkan, bijaksana dalam menggunakan uang agar terwujudnya hidup yang sejahtera. Dan yang terakhir, kita tidak boleh bersikap egois atau mementingkan diri sendiri, karena kita juga harus turut membantu orang lain yang membutuhkan kita serta mampu melayani orang lain.
              Demikianlah kiranya, agar tidak mengkotak-kotakkan ajaran Catur Warna, hendaknya filosofi bahwa Catur Warna adalah Warna di dalam setiap diri manusia harus terus ditanamkan agar terwujudnya keseimbangan hidup secara jasmani dan rohani. Apabila salah satu Warna tidak dijalankan, maka tentunya terjadi ketidakseimbangan hidup dan menurut saya hal itu harus dihindari. Menjadi manusia Hindu yang religius, mampu menetapkan arah kehidupan yang baik, mampu secara bijaksana mengatur kebutuhan duniawi serta mampu melayani dan membantu orang banyak merupakan bentuk-bentuk lain dari hakikat manusia Hindu sesungguhnya.


Ikang Dharma Inaranan Widhi…
Dharma Raksatih Raksitah…
Satyam Eva Jayate…

Om Shanti, Shanti, Shanti Om…
Oleh: Ngk Purnaditya (Mahasiswa Teknik Sipil Angkatan 2008)

Resensi Buku: Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali



M
Judul Buku        : Dinamika Masyarakat
                          dan Kebudayaan Bali
Penulis             : I Gde Pitana (Editor)
Penerbit            : BP
Tebal Buku        : 186 + xv
Bagian Kedua    : Dinamika Manusia Bali
(Manusia Bali di Persimpangan Jalan
Oleh Nyoman Naya Sujana)

 
Manusia Bali saat ini berada di tengah perubahan sosial dan budaya, serta berhadapan dengan arus globalisasi yang deras dan intensif, yang diperkirakan akan meruntuhkan manusia dan kebudayaan Bali. Keseimbangan sistem nilai mulai terguncang, struktur sosial mengalami tantangan berat, dan manusia Bali mengalami proses perubahan-perubahan internal yang mencemaskan. Posisi manusia Bali dalam realitas empiris sangat berbeda dengan realitas normatif. Kini manusia Bali menghadapi tantangan yang berat dan kompleks, dalam masyrakat dan kebudayaan yang sedang berubah. Maka salah satu persyaratan yang harus dimiliki adalah iman (sraddha) yang mantap. Manusia Bali memiliki budaya mengendalikan diri yang sangat tinggi dan mendalam.
Manusia Bali adalah manusia etnis Bali, yaitu sekumpulan orang-orang yang mendiami pulau Bali, yang memiliki kesadaran tentang kesatuan budaya Bali, bahasa Bali dan kesatuan Agama Hindu yang membuat etnis Bali memiliki emosi etnosentris kebalian relatif lebih kuat, yang memiliki karakter dan sifat manusia Bali yang dianggap dominan adalah terbuka, ramah dan luwes, jujur, kreatif dan estetis, kolektif, kosmologis, religius, dan moderat.
