Tampilkan postingan dengan label Tulisan Terbaru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tulisan Terbaru. Tampilkan semua postingan

Minggu, 04 Agustus 2013

Tradisi Perang Tipat-Bantal



Desa Adat  Kapal merupakan salah satu desa tradisional di Bali yang kaya akan keunikan adat dan budaya. Desa yang berada di antara Kota Denpasar dan Tabanan ini memiliki tradisi yang unik dan menarik yang masih berlangsung hingga sekarang yaitu pelaksanaan Tradisi Aci Rah Pengangon atau lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai tradisi perang tipat bantal. Tradisi perang tipat-bantal tersebut dilangsungkan di depan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal, tepatnya di Jalan Raya Kapal, Jurusan  Denpasar – Gilimanuk Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung,
Tradisi ini dilaksanakan setiap Bulan Keempat dalam penanggalan Bali (sasih kapat) sekitar bulan September – Oktober. Tradisi ini berkaitan erat dengan kehidupan pertanian masyarakatnya, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang diciptakan-Nya serta berlimpahnya hasil panen di desa. Pelaksanaanya diwujudkan dalam bentuk Perang dengan menggunakan Tipat-Bantal. Tipat/ ketupat adalah olahan makanan dari beras yang dibungkus dalam anyaman janur / daun kelapa yang masih muda berbentuk segi empat sedangkan Bantal adalah penganan yang terbuat dari beras ketan yang juga dibungkus dengan janur namun berbentuk lonjong. Dua hal ini adalah simbolisasi dari keberadaan energi maskulin dan feminin yang ada di semesta ini, yang mana dalam konsep Hindu disebut sebagai Purusha dan Pradhana.
Pertemuan kedua hal inilah yang dipercaya memberikan kehidupan pada semua makhluk di dunia ini, dimana segala yang tumbuh dan berkembang baik dari tanah (tumbuh), bertelur maupun dilahirkan berawal dari pertemuan kedua hal ini.
Perang tipat bantal diikuti oleh petani pria beserta anak laki-lakinya. Sebelum pelaksanaan tradisi perang tipat bantal, semua kelian banjar di desa adat kapal membunyikan kulkul di banjar masing-masing dengan maksud untuk mengumpulkan masyarakat di banjar setempat. Setelah berkumpul, masyarakat kemudian berangkat bersama – sama menuju jaba pura desa lan puseh desa adat Kapal untuk melakukan persembahyangan. Usai sembahyang, masayarakat kemudian membagi dirinya menjadi dua kelompok yang sebelumnya sudah disepakati untuk saling melempar tipat dan bantal dengan maksud agar kedua benda ini bertemu di udara. Kegiatan saling lempar inilah yang kemudian disebut dengan Perang Tipat-Bantal. Perang yang awalnya berlangsung di jaba Pura, kemudian meluas hingga ke jalan raya Kapal. Tentunya pada perang tipat bantal ini ada yang kena lemparan tipat ataupun bantal. Yang terkena tipat ataupun bantal konon  hasil panenya akan mengalami kemerosotan bahkan bisa gagal panen. Setelah perang berakhir tipat dan bantal tersebut dipungut oleh warga desa untuk ditaburkan di  sawah mereka agar ladang mereka subur dan menghasilkan hasil panen yang bagus.
Tradisi perang ini bermakna bahwa pangan yang kita miliki adalah senjata utama untuk mempertahankan diri dalam hidup dan berkehidupan. Tradisi ini mempunyai kemiripan dengan tradisi-tradisi agraris yang unik dibelahan dunia yang lain seperti perang tomat di Spanyol. Dari tradisi ini pula dapat dirunut sebuah kepercayaan masyarakat desa Kapal mengenai larangan menjual Tipat. Tipat dalam konteks ini merupakan simbolisasi dari energi feminisme, yang mana diwakili oleh keberadaan Ibu Pertiwi/Bumi dalam bentuk fisiknya sebagai Tanah. Tanah adalah penopang hidup, tempat tumbuh dan berkembang yang harus dijaga, dilestarikan, dirawat dan dihormati. Inilah kearifan-kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat.
Keberadaan tradisi Perang Tipat  Bantal ini banyak dijelaskan dalam catatan-catatan sejarah kuno berupa lontar. Salah satu lontar yang menceritakan tentang asal muasal pelaksanaan tradisi ini terdapat dalam Lontar Tabuh Rah Pengangon milik salah seorang warga desa Kapal, Bapak Ketut Sudarsana. Dalam lontar tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut :
Ketika Asta Sura Ratna Bhumi Banten menjadi Raja di Pulau Bali menggantikan
kakaknya, Shri Walajaya Kertaningrat yang meninggal pada tahun Isaka 1259 atau tahun 1337 Masehi, beliau mengangkat seorang Patih yang bernama Ki Kebo Taruna atau lebih dikenal sebagai Ki Kebo Iwa dan mempunyai seorang Mahapatih yang bernama Ki Pasung Grigis. Diceritakan pada masa itu sang Raja mengutus sang Patih untuk merestorasi Candi di Khayangan Purusada yang ada di Desa Kapal.
Pada tahun Isaka 1260 atau tahun 1338 Masehi berangkatlah Ki Kebo Iwa diiringi oleh Pasek Gelgel, Pasek Tangkas, Pasek Bendesa dan Pasek Gaduh menuju Khayangan Purusadha di desa Kapal dengan terlebih dahulu menuju desa Nyanyi untuk mengambil batu bata sebagai bahan untuk merestorasi candi tersebut. Tidak dijelaskan bagaimana Ki Kebo Iwa merestorasi candi tersebut.
Pada suatu saat itu desa Kapal mengalami paceklik panen yang mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan masyarakatnya. Risau atas keadaan ini kemudian Ki Kebo Iwa memohon jalan keluar kepada Sang Pencipta dengan melakukan yoga semadhi di Khayangan Bhatara Purusada. Tatkala melaksanakan yoga semadhi beliau mendapatkan sabdha dari Sang Hyang Siwa Pasupati untuk melaksanakan Aci Rah Pengangon atau Aci Rare Angon dengan sarana menghaturkan tipat – bantal sebagai simbolisasi Purusha dan Predhana (sumber kehidupan) karena penyebab dari segala paceklik tersebut adalah ketiadaan sumber kehidupan tersebut. Dalam sabdha ini pula diperoleh perintah agar masyarakat Kapal tidak menjual Tipat karena Tipat adalah simbolisasi dari Predana/Energi Feminisme/Ibu Pertiwi. Akhirnya dilaksanakanlah Aci Rah Pengangon di Desa Kapal sehingga desa ini makmur dan tentram kembali. Setelah melaksanakan tugasnya maka kembalilah Patih Ki Kebo Iwa menuju purinya Raja Bali yaitu di Batu Anyar ( sekarang dikenal dengan nama Bedulu ), sampai akhirnya kemudian Pulau Bali ditundukkan oleh Majapahit pada tahun saka 1265 atau tahun 1343 Masehi. Dari hal inilah kemudian berkembang tradisi Perang Tipat - Bantal ini di Desa Kapal pada tahun 1337, salah satu dari sekian banyak kearifan-kearifan masa lampau yang harus dihayati, dijaga dan dilestarikan sebagai sebuah tuntunan hidup untuk lebih menghormati alam dan kehidupan.
Ini adalah sebuah tradisi unik yang sangat langka dan mungkin satu-satunya di Bali, yang merupakan sebuah bentuk penghormatan terhadap energi semesta yang menciptakan kehidupan serta sebuah prosesi untuk melestarikan kelangsungan kehidupan itu sendiri dengan konsep menjaga ibu pertiwi / tanah yang merupakan wujud nyata penopang dan pemberi kehidupan bagi setiap makhluk di muka bumi ini. Di tengah kasus penjualan tanah di bali semakin meningkat, terutama penjualan tanah sawah, tradisi - tradisi seperti ini mungkin dapat membuka sedikit wawasan kita mengenai kearifan masa lampau sebagai bekal untuk melangkah menuju kehidupan masa depan yang harmonis dengan alam. 

