Kamis, 13 Oktober 2016

Meningkatkan Kualitas Diri Melalui Dharma Pawintenan


Manusia dikatakan sebagai makhluk yang sempurna karena ia dianugerahi kekuatan dan kemampuan untuk berpikir, berbuat dan berbicara secara arif dan bijaksana. Dasar kekuatan dan kemampuan inilah yang nantinya akan mengantarkan hidup manusia menuju kesempurnaan. Untuk mencapai kesempurnaan hidup, manusia harus melewati berbagai proses yang panjang dan tidaklah mudah. Dalam upaya mewujudkan tujuan suci tersebut, diperlukan suatu proses penyucian diri baik secara lahir maupun batin melalui sebuah upacara yadnya yaitu pawintenan atau mawinten.
Upacara pawintenan atau mawinten merupakan puncak dari upacara Manusia Yadnya dalam upaya membersihkan diri secara lahir dan batin. Dalam kitab Manawa Dharma Sastra 26 dan 27 menyebutkan :

"Waidikaih karmabhih punyair, nyekadir dwijanmanam, kayah carira samskarah, pawanah pretya cahatah"

Artinya :
Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Weda, upacara-upacara suci hendaknya dilakukan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim ibu, serta upacara-upacara kemanusiaan lainnya, bagi orang bijaksana karena dapat mensucikan diri sendiri segala dosa dalam hidup ini maupun setelah meninggal dunia.

"Garnhair homair jatakarma, cauda maunjini bandhanah, baijikam garbhikan caino dwijanamapamrjyate"

Artinya :
Dengan upacara membakar bau-bauan harum pada waktu hamil, dengan upacara Jatakarma (kelahiran) upacara cauda (upacara gunting rambut pertama) dan upacara maunji bandana (upacara memberi kalung, gelang) maka segala kekotoran yang terdapat dari orang tua akan hilang, dari orang-orang bijaksana.

Kedua sloka tersebut menjelaskan bahwa upacara manusa yadnya, bermakna menyucikan diri manusia itu sendiri, bertujuan menyucikan tri sarira dari manusia itu sendiri. Bila tri sarira itu sudah suci akan sangat baik menjadi wadah untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan maka manusia akan kehilangan perikemanusiaannya.
Mawinten berasal dari bahasa jawa kuno, yang terdiri dari dua suku kata yakni kata mawi yang artinya menjadi dan kata inten artinya permata berwarna putih dengan cahayanya berkilau. Jadi kata mawinten disini mengandung makna menjadikan manusia agar mampu memberikan cahaya berupa sinar sucinya, agar dapat mengantarkan hidup manusia di jalan kemuliaan. Upacara Mawinten bisa dilaksanakan oleh siapa saja. Dalam Mawinten ada 3 tingkatan upacara dan itu tergantung dari keadaan orang yang akan menjalankannya, yaitu:
  1. Mawinten dengan ayaban saraswati sederhana adalah upacara penyucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai sakti Brahma yang mencipta ilmu pengetahuan, dan yang melaksanakan pawintenan ini yaitu yang baru belajar agama, pegawai kantor agama, dll.
  2. Mawinten dengan ayaban bebangkit upacara medium adalah penyucian diri dengan memuja Dewi Saraswati dan Bethara Gana sebagai putra Siwa yang berfungsi sebagai pelindung manusia, dan yang melaksanakan pawintenan ini adalah para tukang, sangging, tukang banten, dll.
  3. Mawinten dengan ayaban catur upacara utama adalah pensucian diri dengan memuja para Dewa : Iswara, Brahma, Mahadewa dan Wisnu sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa, dan yang melaksanakan pawintenan ini adalah para pemangku, dalang, pendeta, dll.