Manusia Bali memiliki keyakinan ajaran agama yang kompleks dan memiliki struktur sosial dalam bentuk kasta, maka manusia Bali selalu diharapkan memiliki sifat potensial dalam menghadapi persaingan yang ketat, karena itu manusia diharapkan memiliki sifat yang dikenal dengan sifat jengah. Hal ini yang menjadi ciri budaya manusia Bali yang unik dan memiliki sifat patrilineal yaitu memposisikan nilai lebih laki-laki lebih bermakna dan lebih tinggi daripada posisi dan nilai-nilai perempuan. Dari perspektif mikro manusia Bali memiliki sifat multi-dimensional antara lain sebagai manusia religius, manusia budaya, manusia sosial, manusia simbolis, manusia estetis, manusia politis, dan manusia ekonomis.
Manusia Bali tradisi bertolak dari teori sosial bahwa manusia pada awalnya melakukan aktivitas kreatif dan aktivitas yang kontinu untuk menciptakan masyarakat dan kebudayaan. Sekarang masyarakat dan kebudayaan mem-pengaruhi dan menentukan manusia lewat nilai-nilai (baik dan buruk). Kebudayaan Bali telah berfungsi secara aktif memenuhi segala kebutuhan manusia Bali.
Sedikitnya terdapat 15 proses sosial dan budaya yang menghanyutkan, bahkan menenggelamkan manusia Bali, di antaranya pada point 3 yaitu proses estetik klasik menuju estetik modern, manusia Bali mengalami improvisasi dan modernisasi. Point 4 adalah proses budaya klasik yang spiritual menuju budaya pasar yang menipiskan sikap kebaliannya dengan menyontoh produk luar. Lingkungan sosial dan budaya tradisi telah membentuk dan mempengaruhi sifat, sikap dan perilaku manusia Bali.
Guncangan menuju akar budaya. Untuk memahami guncangan yang ditimbulkan oleh proses sosial dan budaya menuju akar-akar budaya Bali, memakai pendekatan falsifikatif. Ada fenomena sosial yang dianggap mengancam dan mengarahkan kepada akar budaya Bali, antara lain munculnya peralihan batiniah, dalam kasus semakin banyak manusia Bali beralih ke agama baru.
Manusia Bali dihadapkan persoalan dilematis bahwa ada keinginan mempertahankan akar budaya yang total yang bernafaskan religius tetapi di pihak lain ingin membangun kebudayaan industri yang mengutamakan sains dan teknologi. Maka diperlukan kewaspadaan dari setiap manusia Bali untuk mengantisisipasi perubahan.
Dalam perkembangan berikutnya generasi muda Hindu telah memiliki kegairahan untuk merekonstruksi budaya dan adat Bali, serta melakukan revitalisasi dalam pemahaman dan penghayatan Agama Hindu, karena Agama Hindu merupakan unsur budaya universal yang menjadi jiwa (spirit) dari kebudayaan Bali.
Mendambakan manusia Bali modern yang memiliki sikap optimistis untuk menatap masa depan yang lebih pasti, mampu meng-akomudasikan kebudayaan Bali dan memiliki kemantapan hati dan iman akan mencapai tahapan kehidupan sejahtera yang penuh keseimbangan.