*Penulis: Hendra Setiawan (Mahasiswa Fak.Teknik Universitas Udayana)
Saat ini menjabat sebagai Anggota Litbang FPMHD-Unud 

Rabu, 24 Juli 2013

The Secret of Giant Letter “Not For Sale”



Di sebelah timur Pasar Ubud terdapat jalan kecil keutara yang bernama jalan Sriwedari. Bila kita menyusuri jalan tersebut sepanjang kurang lebih 3,5 km maka kita akan menjumpai hamparan sawah yang cukup luas yang bernama Sawah Uma Pacung. Lebih tepatnya sawah tersebut berada di Br. Junjungan, Ubud. Di tengah-tengah hamparan sawah hijau itu akan terpampang jelas patung-patung huruf yang membentuk tulisan “NOT FOR SALE”.
Instalasi tulisan ini merupakan karya seniman asal Junjungan I Gede Suanda. Seniman yang akrab dipanggil “Sayur” ini mengaku merasa prihatin melihat banyaknya alih fungsi lahan sawah menjadi villa atau semacamnya yang terjadi di Bali khusunya di Uma Pacung tersebut. Kegelisahan hati yang dirasakan alumni ISI Yogyakarta ini terhadap keberadaan Bali kedepannya  yang membuat dirinya ingin membuat instalasi ini di lahan sawah miliknya sendiri yang memang jika dilihat dari kacamata bisnis sangat strategis untuk lokasi akomodasi wisata seperti villa atau hotel. “Kapan lagi kita bisa mendengar suara kodok, melihat capung beterbangan, ada orang membajak, serta merasakan sejuknya embun pagi persawahan bila semua sawah disini habis dimakan investor” tutur pria berambut mohak tersebut.

Terciptannya instalasi ini sempat menimbulkan kontroversi diantara kalangan masyarakat lokal karena dianggap terlalu keras mengkritik keberadaan villa-villa yang ada di sekitarnya. Tetapi sebenarnya tujuan yang ingin dicapai oleh laki-laki yang berpenampilan sederhana ini adalah untuk mengingatkan masyarakat supaya tidak menjual sawahnya untuk kepentingan sesaat.
Dari pertama terbentuk hingga sekarang, instalasi raksasa ini sudah pernah mengalami  2 kali perubahan. Pertama tulisannya dibuat dari bambu yang dirakit sedemikian rupa sehingga menghasilkan tulisan raksasa. Karena bahannya sudah rapuh maka duganti lagi dengan menggunakan triplek yang cukup lebar. Dan terakhir dibuat dengan triplek pula hanya saja bentuk tulisannya yang berbeda yaitu menggunakan format huruf-huruf digital pada kalkulator.
Berbagai event positif telah dilakukan di Luden House (Not for Sale) ini. Seperti funbike yang akrab dikenal dengan sebutan “mutumanikam” oleh anak-anak Desa Junjungan yang ikut menyelenggarakannya. Ngerujak bersama, belajar screen printing, dan berbagai kegiatan lainnya. Salah satu kegiatan terdekat yang bakal diselenggarakan bulan ini adalah konser Bali Not For Sale. Kegiatan ini melibatkan berbagai kalangan seperti pencinta lingkungan, artis, aktivis, masyarakat, dan anak-anak. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kepedulian orang Bali terhadap alam Bali itu sendiri. “Kita tidak bisa makan aspal” imbuhnya.

Penulis: I Kadek Maryana (mahasiswa Fak.Pertanian Unud angkatan 2011)
Saat ini menjabat sebagai KaBid Bina Warga FPMHD Unud 

Sabtu, 22 Juni 2013

PRESS RELEASE HUT FPMHD UNUD KE-21



Om Swastyastu,
Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Udayana (FPMHD-Unud) menyadari keberadaannya yang hingga kini tetap eksis sebagai wadah bagi mahasiswa Hindu di Universitas Udayana tidak terlepas dari peran bli-bli dan mbok-mbok alumni yang telah penuh semangat menjalankan berbagai aktivitas yang sesuai dengan visi dan misi FPMHD-Unud baik di lingkungan internal maupun eksternal Universitas Udayana. Sebagai wujud nyata untuk tetap mempererat tali persaudaraan antar anggota yang pernah ngayah dalam berbagai aktivitas tersebut, FPMHD-Unud mengadakan reuni sekaligus memperingati hari jadinya yang ke-21 tahun. Untuk itu di puncak peringatan hari ulang tahun ke-21 yang jatuh pada hari jumat, 28 Juni 2013 akan diadakan acara potong tumpeng yang dilanjutkan dengan diskusi bersama alumni dan anggota aktif. Diskusi ini bertujuan untuk menyatukan persepsi diantara anggota aktif bersama alumninya, untuk membangun FPMHD-Unud menjadi organisasi yang tetap kritis didalam menyikapi dinamika perkembangan Hindu saat ini. Rangkaian kegiatan akan dilanjutkan dengan reuni temu kangen seluruh angkatan FPMHD-Unud pada hari Minggu, 30 Juni 2013 bertempat di Taman Jepun Jalan Hayam Wuruk Denpasar. Diharapkan di sela-sela rutinitasnya, seluruh alumni FPMHD-Unud yang sudah tersebar di seluruh Bali bisa mengikuti acara ini sekaligus berkumpul bersama semeton sejawat dan mengingat masa-masa disaat masih aktif ngayah di organisasi tercinta. Untuk informasi lebih lanjut bisa menghubungi Gading di nomor 081916362610 atau melalui media social fb: fpmhd-unud dan twitter: @fpmhd_unud.