Pada umumnya pelaksanakan upacara Mawinten ini, di lakukan saat menjelang upacara Penyineban atau hari penutupan Piodalan (ulang tahun pura) yang disebut dengan Nyurud Hayu. Nyurud artinya memohon dan Hayu artinya keselamatan. Jadi Nyurud Hayu adalah memohon keselamatan Kepada Hyang Widhi Wasa, Bhatara-Bhatari dan Leluhur.
Upacara Mawinten ini bisa juga dilaksanakan pada saat bulan purnama, dengan maksud agar pembersihan dan penyucian terhadap dirinya benar benar bersih serta terang benderang dan berkilau seperti sinar bulan purnama
     Tempat penyelenggaraan upacara Mawinten ini umumnya di Pura. Prosesi Mawinten untuk Pamangku, biasanya dilaksanakan ditempat dimana mereka akan mengabdikan diri sebagai Pamangku, misalnya di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dhang Kahyangan, Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat atau di Sanggah atau Merajan. Adapun pemimpin upacara Mawinten adalah seorang Pendeta. Di beberapa desa di Bali atau di luar Bali yang tidak mempunyai pendeta, upacara Mawinten dapat dilaksanakan dengan cara memohon kehadapan Hyang Widhi Wasa yang diantar oleh pamangku senior, dan Mawinten ini disebut Pawintenan ke Widhi.


Proses upacara Mawinten adalah sebagai berikut :
1.      Upacara melukat yaitu pembersihan diri dari yang akan diwinten dengan sarana air kelapa muda (klungah) yang telah dijadikan Tirtha oleh pendeta/pinandita melalui doa, puja dan mantra weda. Selanjutnya dipercikkan ke ubun-ubun dan badan yang diwinten.
2.      Upacara mabyakala bertujuan memberikan pengorbanan suci kepada mahluk halus (bhutakala) agar tidak mengganggu jalannya upacara.
3.      Upacara pengukuhan (masakapan, padudusan, marajah) yaitu upacara penetapan sesuai dengan jenis profesi kepamangkuan yang ditekuni, ditandai dengan sarana penyucian asapnya api (dudus) dan menulisi organ tubuh yang diwinten dengan aksara-aksara suci.
4.      Upacara Maprayascita adalah memohon kekuatan-kekuatan Tuhan/manifestasiNya agar yang diwinten dapat memiliki pandangan yang suci.
5.      Upacara mejaya-jaya yaitu upacara yang bertujuan menyatakan rasa syukur kehadapan Hyang Widhi Wasa, karena telah dapat dilaksanakan dengan baik.
6.      Upacara sembahyang, bertujuan mendekatkan diri kehadapan Hyang Widhi Wasa mohon tuntunan dan bimbinganNya agar yang diwinten dapat menjalankan kewajibannya sesuai jenis dan tingkatan pawintenannya.
Dari rangkaian upacara Mawinten yang disebutkan di atas, mempunyai makna sebagai berikut :
     
  • Dengan menenangkan diri dan memusatkan pikiran, maka akan dapat lebih terarah untuk mulai mempelajari ilmu pengetahuan.
  • Mengendalikan diri dan menuntun seseorang untuk berpikir, berkata dan berbuat sesuai dengan ajaran dharma.
  • Merupakan tahapan atau jenjang dalam pendakian spiritual.
  • Meningkatkan kebersihan dan kesucian diri pribadi.
  • Pengabdian, pelayanan kepada Hyang Widhi Wasa dan masyarakat.
Bagi mereka yang sudah melaksanakan Mawinten diwajibkan melakukan brata, tapa, yoga, semedhi. Makin tinggi tingkat Mawintennya makin ketat pelaksanaan brata, tapa, yoga, semedhi-nya, dan mereka harus rela melepaskan diri dari unsur ke duniawan.
Apabila seseorang yang sudah Mawinten cemer, maka ia wajib menyucikan diri kembali dengan berbagai tingkatan cara sesuai dengan tingkat kecemerannya.
      Misalnya jika hanya menyantap makanan di tempat orang berhalangan kematian, cukup dengan meprayascita saja. Jika sampai mengambil/memegang jenazah wajib mengulangi upacara Mawintennya yang dinamakan upacara “masepuh”.
      Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan hendaknya kita menghayati makna dari Dharma Pawintenan itu secara lahir akan menuntun mereka yang melaksanakan pawintenan untuk berpikir, berkata dan berbuat sesuai dengan ajaran Dharma dan secara batin mengandung kesucian untuk mengendalikan pikirannya untuk mematuhi petunjuk-petunjuk terhadap dharma. (HIJ)

0 komentar:

Posting Komentar