Analisis


Ulasan dari manusia Bali di persimpangan jalan secara gamblang menjelaskan manusia Bali dan sekaligus membandingkan manusia dulu dan sekarang (saat buku ini ditulis). Akan tetapi yang menjadi persoalan dan sekaligus pertanyaan adalah: Apakah manusia Bali saat ini dengan delapanbelas tahun yang lalu yaitu pada tahun 1994 pada saat buku ini ditulis masih sama orientasi pemikirannya, karena pada dasarnya manusia dalam hidupnya memiliki sifat dinamis yang selalu berubah.
Dari uraian yang tersurat dalam buku tersebut tampak penulis bersikap pesimistis dalam mengamati perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia Bali. Ini tampak jelas seperti pada halaman 45. Pada bagian pendahuluan disebutkan bahwa manusia Bali kini berada di tengah perubahan sosial dan budaya, atau di bawah pergeseran struktur sosial, dan berhadapan dengan arus globalisasi yang deras dan intensif, yang diperkirakan akan meruntuhkan manusia Bali dan kebudayaan Bali. Akan tetapi pada bagian lain dikatakan bahwa manusia Bali transisi masih tetap berpedoman pada akar budaya dan agamanya. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat I Gusti Ngurah Bagus dalam epilognya (hal. 177), jika manusia Bali tetap berdasar pada faktor sistem nilai budaya yang dimiliki lewat gagasannya sikap optimis yang dipancarkan karena akan mampu meredam goncangan dengan berbagai permasalahan yang dihadapi dan terwujudnya manusia Bali modern.
Manusia Bali memiliki budaya pengendalian diri yang sangat kuat serta mendalam yang tercermin lewat mantra-mantra suci, sayangnya hal ini berdasarkan kenyataan yang dimiliki oleh seluruh manusia Bali kemungkinan hanya sebagian dari manusia Bali yang memiliki budaya tersebut. Hal ini diperkuat pula dalam buku Perempuan Bali Kini, (Suryani, 2003: 7), bahwa dari pariwisata selain mempunyai dampak positif juga dampak negatif, terbukti dengan banyak anak-anak muda pergi ke diskotik, meminum minuman beralkohol, karena mereka ingin dianggap sebagai orang modern, mengkonsumsi narkoba tanpa takut akibatnya, dalam pemahaman sex sudah mulai bergeser.
Salah satu ciri manusia Bali adalah memiliki kesadaran terhadap ajaran yang termuat dalam kitab suci Agama Hindu. Dalam kenyataannya tidak demikian karena agama yang dipeluk oleh manusia Bali sama dengan agama yang dipeluk masyarakat di luar Bali. Ini sebenarnya bertolak belakang dengan pernyataan bahwa menurut pendekatan antropologis “manusia Bali” adalah sekumpulan orang-orang yang mendiami suatu wilayah tertentu, khususnya pulau Bali (hal. 48). Dalam buku Bali Tikam Bali dinyatakan orang Bali kalau diomongin semakin asyik. Ia merupakan sumber pembicaraan, pusat pembahasan tiada habis, semakin ditelusuri kian menggugah tambah membuat kita tak hendak melepaskannya. Menelusuri liku-liku manusia Bali seperti mengikuti alur yang membelit bercabang-cabang seperti lorong yang nyata, namun tak jelas ke mana ujungnya, atau mereka memang etnik yang tak punya akhir (Soetama, 2004: 51). Maka hendaknya dalam ciri tersebut ditambahkan kata mayoritas sehingga menjadi mayoritas beragama Hindu.