Ikang Dharma Inaranan Widhi                                                                                                                      Dharma Raksati Raksitah                                                                                                                  Satyam Eva Jayate
Om Shanti Shanti Shanti Om
                                                                                                                        Ttd
                                                                                                    Panitia Reuni FPMHD-Unud

Senin, 11 Maret 2013

Menari Diatas Pijakan Rapuh (Refleksi Keterdesakan Bali dari Ekspansi Industri Pariwisata)

Oleh: Walhi Bali

Baru-baru ini National Geographic merilis sebuah laporan tentang kondisi 111 pulau yang menjadi tujuan wisata di seluruh dunia. Dengan metode panel dari 522 ahli, pulau-pulau tersebut dinilai dengan 6 kategori yakni: kualitas lingkungan dan ekologi, integritas sosial dan budaya, kondisi bangunan bersejarah dan situs arkelogi, daya tarik keindahan, kualitas manajemen wisata dan proyeksi terhadap masa depan.
Bali, merupakan salah satu pulau yang dinilai, ternyata menduduki posisi menengah dalam arti secara umum dikategorikan sebagai pulau yang beresiko di masa mendatang (Jonathan B. Tourtellot, 2007: 124). Selain dikarenakan oleh faktor keamanan, dua kali terkena bom, munculnya penilaian ini juga disebabkan oleh pertumbuhan pariwisata yang pesat namun tanpa perencanaan yang baik.
Bali Sebagai Satu Kesatuan Bioregion
Bali termasuk provinsi yang tidak begitu luas dan dikelilingi oleh laut. Berdasarkan penafsiran para ahli geografis bahwa luas Bali adalah 5.636,66 km2 atau kira-kira seperempat dari luas Pulau Jawa (138.793,6 km²).
Sumber daya alam yang dimiliki Bali dapat dikatakan beragam mulai dari gunung dan hutan dengan luas 23,20 % dari luas daratan, 4 buah danau yakni: Danau Batur, Danau Beratan, Danau Buyan dan Danau Tamblingan, lahan pertanian, daerah aliran sungai sampai dengan bentangan pesisir sepanjang 430 km.
Meskipun Bali tidak begitu luas namun jika dilihat dari jumlah penduduknya, maka Bali tergolong padat yakni rata-rata 576 jiwa per km2. Misalnya, sangat mencolok sekali perbedaannya kepadatan penduduk Propinsi Bali dibandingkan dengan Propinsi Kalimantan Tengah yang rata-rata hanya 12 jiwa per km2. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) Bali tahun 2006, jumlah penduduk di Bali tercatat sebanyak 3.263.296 jiwa yang terdiri dari 1.635.415 jiwa (50,12%) penduduk laki-laki dan 1.627.881 jiwa (49,88%) penduduk perempuan.
Dilihat dari administrasi pemerintahan Propinsi Bali terdiri dari 8 kabupaten dan 1 kotamadya, dan membawahi 53 Kecamatan atau 678 desa. Dari 678 desa tersebut sebanyak 158 desa letaknya berbatasan dengan laut (22%), pinggir pantai atau disebut desa pesisir.
Bali dan Industri Pariwisata
Industri pariwisata di Bali telah dimulai sejak 1924 saat Perusahaan Navigasi Belanda (Dutch Navigation Company/ KMP) membuka biro perjalanan wisata di Singapura untuk mempromosikan Bali. Pada periode awal pariwisata ini, Bali dikunjungi oleh para seniman, peneliti, penulis yang tertarik oleh penyebaran informasi dan label yang dilekatkan pada Bali tentang keunikan budaya dan keindahan alamnya. Lewat politik kolonial dan oparator wisata asing yang mengendalikan sebagian besar industri pariwisata awal, Bali dipertahankan keunikannya serta diciptakan label ”Pulau Surga” untuk menarik keuntungan dari setiap pengunjung yang datang.
Politik ini kemudian dilanjutkan oleh Rejim Orde Baru dibawah Suharto, dengan membuatkan rencana wilayah untuk mengambil alih eksploitasi potensi Bali sebagai tujuan wisata. Berbeda dengan Sukarno yang tidak mendorong pariwisata Bali sebagai sektor utama, Suharto melihat pariwisata justru sebagai pengembangan ekonomi Bali dan sumber pertukaran asing bagi Indonesia. Kemudian dimulailah babak baru pengembangan pariwisata Bali dengan kendali terpusat yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Pariwisata Bali pun meluas secara pesat dalam 25 tahun, dengan jumlah wisatawan yang datang ke Bali rata-rata meningkat sekitar 12-15 persen per tahun, dari 34,147 pada 1971 menjadi 1,306,316 pada 1997. Pertumbungan signifikan pada pariwisata domestik juga meningkat pada periode ini dengan kedatangan domestik tumbuh sekitra 5 persen per tahun dan total 700.00 pada 1997. Pengeluaran total wisatawan di Bali menunjukkan peningkatan. Pada 1985 total pengeluran wisatawan luar negeri adalah US$198 juta. Sampai 1987 meningkat menjadi US$337 juta dan pada 1990 total pengeluarannya adalah US$406 juta. Peningkatan ini mendorong pertumbuhan dalam sejumlah resort, hotel, restaurant, jasa transportasi, pemandu, kerajinan/ pertunjukan, dan berhubungan dengan jasa pariwisata dan fasilitas (Hassall and Associates, 1992, 3:13).
Alokasi pendanaan publik pada program Repelita berbasiskan pada pendapatan paralel dari pariwisata dan investasi privat. Kemudian meningkatkan investasi privat untuk sektor hotel dari 30 % pada Desember 1970 menjadi 81 % pada Juni 1972 (Gerard Francillon: 1975: 23). Peningkatan secara signifikan investasi privat dalam sektor pariwisata ini masih terus berlanjut hingga awal 1990-an. Angka resmi menunjukkan sepuluh kali lipat peningkatan dalam investasi asing dan domestik pada proyek besar di Bali antara 1987 dan 1988 dari US$17 juta menjadi US$170 juta, hampir dua kali lipat lagi pada 1989-1990 (Pusat Statistik, Bali 1991).
Pola pembangunan industri pariwisata dengan menggunakan logika investasi tanpa batas ini kemudian melahirkan berbagai permasalahan bagi Bali. Sampai 1990 sejumlah permasalahan lingkungan hidup akut berhubungan dengan pembangunan tersebut banyak diungkap oleh media lokal. Pertambangan batu karang tanpa aturan untuk pembangunan hotel dan perluasan airport, abrasi pantai; peningkatan sampah plastik, limbah dan polusi udara; salinasi pada air bawah tanah; pengambilan air pertanian untuk dijual ke hotel dan lapangan golf; konversi lahan produktif – seringkali lewat tekanan dan intimidasi – menjadi fasilitas pariwisata; dan keterlibatan angkatan bersenjata dan pemerintah dalam memfasilitasi proyek menjadi topik di halaman depan, karikatur politik dan surat dari editor pada koran lokal saat itu (Caroll Warren: 1996: 3).
Hal tersebut belum termasuk dampak sosial-budaya yang harus diterima oleh masyarakat lokal sebagaimana terjadi pada Rencana Lapangan Golf di Selasih, Payangan, Kab. Gianyar. Konflik antara petani penggarap tanah dengan investor PT. Ubud Resort Duta Development yang terjadi sejak 1992 menyebabkan petani penggarap tidak memiliki kejelasan status atas tanahnya hingga saat ini. Begitu juga yang terjadi pada masyarakat Pulau Serangan, dan banyak tempat lain di Bali kala itu.
Bali Yang Rapuh
Logika pertumbuhan ekonomi lewat investasi yang dikonstruksikan oleh Orde Baru nampaknya diwarisi terus oleh pola pembangunan di Bali hingga saat ini. Ekspansi industri pariwisata terus menurus terjadi dan semakin menjadi-jadi seiring berlakunya otonomi daerah. Lahirnya raja-raja kecil di kabupaten menyebabkan babak baru penjualan tanah-tanah dan sumber daya alam Bali atas nama mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kasus demi kasus yang berkorelasi dengan pengembangan industri pariwisata pun kembali terjadi menempatkan posisi masyarakat lokal dan lingkungan hidup semakin terpinggirkan. Sebagai contoh, Kasus Loloan Yeh Poh di Pantai Berawa, Kabupaten Badung; Kasus Geothermal Bedugul di Cagar Alam Batukaru; hingga yang paling mutahir Hotel Vita Life di Wongaya Betan, Penebel dan Villa Pantai Kelating, Kerambitan, Kabupaten Tabanan; Pengusahaan Pariwisata Alam di Taman Wisata Alam (TWA) Hutan Dasong Buyan-Tamblingan, Kabupaten Buleleng hingga Hotel dan Lapangan Golf terbesar di Bali yang rencananya dibangun di Bugbug, Kabupaten Karangasem. Kesemua proyek tersebut memiliki dampak yang besar dan penting bagi lingkungan hidup dan tatanan sosial masyarakat Bali.