Ciri yang dominan manusia Bali di antaranya ramah dan luwes. Dalam kenyataannya secara empirik dari keramahan manusia Bali akan dapat merugikan diri sendiri karena masyarakat dari etnis lain semakin ramai memadati tempat strategis dalam segala bidang. Yang akan terjadi manusia Bali akan tersingkir, yang hanya menempati tempat-tempat pinggiran seperti pengalaman-pengalaman sejarah yang telah membuktikannya. Disatu sisi budaya ramah manusia Bali yang sering diekspresikan lewat ajakan atau tawaran seolah-olah terkesan basa-basi dalam pergaulan.
Pada guncangan-guncangan yang menuju pada akar budaya, disebutkan ada 7 fenomena sosial yang dianggap mengancam. Seperti pada point 3 (hal. 63), bahwa berdasarkan kasus yang menonjol makin banyak manusia Bali beralih ke agama baru. Hal ini yang perlu lebih dahulu disepakati dalam pembahasan ini adalah agama baru atau aliran kepercayaan. Karena menurut hemat saya bahwa antara agama dan aliran kepercayaan ada sedikit perbedaan, walaupun keduanya ada persamaan dalam hal keyakinan. Di Indonesia hanya ada 5 agama yaitu: Agama Islam, Agama Kristen Katolik, Agama Kristen Protestan, Agama Hindu, dan Agama Buddha. yang diakui oleh pemerintah, sehingga selain tersebut di atas termasuk dalam aliran kepercayaan yang mengatasnamakan serpian-serpian dari agama tertentu. Memang yang terjadi di Bali banyak bermunculan aliran-aliran kepercayaan.
Dari pandangan dan analisis de-kontruksionisme yang mengajak kita untuk mengamati kebudayaan dan dinamikanya, sebagai dicontohkan bahwa bentuk ritus agama kurang dipahami maknanya, serta kesenian sakral yang semakin kehilangan penggemarnya. Sesungguh-nya hal ini tidak perlu dirisaukan karena yang terjadi di lapangan masih banyak manusia Bali yang mampu memahami dan memaknai bentuk ritus bahkan makna dan simbol-simbol tentang Agama Hindu, masih banyak dijumpai dalam upacara-upacara agama misalnya yang me-nampilkan tari sakral, tidak pernah luput dari ramainya masyarakat penonton. Apalagi dengan adanya siaran TV swasta (Bali TV, Dewata TV) misalnya yang selalu menayangkan acara siraman rohani (Agama Hindu) dengan berbagai ulasan yang menarik untuk disimak, maka program tersebut sesungguhnya dapat dipakai untuk menjawab permasalahan tersebut.
Dalam buku Tafsir Kebudayaan (Geertz, 1992: 137), yang mengisiyaratkan bahwa sesungguhnya manusia Bali meskipun pada kelompok minoritas di Indonesia tetapi mereka kuat dengan prinsip, dan tetap mempertahankan agama yang diwarisi dari leluhurnya. Maka dikatakan bahwa manusia Bali tidak mungkin menjadi muslim atau kristen dalam jumlah besar. Karena di mata manusia Bali ini sama artinya dengan berhenti menjadi orang Bali.
Dengan demikian sikap optimis manusia Bali yang mendambakan modern dengan menerima pengaruh budaya luar secara dinamis namun selektif untuk menatap masa depan yang lebih baik dan pasti, mampu mengakomudasikan kebudayaan Bali dan memiliki kemantapan hati dan iman akan mencapai tahapan kehidupan sejahtera atau penuh keseimbangan lahir dan batin akan dapat terwujud.