Pesatnya pertumbuhan pariwisata tanpa mempertimbangkan daya dukung Bali merupakan faktor yang memperparah permasalahan lingkungan yang telah ada dan belum terselesaikan. Saat ini, dengan pertumbuhan investasi tidak terkontrol dan jumlah kunjungan wisatawan sekitar 1, 5 juta orang setiap tahun terus meningkat, akan membuat Bali semakin terdesak. Jika kita lihat dari kebutuhan air, setiap kamar hotel membutuhkan air sebanyak 3.000 liter/ hari. Dengan asumsi 1 kamar diisi oleh 2 orang, maka setiap wisatawan menghabiskan air sebanyak 1.500 liter/ hari/ orang. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan pemakian air oleh penduduk Bali yang hanya 220 liter/ orang/ hari (Data Primer PDAM Denpasar). Maka tidak mustahil air menjadi barang dagangan karena kebutuhan industri pariwisata terus meningkat seiring dibangunnya fasilitas-faslitas baru. Namun permasalahannya air dari subak yang mana lagi akan diambil untuk dijual ke hotel, villa dan lapangan golf baru tersebut??
Ditengah menurunnya pasokan air yang disebabkan banyak faktor, salah satunya adalah perubahan iklim, penjualan air kepada industri pariwisata akan menambah konflik air dan deretan krisis air ditengah masyarakat. Menurut laporan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI bahwa defisit air di Bali telah terlihat sejak 1995 sebanyak 1,5 miliar meter kubik/ tahun. Defisit tersebut terus meningkat sampai 7,5 miliar meter kubik/ tahun pada 2000. Kemudian, diperkirakan pada 2015 Bali akan kekurangan air sebanyak 27,6 miliar meter kubik/ tahun.
Selanjutnya, menurut pengamatan WALHI Bali dari 2006 – 2007 saja sejumlah daerah tercatat mengalami krisis air, antara lain: Tirta Mas Mampeh di Kintamani, Denpasar, Negara, Batu Agung, Singaraja, Besakih (Karangasem), Semarapura (Klungkung), dan Nusa Penida. Perosalan krisis air di Bali juga berdampak pada kehidupan sosial. Krisis air telah memicu konflik antar petani dengan swasta, petani dengan petani, petani dengan perusahaan air minum. Beberapa kasus konflik air yang muncul di media lokal antara lain; Subak Jatiluwih dengan pihak swasta di Jatiluwih, Penebel, Kabupaten Tabanan. Subak Yeh Gembrong dengan perusahaan air minum daerah (PDAM) di Yeh Gembrong, Kabupaten Tabanan. (Kertas Krisis WALHI: 2007:4).
Selain itu permasalahan sumber daya air diatas, masih banyak permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh maraknya pariwisata massal di Bali yang akan berakibat pada kerentanan ekologi karena lingkungan hidup tidak mampu menjalankan fungsi ekologinya. Garis pantai Bali yang saat ini terabrasi dengan laju 3,7 km pertahun dan 50-100 meter inland, menyusutnya lahan terbuka hijau dan lahan produktif, pencemaran, sampah, kebisingan. Jika kerentanan-kerentanan ekologi ini terakumulasi maka akan dapat meledak menjadi bencana ekologi.
Untuk konversi lahan, kita lihat bahwa di tahun 2004 saja di Kabupaten Badung terjadi alih fungsi seluas 209,95 Ha dan Denpasar seluas 35,01 Ha (Bappeda Provinsi Bali: 2005: I-2). Hal ini menyebabkan Badung dan Denpasar menggantungkan pasokan pangannya dari keluar daerah, seperti Tabanan dan Gianyar yang selama ini menjadi pemasok pangan terbesar bagi Bali. Namun pertumbuhan investasi signifikan di Tabanan dan Gianyar yang juga melakukan konversi lahan produktif, akan menyebabkan menurunnya pasokan pangan bagi Bali. Pada gilirannya Bali akan mengalami kerentanan pangan dan menggantungkan semuanya dari luar Bali.
Dari sudut pandang sosial, ternyata pertumbuhan pariwisata ini tidaklah berkorelasi pada perbaikan kualitas hidup masyarakat Bali. Malah justru melahirkan keterasingan-keterasingan karena kehilangan akses terhadap sumber daya alam dan persaingan hidup yang ketat di sektor pariwisata. Keterasingan ini banyak terjadi di Bali, salah satunya dialami oleh masyarakat lokal Nusa Dua yang hanya menjadi penonton ditengah gemerlapnya industri pariwisata di wilayah mereka (BP, 1 April 2006). Keterasingan dan kemiskinan akibat persaingan tersebut menyebabkan kerentanan sosial sehingga berpotensi menimbulkan konflik-konflik tertutup – mulai dari munculnya indentifikasi seperti orang lokal-pendatang, bali-jawa, dan lainnya – jika terakumulasi dapat meledak menjadi bencana sosial.
Moratorium Pariwisata Bali
Bali yang memiliki banyak konsep tradisional, seperti Tri Hita Karana – menjaga keseimbangan antara spritualitas, hubungan sosial dan ekologi – saat ini semakin tidak bermakna karena semakin sering diucapkan oleh pihak-pihak yang justru menjadi komprador penerus eksploitasi Pertiwi Bali tanpa memikirkan tentang kebutuhan generasi mendatang. Turunan dari konsep Tri Hita Karana menjadi Nyepi, Tumpek saat ini diartikan hanya sebatas ritual belaka dan gagal diartikulasikan dalam praktek nyata.
Nyepi merupakan filsafat jeda (ngeneng) untuk membangun keseimbangan spritualitas, hubungan sosial dan ekologi. Pada hari Nyepi, manusia Bali melakukan jeda dari segala aktivitas sehingga memberikan ruang bagi bumi untuk bernafas dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh prilaku manusia (ekologi). Dalam jeda tersebut, manusia Bali melakukan evaluasi atas apa yang telah dilakukannya (spritual) dan menguatkan ikatannya ke dalam diri, keluarga dan masyarakat (sosial).
Jeda memberikan arti penting dan sangat diperlukan untuk membangun hubungan yang lebih harmonis dalam kehidupan. Maka menjedakan pariwisata, sebagai bagian dari aktivitas ekonomi manusia, juga merupakan keniscayaan. Karena pariwisata telah sedemikian rupa menyebabkan ketimpangan sendi-sendi spritual, sosial dan ekologi Bali maka tidaklah cukup hanya dilakukan dalam satu hari saja, melainkan paling tidak selama lima tahun.
Moratorium atau jeda pariwisata Bali merupakan pintu masuk yang harus segara diambil oleh provinsi ini jika ingin selamat dari bencana ekologi dan bencana sosial. Moratorium pariwisata Bali dengan jalan menghentikan sejenak ekspansi investasi pariwisata untuk mengambil jarak dari masalah, akan dapat mencarikan jalan keluar yang bersifat jangka panjang, menyeluruh dan permanen.
Saat moratorium dilaksanakan, aktivitas dan kebijakan akan diarahkan pada pengkajian dan evaluasi atas pariwisata Bali selama ini, menyusun arah pembangunan Bali dan menata kembali sendi-sendi sosial budaya dan lingkungan hidup yang selama ini dikomodifikasikan demi kepuasan para turis. Dari sisi masyarakat sipil, saat jeda merupakan waktu yang tepat untuk membangun critical mass (masyarakat yang kritis) untuk dapat berpartisipasi dalam mewujudkan pengelolaan pertiwi yang lebih berpihak pada rakyat dan lingkungan hidup.
Jika tidak dilakukan jeda maka investasi-investasi pariwisata akan terus meluas, kedepan anak cucu kita hanya akan mendapatkan Bali yang telah rusak, terkapling-kapling dan terjual habis oleh industri pariwisata. Dan pasti, anak cucu kita akan menyalahkan kita (generasi saat ini) karena tidak melakukan apa-apa ketika masih ada waktu untuk menyelamatkan Bali. Apabila Bali rusak dan tidak layak lagi untuk ditempati maka para turis dan para ekspatriat dapat saja pulang ke negeri asal mereka, tetapi kita sebagai masyarakat lokal tidak tahu akan kemana. Karena kita tidak punya bali-bali yang lain.

Source: www.taman65.wordpress.com

Penaturan Kitab Suci Hindu Kaharingan

Oleh : Ngurah Nala
Universitas Hindu Indonesia

Agama Hindu sudah berusia ribuan tahun. Diperkirakan telah ada sejak 5 ribu tahun yang lalu. Agama ini mula-mula dianut oleh masyarakat India di sepanjang sungai Sindu. Kemudian ajaranNya menyebar ke seluruh pelosok dunia. Sebagai sebuah agama memiliki pula kitab suci yang bernama Weda. Kitab suci Weda ini terbagi atas dua kelompok besar, yakni kitab Weda, Sruti dan Weda Smerti. Kitab Weda Sruti terbagi lagi atas 3 kelompok, yakni kelompok Kitab Suci Mantra, Brahmana, dan Upanishad. Yang termasuk di dalam kelompok kitab Mantra adalah Kitab Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan Atharwa Weda. Keempatnya sering disebut sebagai kitab suci Catur Weda. Kitab Brabmana terbagi lagi atas kelompok kitab Aitareya, Satapatha, Tandya, dan Gopatha. Sedangkan kitab Upanishad terdiri atas 92 buah kitab. Dan kitab Weda Smerti berkembang menjadi kitab suci Wedangga (Siksa, Wyakarana, Chanda, nirukta, Jyotisa, Kalpa), kitab Upaweda (Itihasa, Purana, Ayurweda, Arthasastra, dll) dan kitab Agama (Brahmanisme, Siwaisme, Waisnawaisme, Saktiisme, dll). Kemudian muncul berbagai kitab Nibanda dengan bermacam penafsiran yang ditulis oleh para Mahareshi, Reshi dan cendekiawan Hindu. Kelompok kitab Nibanda ini antara lain adalah kitab Sarasamuscaya, Purwamimamda, Brahmasutra,Wedantasutra, Reinterpretasi dan revitalisasi selalu dilakukan terhadap kitab suci Weda ini. Oleh sebab itu orang luar sering keliru dalam menilai perkembangan serta pelaksanaan agama Hindu di berbagai negara atau daerah setempat. Di Indonesia muncul istilah Hindu Bali, Hindu Tengger, Hindu Batak, Hindu Kaharingan, Hindu Toraja, dan lain-lainnya. Kemunculannya ini disebabkan pelaksanaan ajaranNya berbeda-beda sesuai dengan daerah (desa), zaman (kala), dan manusia atau lingkungannya (patra). Demikian pula dalam penyebutan Tuhan, mempunyai kekhasan/spesifikasi masing-masing, mempergunakan bahasanva sendiri. Misalnya Ran ying Hatalla (Kaharingan), atau Hyang Widhi (Bali, Jawa) adalah sebutan untuk Tuhan. Dengan cara penyebutan seperti ini mereka lebih merasakan keberadaan Tuhan di dalam hati sanubarinya sendiri dibandingkan dengan menyembah Tuhan berdasarkan bahasa Weda, seperti Brahman misalnya.
Umat Hindu Kaharingan suku Dayak di Kalimantan Tengah memiliki pula buku suci sebagai pegangan di dalam melakukan ajaran agama Hindu. Buku suci penuntunnya, mereka sebut Kitab Suci Panaturan. Di dalam kitab suci ini disebutkan bahwa ajaran ketuhanan mereka menganut paham theisme adwaita. Artinya percaya kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, tetapi menampakkan Diri dalam berbagai wujud. Tafsir ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 Kitab Suci Panaturan tentang Tamparan taluh handini (Awal segala kejadian). Pa Se 3 dan 6 tertulis sebagai berikut:
Aku tuh Ran ying Hatalla je paling kuasa, tamparan taluh handiai tuntang kahapus.
Kalawa jetuh iye te kalawa pambelum ije inanggareku kangguranan ara hintan kaharingan (Seloka/Ayat 3).
Aku inilah Ranying Hatalla Yang Maha Kuasa, Awal dan Akhir segala kejadian dan cahaya kemuliaanKu yang terang bersih dan suci adalah Cahaya yang kekal abadi dan
Aku Sebut Ia Hintan Kaharingan.
Ranying Hatalla nuntun pahaliai tingang nureng Nyababeneng tanduk. Handung kalawa jet te puna pahalingei biti, ha yak iye mananggare gangguranan arae bagare “Jata Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan Mijen Papan Malambang Bulau Marung Laut Bapantan Hintan” (Seloka/Ayat 6).
Ranying Hatalla memperlihatkan wujud itu dengan sungguh-sungguh bahwa itu adalah bayanganNya sendiri dan Beliau memberikan nama kepada bayangan tersebut “Jata Balawang Bulu Kanaruhan Bapager Hintan Mijen Papan Malambung Bulau Marung Laut Bapantan Hintan”.
Isi dan kitab suci Panaturan tidaklah jauh berbeda dengan isi kitab atau lontar bercorak Hindu yang ada di Bali, atau di tempat lainnya. Terdapat pula di dalamnya petunjuk tentang pelaksanaan tata cara basarah (persembahyangan), melakukan upacara dan upakara Panca Yadnya. Misalnya dalam upacara Manusa Yadnya, Nahunan adalah upacara kelahiran yang terdiri atas upacara Paleteng (hamil 5 bulan), Nyaki Ehet (hamil 7 bulan), Mangkang Kahang Badak (hamil 9 bulan), dan upacara Nahunan pemberian nama anak. Ada pula upacara perkawinan yang mereka sebut Lunuk Hakaja Pating. Demikian pula dengan upacara lainnya dalam Dewa Yadnya, Reshi Yadnya, Pitra Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Seluruh pelaksanaan yadnya tersebut dilakukan berdasarkan atas petunjuk yang ada di dalam kitab suci Panaturan.
Para dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang (STAHN-TP; Tampung = perkumpulan, Penyang = semangat; semangat bersatu) Palangkaraya Kalimantan Tengah telah menyusun mata kuliah Acara Agama Hindu Kaharingan yang dipergunakan sebagai pegangan dasar pada waktu mereka mengajar mata kuliah Acara Agama Hindu di sekolahnya. Ketua STAHN-TP, Drs. Midday, MM, yang semula dosen di Universitas Palangkaraya, sebagai warga suku Dayak Kaharingan, sangat peduli akan masalah peningkatan kualitas akademik warganya, khususnya dalam pendidikan agama Hindu.
Salah seorang alumninya, Mariatie, SAg, seorang wanita Dayak Kaharingan yang energik, sekarang dosen di almamater nya, ditugaskan sebagai koordinator untuk menyusun buku Pedoman Acara Agama Hindu Kaharingan. Buku pedoman ini sebagian besar bersumber dari kitab suci Panaturan, sebuah kitab suci yang telah dimiliki oleh warga Dayak Kaharingan sejak jaman dahulu. Kitab suci inilah yang dipergunakan sebagai penuntun dan pedoman oleh warga suku Dayak Kaharingan oleh para dosen STAHN Tampung Penyang diharapkan tidak hanya warga Dayak Kaharingan, khususnya para mahasiswa, akan lebih memahami tentang tattwa, etika dan upacara serta upakara agama Hindu yang berkembang di suku Dayak Kaharingan, tetapi juga masyarakat lainnya di Nusantara ini, bahkan juga orang asing yang ingin tahu tentang Hindu Kaharingan.