Dirangkum oleh: Redaksi



Resep Bli I Gusti Putu Artha



Ada pertanyaan menggelitik yang menarik diajukan kepada seorang I Gusti Putu Artha. Bagaimana rahasia ia yang awalnya seorang mahasiswa miskin lalu bisa melesat menjadi tokoh nasional dan kini hidup relatif mapan? Kiat-kiat apa yang dikembangkannya ketika mahasiswa sehingga memampukannya seperti sekarang? Berikut resepnya yang disajikan dengan gaya saya.

Saat ini saya percaya bahwa kampus sejati itu adanya di masyarakat. Jika mahasiswa menimba ilmu di kampus hari ini, semata-mata agar bisa membuat pancing. Namun pancing itu harus diolah, dikreasi dan dicarikan danau yang penuh ikannya, serta cukup konsentrasi memancing. Itu ada di masyarakat. Maka, saya juga percaya bahwa benar kata sebuah kata bijak, sukses seseorang ditentukan 10 persen kecerdasan, selebihnya (90 persen) adalah kerja keras!
Karena itu, selagi mahasiswa, hemat saya mesti menyiapkan diri untuk bisa membuat pancing memiliki kemampuan untuk memancing. Seluruh kapasitas kecerdasan di-kembangkan, baik kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual. Seluruh dimensi kecerdasan itu memegang peran penting sama besarnya.
Kecerdasan intelektual di-kembangkan dengan serius belajar. Boleh bolos kuliah tapi tak boleh tak serius belajar. Malah, jangan hanya puas ceramah dosen namun terus mengasah diri dengan melahap sumber-sumber bacaan lain. Ke-cerdasan intelektual dikembangkan dengan rajin berdiskusi dan menulis. Ya menulis di Koran, di blog, di facebook dan menulis makalah. Semua ini merangsang kecerdasan intelektual.
Kecerdasan emosional dan sosial dikembangkan dengan ikut berorganisasi. Pilihlah organisasi yang mampu mengasah kualitas kepemimpinan, komunikasi, keterampilan sesuai dengan bidang yang ditekuni dan mengenalkan dengan jaringan baru. Melalui keseriusan berorganisasi, tak hanya keterampilan teknis yang dilatih (bisa membuat surat, melobi orang, bernegosiasi, dan lain-lain) namun kepekaan batin, rasa peduli dan kesetiakawananan dikembangkan. Mahasiswa akan dilatih menjadi mahasiswa yang bisa menghargai sesama, peka terhadap masalah orang lain, memiliki etos kerja yang tinggi, dan optimis yang kuat.
Kecerdasan spiritual dilatih dengan ikut bergabung ke FPMHD bagi yang beragama Hindu. Kualitas spiritual akan diasah terus dan komitmen moralitas kita soal kejujuran, kebenaran dan cinta kasih kepada sesama akan dikembangkan. Kelak kualitas spiritual yang tangguh ini akan menjadi benteng terakhir betapapun rapuhnya kecerdasan sosial dan intelektual kita. Mereka yang memiliki kecerdasan spiritual yang baik akan mampu bertahan dalam performa integritas yang diakui publik.
Tatkala mengembangkan diri di organisasi mahasiswa itulah, saya menyarankan agar perkawanan dan jaringan terus dilatih dan di-kembangkan. Ketika menjadi panitia kegiatan, maka bersahabatlah dengan hangat dengan para donator berbagai instansi dan swasta yang biasa membiayai kegiatan kita. Kelak merekalah modal kawan kita untuk berbisnis saat tamat nanti. Jangan Cuma puas berteman dengan kawan-kawan satu agam. Bertemanlah lintas agama, lintas etnis dan berskala nasional bahkan internasional. Rawat betul jaringan perkawanan itu. Pada saatnya nanti jaringan perkawanan itulah yang akan membantu kita melesat bersama-sama di pentas nasional.
Pengalaman saya masuk KPU Pusat tak lepas dari jaringan perkawanan yang saya bangun zaman mahasiswa dengan kawan-kawan di UI, UGM, ITB dan kampus lainnya. Begitu peluang terbuka, jaringan perkawanan yang lebih dulu masuk Jakarta inilah yang ikut membantu secara total dalam hal akses politik. Begitu pula dalam konteks bisnis, jaringan inilah yang akan me-ngembangkan bisnis kita. Karena itu kata kucinya, rawatlah jaringan selagi muda dan perbesar terus!