Source: www.parisada.org

Menyelami Magic di Pulau Dewata

Oleh Gde Putra
 peneliti tentang isu-isu sosial dan aktif di Komunitas Taman 65 Bali

Inilah contoh konflik antar-kerabat manusia Bali di era kontemporer.
Walau siang kala itu tidak seperti hari-hari sebelumnya yang biasa remang karena mendung tebal menyelimuti angkasa, namun tetap saja suasana terasa muram. Sinar cerah matahari terkesan mubasir dikalahkan isak tangis seorang ibu yang menyeruak keheningan. Spontan saja para tetangga berhamburan datang mendekatinya.
Kesedihan sangat terasa, beberapa kerabat berusaha menenangkan ibu yang sedang memeluk erat putranya itu. Akhirnya anak muda kesayangan wanita paruh baya itu terbujur kaku tidak bernapas setelah sekian lama berjuang melawan sakit.
Bagaimana ibu itu tidak kalang kabut sebab lima bulan lalu perempuan berusia lima puluhan tahun itu ditinggalkan sang suami. Sekarang lelaki buah hatinya menyusul untuk dikramasi.
Karena pihak rumah sakit tak mampu menyembuhkan sakit suami serta putranya, maka pengobatan alternatif pun pernah juga ditempuhnya. Sudah lebih dari delapan kali ibu itu mengajak suami dan anak laki-lakinya ke balian (paranormal). Jawaban yang didapatkannya selalu sama. Oleh karena itu, ibu beserta anak perempuan satu-satunya yang tersisa sangat meyakini diagnosis “orang pintar” tersebut. Bahwa tragedi itu akibat desti atau “magic” dari kerabat yang sentimen.
Tidak pelak kecurigaan mengarah kepada saudara laki-laki suaminya. Sang suami tidak mengizinkan adiknya menjual tanah warisan leluhur ke investor. Keduanya sama-sama ngotot maka terjadilah percekcokan. Ketika konflik sedang berlangsung hangat sang suami tiba-tiba mendadak sakit. Kemudian menyusul anak laki-lakinya. Karena peristiwa yang serba kebetulan ditambah diagnosis para ahli supranatural yang selalu sama percis, maka isu desti menjadi trending topic di kampung ibu itu sampai saat tulisan ini dibuat.
Rontok
Keyakinan kuat manusia Bali sampai saat ini bahwa serangan lewat “senjata” tak kasat mata dari pihak keluarga yang iri hati, atau sakit hati patut untuk dikaji. Persoalan tersebut penting diulas di era Bali pasca bom. Tragedi bom Bali melahirkan wacana jaga Bali (Ajeg Bali). Respon jaga Bali oleh desa adat dan banjar yang secara berlebih-lebihan mencurigai pendatang menegaskan sebuah pandangan bahwa “musuh” itu ada di luar kelompok.
Penduduk pendatang menjadi bulan-bulanan prasangka rasisme yang didengungkan juga oleh aparat negara atas nama penertiban penduduk. Namun pengertian “musuh” eksternal ini akan rontok jikalau melihat wacana perang desti di antara para kerabat di Bali.
Pertanyaan kemudian muncul, siapa sebenarnya “musuh” itu? Apakah benar “orang luar”?
Menarik untuk diselami ternyata Bali yang dikenal kuat dengan sistem kekerabatannya memiliki banyak cerita prahara justru dengan sesamanya. Jika kita menyimak kisah pewayangan, tidak sedikit permusuhan antara kerabat muncul dalam lakon. Pelajari juga perjalanan sejarah raja-raja di Bali yang berhamburan kisah saling intrik antarkeluarga. Apalagi jika pandangan kita arahkan ke zaman setelah kemerdekaan yaitu tragedi masa lalu paling gelap dari bangsa ini, Tragedi 65.
Memang banyak kajian sejarah serta testimoni yang memaparkan bahwa militer dan para milisi sipil sebagai actor pembantaian puluhan ribu manusia Bali yang dicap Komunis. Namun sangat mudah juga ditemui cerita pengkhianatan antar-orang dekat yang melatari dibunuh, hilang serta dipenjarakannya sanak saudara saat tragedi berlangsung. Dengarkan juga istilah “Sangut” yang akrab terdengar di sekeliling kita. Sangut, sosok punakawan licik dalam pewayangan ini menjadi kata sifat terhadap figur oportunis di sekitar kita yang loyalitasnya diragukan. Bagi saya sebagai manusia Bali penting mempelajarai sisi rapuh persaudaraan dan kisah khianat-mengkhianati ini. Menciptakan persatuan untuk menghadapi musuh di luar akan ambrol jika kesatuan itu pada dasarnya retak karena penuh sandiwara yang seolah-olah di antara mereka tidak ada persoalan.
Sistem rumah sakit di republik ini yang masih kacau balau berimplikasi terhadap terawatnya prasangka sakit akibat desti di pulau Dewata. Maraknya kasus mall praktik, pelayanan rumah sakit yang tak profesional, dan membumbung tingginya biaya pengobatan membuat masyarakat dalam situasi krisis ini ragu mempercayai kesaktian para dokter. Bahkan banyak orang kaya di Indonesia dan juga Bali khususnya berobat ke Singapura. Bagi kalangan atas berobat di tanah air sendiri dengan biaya mahal tidak mampu meyakinkan mereka bahwa sakitnya akan sembuh.
Wacana desti di masyarakat selalu muncul setelah seseorang yang mengalami sakit berulangkali ke dokter dan tidak sembuh-sembuh. Orang itu akan berpendapat ketika rumah sakit tidak bisa menyembuhkannya berarti ada kekuatan di luar alasan medis yang menggerogoti tubuhnya. Rumah sakit juga masih sulit dijangkau oleh penduduk Bali yang khususnya tinggal di pelosok desa. Situasi ini menyebakan para pasien memilih pergi ke Balian sebagai pilihan alternatifnya.
Gosip
Konsep tentang sakit dari persepektif balian sangatlah berbeda dengan perspektif dokter. Sakit dari perspektif dokter biasanya bersumber dari faktor kekuatan tubuh pasien yang lemah terhadap kondisi lingkungannya. Penjelasaannya pun sangat ilmiah misalnya sakit akibat virus, bakteri, mutasi kimiawi atau perubahan cuaca ekstrem.