Sepak Terjang Bli I Gusti Putu Artha (Alumni Sekaligus Salah Satu Pendiri FPMHD-Unud)



Nama I Gusti Putu Artha tentu tak asing lagi. Ia selalu muncul di Metro TV atau TVOne sepanjang 2008-2011 lalu. I Gusti Putu Artha, SP M.Si, anggota KPU Republik Indonesia 2007-2012 ternyata perintis kelahiran Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Udayana. Tahukah Anda, betapa kehidupan masa mahasiswanya dari nol? Keras, mandiri, penuh perjuangan dan tantangan. Ia bahkan pernah hidup dengan uang Rp 500,- selama sepekan.  Empat tahun tinggal di asrama mahasiswa dan mencari uang sendiri untuk biaya kuliahnya. Bagaimana suka duka mahasiswanya.


L
elaki muda ini menginjakkan kaki di Denpasar, 14 Juli 1985.  Artha, yang baru lulus SMA Negeri 1 Singaraja, mesti segera mendaftarkan diri. Ia diterima tanpa testing (jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan) di Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Di kelasnya, III IPA 1, dari 45 orang hanya 2 orang yang tak lolos PMDK. Ia ingat betul, 10 kawannya diterima di ITB, 6 di FK Unud, 3 di IPB dan 4 di UI. Selebihnya di berbagai kampus di Unud, Unibraw, Unair dan UGM.
Kenapa Artha memilih Fakultas Pertanian Unud? “Saya tak punya biaya kuliah,’’ katanya saat menceritakan masa lalunya beberapa waktu lalu. Ia memilih kuliah di Bali saja agar tak mahal. Karena ia jurusan IPA, ia memilih FP Unud yang saat itu memang sedang naik daun.
Pada tahun  pertama, ia indekos di Jalan Alor Nomor 10 Denpasar—di sebuah kamar yang amat sederhana. Harga kontrak Rp 100 ribu per tahun. Kamar-kamar lainnya Rp 175 ribu per tahun. Kamarnyalah yang paling sederhana: kecil, pojok dan dekat sumur. Namun ia melakoninya dengan senyum. Tiap hari ia berjalan kaki ke kampus Sudirman.
Karier perintis dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Mekar SMA 1 Singaraja dimulai dengan menjadi Koordinator Tingkat. Lalu ia dipilih menjadi Ketua Kelompok Diskusi Pancasila. Merangkak menjadi Ketua Bidang I BPM Fakultas Pertanian Unud dan memimpin Pers Kampus Akademika Unud. Puncak karier kemahasiswaaannya adalah tatkala menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa Unud pada tahun 1991 – Ketua pertama era pasca NKK/BKK. Di level ekstra kampus, Artha pernah menjadi Ketua Bidang Politik DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), lalu menjadi pengurus pleno KNPI Bali dan menjadi salah satu penggagas Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) tingkat nasional. Ia pun merintis lahirnya Majalah Khlorofil Fakultas Pertanian Unud dan juga membidani kelahiran Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Udayana.
  Mahasiswa Melarat
          Karier organisasi kemaha-siswaannya yang cemerlang itu diraihnya dengan kenyataan bahwa ia tergolong mahasiswa melarat. Sempat setahun kos sederhana, pada tahun selanjutnya ia mesti tinggal di Asrama Mahasiswa yang saat itu masih sederhana bangunannya. Satu los dihuni delapan orang. Satu tempat tidur bertingkat. Satu orang di bawah satu di atas. Ada empat kamar tidur dalam tiap los. Jika makan cukup dengan menyetor beras ke ibu asrama lalu membeli lauk seadanya.
          Ia tinggal di asrama mahasiswa karena memasuki semester III, orangtuanya jatuh miskin. Usaha jual beli buah jeruk bangkrut karena saat itu jeruk terserang penyakit CVPD. Ia sendiri sempat stress berat, tak keluar kamar hampir tiga hari gara-gara keuangan keluarganya morat marit. Ia masih bersyukur karena kakak perempuannya (kini PNS di sebuah sekolah) diterima jadi kasir di salah satu toko di Singaraja. Kakaknyalah yang sedikit banyak membantu keuangan bulanannya, walau tak cukup. “Saya ingat betul saat itu saya cuma punya baju empat, celana panjang 2, sepatu satu pasang,’’ kenangnya.
          Ada sejumlah kenangan prihatin yang masih membekas pada lulusan cumlaude  Program Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana ini. Pernah suatu ketika, pada akhir bulan, uangnya cuma tinggal Rp 500,- Ia berfikir keras agar bisa hidup seminggu dengan uang seminim itu. Akhirnya, ia pun membeli sayur kol yang rusak dan dapat empat buah. Ia buang bagian-bagian daun kol yang  rusak, lalu tiap hari selama sepekan ia masak sayur kol saja untuk menemani nasi putih  yang sudah didapatnya di asrama. Cabai dipetiknya di depan asrama.
          Pernah pula, suatu ketika, karena tak punya motor, ia naik bemo kota ke Gelogor menemui temannya. Pulangnya, ia kaget. Sisa uang Rp 150,- untuk ongkos bemo hilang karena kantong celananya bolong. Tak serupiah pun ia punya uang. Terpaksa, bersandal jepit, ia jalan kaki dari Gelogor ke Jalan Hasudin, Diponegoro dan kembali ke asrama. Saat panas matahari sedang terik pula.
          Kenangan lainnya adalah, tiap Minggu pagi ia bersama teman-teman asramanya lari pagi sambil mandi ke pantai Sanur. Nanti saat pulang, ia dan kawan-kawannya mencegat truk yang mengangkut pasir. Ikut naik dan turun di simpang empat Kimia Farma. Selalu begitu tiap Minggu pagi.
*  Mahasiswa Mandiri
Sadar kiriman uang dari Singaraja mulai tersendat, ia pun berfikir keras untuk mandiri. Ia sadar punya talenta jurnalistik karena mantan aktifis pers sekolah. Mulailah ia menggeluti pers kampus dan menulis di sana. Lumayan ia dapat honor Rp 6000,- Ia juga mencoba peruntungan menjadi penulis lepas di Koran Pedesaan Bali Post Minggu, Nusa Tenggara Minggu dan Mingguan Karya Bhakti. Lelaki yang menamatkan S2 nya dalam tempo 1,5 tahun ini, menarget dirinya tiap pekan agar bisa menulis di ketiga koran itu. Dari honor bulanan di tiga koran itulah, ia mulai bisa mengongkosi kebutuhannya sehari-hari. Namun belum bisa menabung.
Naluri bisnisnya mulai tumbuh. Ia mencoba kerja sampingan, sembari jadi wartawan juga marketing percetakan. Ia menawarkan barang-barang cetakan, kalender dan lain-lain ke sekolah-sekolah, kampus dan instansi lainnya.  Dari usaha inilah ia mulai bisa menabung. Pada semester enam, ia bisa membeli sebuah sepada motor GL 100 bekas seharga Rp 700 ribu. Dengan motor ini mobiltasnya mulai meningkat.
Begitulah, ketika kawan-kawan seasrama masih tertidur jam 6 pagi ia telah pergi dan memulai tugasnya sebagai mahasiswa, wartawan lepas, aktifis kampus dan tenaga marketing. Paling cepat pukul 23.00 Wita ia baru pulang ke asrama, mencuci pakaian, dan membuka-buka buku. Karena itulah (yang ini tak usah ditiru) Artha mengakui kalau dirinya selalu memanfaatkan syarat kehadiran minimal 75 persen di ruang kuliah, dengan efektif. Dalam arti, tiap mata kuliah pastilah ia pernah mangkir untuk alokasi berbagai kegiatannya itu sepanjang absennya tak lebih dari 25 persen.
Sadar bahwa bakat sosial dan politiknya lebih menonjol, ia lebih memilih Jurusan Sosial Ekonomi dengan konsentrasi Program Studi Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. “Sebetulnya saya ingin mendaftar kuliah di Fisipol UGM,’’ kenangnya. Namun ia sadar, keluarganya tak punya biaya, karena itu ia tetap bertahan di jurusannya itu. Karena itu, tak heran, ia sama sekali tak punya buku pertanian murni, namun malah perpustakaan pribadinya penuh buku politik, hukum, kajian budaya, komunikasi dan sosiologi.
“Saat dosen mengajar saya tak suka mencatat, namun mendengarkan penjelasan dosen. Nanti kalau mau tes tengah semester barulah saya fotokopi catatan teman perempuan yang biasanya tulisannya bagus-bagus,’’ katanya. Dengan begitu, ia mengaku bisa lebih memahami materi dosen.
  Dari Jurnalis ke Pekerja Politik