Sedangkan sakit dari perspektif balian disebabkan oleh faktor tarik menarik antara dunia niskala dan sekala. Dua dunia yang dipercayai ada oleh umat Hindu di Bali, tak terpisah dan saling mempengaruhi. Dunia niskala yaitu dunia tak terlihat dunianya para roh, dewa-dewi, leluhur serta para bhutakala. Sedangkan dunia sekala yaitu dunia nyata dunianya manusia beserta mahluk hidup lainnya. Semisal seseorang sakit bukanlah karena virus atau bakteri tertentu tetapi disebabkan amarah roh penunggu karena pohon tempat tinggalnya roh dibabat oleh pemilik rumah. Seseorang sakit karena lupa mengaturkan sesajen kepada dewa-dewi. Seseorang sakit karena desti dari kerabat yang belajar magic dengan memuja dewa-dewi agar mengabulkan hasrat dendamnnya.
Terlepas dari amburadulnya sistem rumah sakit, dan kuatnya kepercayaan terhadap hal-hal seperti itu, sebenarnya kokohnya wacana desti di masyarakat terkait dengan “benefit” yang didapat pihak berkepentingan dari penyebaran wacana tersebut. Keberhasilan seseorang menyebarkan isu desti ke masyarakat adalah bagian dari mekanisme menyerang sekaligus pertahanan diri dari “musuh”. Ketika gosip menyebar di masyarakat bahwa ada seseorang menggunakan desti untuk menyakiti kerabatnya maka si korban gosip akan terasa diawasi oleh masyarakat. Orang yang didakwa lewat gosip sosial akan mengalami rasa malu karena dicap sebagai sosok tega tak punya hati.
Seperti apa yang dilakukan ibu malang itu, dengan bisik-bisik dia menebar kisah kepada para pelayat bahwa musibah keluarganya karena desti. Ibu itu berharap masyarakat meyakininya dan berpihak kepadanya.
Gosip miring tampaknya sudah menyebar. Keluarga dari saudara almarhum suaminya terlihat salah tingkah saat perhelatan upacara ngaben digelar. Karena menjadi bagian dari tuan rumah yang punya hajat maka adik suaminya itu berusaha keras kelihatan baik di depan pelayat. Dia menyalami para tamu, ngobrol dan memanggil istri almarhum saudaranya di saat ada pelayat menjenguk. Kedua belah pihak berpura-pura kompak. Mirip pementasan drama, tampak laki-laki lima puluhan tahun itu berjuang melawan gossip miring itu.
Lelaki yang jarang ngobrol dengan keponakannya itu terlihat khusyuk memandikan tubuh laki-laki dua puluhan tahun itu sebelum dibawa ke kuburan. Pria berambut uban ini juga sigap menyiapkan sarana upacara keponakannya yang akan dikremasi. Dia ingin meyakinkan masyarakat bahwa kisah itu gosip semata alias tidak benar. Di sisi lain ibu yang ketiban malang itu tidak kenal menyerah menebarkan kisah desti ke khalayak walau penuh kehati-hatian agar tidak ketahuan keluarga iparnya.
Outsider
Bagi pihak yang akrab dan kenal maka akan mudah melihat kedua belah pihak yang pada dasarnya sedarah dan se-pura itu tak saling sapa biarpun tampak kompak saat upacara. Sedangkan bagi pihak “outsider” seperti beberapa wisatawan yang asik menikmati jalannya perhelatan akan berasumsi pemandangan di depan matanya mewakili solidnya kolektivitas masyarakat Bali. Asumsi itu masuk di akal karena pariwisata budaya tidak memberikan celah cerita-cerita perpecahan ke telinga wisatawan. Padahal di dalam parade kekompakan itu terjadi pertempuran halus yang berusaha menggoyahkan pencitraan masing-masing kelompok.
Dari persoalan ibu itu kita bisa melihat bahwa ritual tidak melulu tentang rekatnya persaudaraan melainkan tentang retaknya persaudaraan. Ritual adalah ajang “politik” dalam mencari pengaruh khalayak. Ada beberapa di antara khalayak yang ikut menempel kepentingannya dengan aktif menyebarkan gosip desti ke segala penjuru. Adik almarhum suaminya terkenal suka mangkir dalam kegiatan banjar karena pekerjaanya sebagai satpam sulit diabaikan. Dia sering lari dari tanggung jawab sosial di saat semuanya berkorban demi berjalannya adat istiadat. Masuk akal banyak yang ikut mengambil kesempatan.
Prahara keluarga ibu itu hanyalah salah satu kisah dari sekian banyak kisah tentang konflik tanah yang melatari perang di balik layar antar-kerabat di Bali. Sangat masuk akal karena tanah memiliki nilai ekonomi tinggi. Pada zaman Orde Baru, pemerintah membukakan pintu terhadap kedatangan investor. Bali mengandalkan pariwisata sebagai “senjata” pemikat. Semenjak itu tanah menjadi target investasi yang menggiurkan untuk pembangunan pariwisata. Investor tidak hanya berburu tanah di daerah pusat wisata melainkan mulai merambah ke pelosok desa. Sangat sulit mencari celah kosong dengan pemandangan sawah atau tebing yang lengang di Ubud saat ini.
Investor menggerakan langkahnya ke pinggiran karena pemandangan di sana masih asri. Seperti daerah pinggiran Ubud yang menjadi tempat tinggal ibu itu setahap demi setahap diisi kehadiran bangunan megah berukuran besar, berfasilitas lengkap dengan kolam renang di dalamnya. Occupy daerah pinggiran ini juga berkaitan dengan trend “green” yang melanda dunia. Ada semacam dorongan untuk meraih sensasi “organic”, yaitu jika ingin dekat dengan alam maka tinggalah di daerah hijau yang penduduknya belum terkontaminasi “modernitas”.
Fakta yang muncul kemudian daerah pesisir atau pinggiran di serbu oleh kehadiran villa. Harga tanah yang dulunya tak bernilai menjadi melonjak tinggi.
Rayuan