          Artha boleh disebut sebagai jurnalis. Sejak SMP – dengan kegiatan Koran dinding hingga tahun 2003—ia menekuni jurnalistik. Sebagaimana dipaparkan di atas, ia mulai aktif terlibat sebagai penulis lepas sejak tahun 1986. Itu dilakoninya hingga 2003 saat ia terpilih menjadi anggota KPU Provinsi Bali. Dari 1986 hingga 2003, karier jurnalistiknya tergolong melesat untuk generasi seusianya. Lama menjadi penulis lepas, ia sempat mengasuh halaman Pedesaan Bali Post, dan Kampus Bali Post Minggu. Setelah itu, ia dipanggil almarhum K. Nadha perintis Grup Bali Post dan diminta ikut menerbitkan Koran Sekolah Wiyata Mandala, dengan status tenaga tetap di lembaga pers terua itu. Lebih-lebih ia diberi fasilitas motor terbaru. Gara-gara menjadi tenaga tetap inilah belakangan Artha agak ogah menyelesaikan skripsinya, walau akhirnya tuntas bahkan hingga S2 pula. Ia diberi jabatan Redaktur Pelaksana Koran Sekolah itu.
Selanjutnya, ia dimutasi ke Harian Bali Post menjadi redaktur halaman nasional sekaligus di lapangan ikut memburu berita politik. Pada tahun 1998, ia bersama Nariana  sekali lagi diminta untuk merintis Koran DenPost dan menjadi redaktur pelaksananya. Sempat beberapa bulan menjadi presenter BaliTV, ia kemudian melepas atribut jurnalisnya dan banting haluan menjadi anggota KPU Bali hingga Oktober 2007 ia terpilih sebagai anggota KPU Pusat yang berakhir 12 April 2012.
 Tiga Kali nyaris Terbunuh
Perjalanan hidupnya yang keras pun dilalui dalam medan pekerjaannya. Lelaki yang zaman mahasiswa gemar berunjuk rasa ini sepanjang hidupnya nyaris tiga kali terbunuh. Dua kali ketika menjadi jurnalis dan sekali tatkala menjadi anggota KPU RI. Saat jadi jurnalis ia dan kawan-kawan wartawan pernah dikejar sekelompok simpatisan parpol di Singaraja dan dikepung dengan senjata tajam. Untung ia berhasil meloloskan diri dengan bantuan sepeda motor orang lain. Kali kedua, ia diserempet orang, hendak dijerumuskan ke got di Jalan Kepundung ketika Koran DenPost gencar memberikan masalah judi togel. Namun ia berhasil selamat. Kali ketiga saat baru menjabat dua hari  di KPU ia dan seorang komisioner lain, dikepung ribuan massa di Maluku Utara. Saat itulah ia punya pengalaman tidur di hotel dijaga panser, empat tentara dan 4 polisi.
Ia kini beristri seorang guru Dra.  Ni Nyoman Meitri dan berputra tiga orang. Anak pertama I Gusti Ngurah Raka Wedatana siswa kelas 10 di SMAN 2 Denpasar, I Gusti Ayu Widya Shanti siswi kelas 8 di SMPN 10 Denpasar dan I Gusti Ayu Wina Pramesti siswi  kelas 3 SD 17 Dauh Puri.
Di sela-sela sebagai jurnalis, Artha terus mengasah naluri binisnya. Ia mengibarkan event organizer Bali Media Agency. Dari usaha inilah ia pada tahun 1994 bisa membeli tanah 200 m2 dan pelan-pelan membangun rumah berlantai dua yang diselesaikannya dalam tempo 6 tahun.  Setelah berhenti di KPU April lalu, Artha mengibarkan bendera Ganesha consulting di Jakarta. Ia menjadi konsultan politik sekaligus menyelenggarakan bisnis MICE dengan pasar dari Aceh sampai Jayapura. Kini ia memilih bolak balik Jakarta Bali. Sepekan di Jakarta berbisnis dan sepekan di Bali bersama keluarga.
Tidakkah ia tertarik ke politik praktis?  “Tiga parpol besar memang berhasrat mengajak saya bergabung,’’ katanya. Namun ia mengaku belum berminat ke parpol karena menyadari betapa dinamika di parpol demikian keras, butuh biaya besar dan konsistensi perjuangan. Ia lebih memilih lima tahun ke depan untuk berwirausaha sembari menyediakan lebih banyak waktu untuk anak-anaknya yang kini beranjak remaja.
Tak berminat memimpin Bali? “Ah…jauh panggang dari api. Mangku Pastika dan Puspayoga masih sehat-sehat dan keduanya masih cukup cakap untuk memimpin Bali. Saya pun tak punya modal apa-apa,’’ katanya merendah.
Yang jelas, perjalanan hidup dan karier seorang I Gusti Putu Artha boleh disebut dari “zero to hero”. Ia mahasiswa “melarat” yang kini jadi hero bagi keluarga besarnya. Ia telah mengharumkan almamaternya Universitas Udayana dan Bali menjadi orang pertama di KPU dan menyelesaikan tugas dengan tanpa cacat. Dan ia telah menyumbangkan tenaga buat bangsanya mengawal Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif, 497 Pemilu Bupati di Kabupaten/kota dan 33 Pemilu Gubernur! Salut..

Tulisan Oleh Redaksi Saraswati