Tidak dapat dipungkiri manusia Bali berlomba-lomba mensertifikatkan tanah leluhurnya. Ketika proses pensertifikatan tanah inilah muncul persoalan yang mengarah pada percekcokan internal. Pada dasarnya tanah itu adalah tanah komunal (keluarga) yang tak memiliki kepemilikan personal. Sawah, tebing dan ladang yang menjadi penopang pura keluarga juga diperebutkan. Jikalau rayuan investor menyentuh hati para tetua, tak pelak para tetua yang diamanatkan keluarga besar sebagai pemegang sertifikat tanah pura tergoda untuk menjualnya. Benang kusut konflik tanah antara pro-kontra penjualan, dan pihak yang merasa dirugikan versus pihak yang merasa diuntungkan melandasi wacana desti di Pulau Seribu Pura.
Tidak sedikit perempuan menjadi korban dari konflik tanah setelah ditinggalkan oleh suami mereka. Sang istri merasa sendiri di sebuah keluarga yang sebenarnya secara akar bukanlah keluarganya. Apalagi dia seorang perempuan dan tak memiliki anak laki-laki. Posisi ibu itu sangatlah riskan karena tanah yang ditempatinya sekarang begitu strategis. Tentu saja ada pihak yang bekerpentingan untuk mengambil alih. Mitos janda calonarang dengan kekuatan desti yang melegenda dalam benak manusia Bali sering kali digunakan dalil “pengusiran” secara halus oleh kerabat.
Janda itu tidak diajak bicara, tidak dilibatkan dalam upacara, atau setiap pemberian apapun dari janda itu ditolak oleh kerabatnya. Alasannya kekuatan magic janda itu bisa membuat ritual tak berjalan lancar. Menerima makanan pemberian janda bisa fatal akibatnya sebab diyakini mengandung racun desti. Bagi perempuan yang tidak kuat terhadap perlakuan itu biasanya akan “kabur” ke rumah asalnya.
Isu magic yang terlebih dahulu melekat kepada saudara laki-laki suaminya itu memberikan sebuah keuntungan bagi ibu itu karena menyelamatkanya dari pergunjingan sosial. Dengan aktif menebarkan wacana desti, Ibu itu ingin mengajak pihak keluarga besar dan warga banjar untuk mencurigai kesetiaan sosial dari keluarga adik almarhum suaminya itu. Jika isu desti berhasil menyebar dan memiliki banyak penggemar maka bisa merusak hubungan subjek itu dengan keluarga besar dan warga banjar.
Seperti kita ketahui ritual di Bali banyak jenisnya, bersifat rutin dan beberapa ritual wajib melibatkan kerabat dan warga banjar.
Perasaan tak enak akan menghinggapi subjek tersebut di saat dia memiliki hajatan ritual sebab dihadiri orang-orang yang tidak nyaman dengan dirinya. Telah menjadi rahasia umum bahwa “musuh” warga sebenarnya merasa sungkan untuk mengundang para kerabat dan warga banjar. Namun seandainya nekat tidak mengundang tentu bisa gawat karena menunjukan dirinya berani beroposisi menantang massa.
Kolesterol
Dari situasi pelik itu kita akan melihat bahwa kolektivitas di Bali juga digerakan oleh ketidak-ikhlasan yang dipaksakan ikhlas untuk berbagi materi, tenaga, waktu dan emosi dengan sesamanya. Situasi serba tak ikhlas ini semakin parah di era krisis ekonomi ini karena biaya solidaritas seperti makanan, rokok, aqua dan lain-lain selalu naik tak pernah turun.
Melihat hal itu pihak “musuh” tentu tidak tinggal diam. Mereka mempunyai senjata ampuh untuk meredamnya. Wacana medis mereka gunakan untuk menghantam isu magic yang disebarkan ibu itu. Keluarga adik suaminya mengcounter isu magic dengan menyebarkan cerita kepada para khlayak bahwa kematian suami ibu itu karena stroke. Suami ibu itu terkenal malas bergerak dan selalu tidak tahan diri untuk menyantap lawar babi, makanan khas Bali berkolesterol tinggi. Upaya mengcounter isu magic itu juga terlihat dalam perhelatan ngaben putra ibu itu. Tak henti-hentinya sang paman menjelaskan ke pelayat bahwa kematian keponakannya itu karena pendarahan di kepala yang sudah kronis. Pendarahan itu didapat dari kecelakaan berkendaraan satu tahun lalu. Kebiasaan keponakannya dalam memendam masalah menyebabkan keluarga tidak menyadari bahwa sakit di kepalanya begitu parah.
Menarik melihat perang wacana antara isu magic vs isu medis oleh dua keluarga yang berseteru. Bukan persoalan mana yang benar, namun bagaimana isu ini berusaha mengontrol keberpihakan khalayak. Isu medis digunakan pihak musuh untuk meyakini masyarakat bahwa kematian suami serta anak laki-laki ibu itu akibat dari sikap mereka sendiri yang acuh terhadap kondisi kesehatan tubuhnya. Isu medis menjadi semacam otokritik terhadap subjek si penderita sakit bahwa dia adalah korban dari ulahnya sendiri.
Adapun isu magic menempatkan kematian kedua lelaki tercinta ibu itu sebagai korban dari pihak “musuh” yang dendam kepada mereka. Pihak “musuh” menggunakan wacana medis sebagai senjata karena ingin membawa persoalan tanah ini ke ranah privat yang tak layak dikonsumsi publik. Sedangkan lewat wacana desti ibu itu ingin membawa persoalan pelik tentang sengketa tanah keluarga ke wilayah publik. Pihak “musuh” ingin merahasiakan persoalan domestik yang dihadapinya agar pencitraan mereka tidak tambah buruk. Sang ibu malang itu justru ingin mengungkab aib agar gamblang disimak khalayak sehingga citra buruk adik suaminya semakin menguat.
Pertengkaran sesama kerabat ini pada dasarnya berakar dari ketidak becusan negara dalam mengelola politik pertanahan yang cenderung berpihak kepada investor. Begitu gamblang terlihat hukum di negara ini bisa dipermainkan jika punya modal. Agar manusia Bali mau menjual tanah maka dunia bertani dibunuhnya pelan-pelan. Dari kebijakan revolusi hijau yang membuat tanah tak sehat, pupuk yang harganya mahal, sulitnya air mengalir di persawahan karena sungainya dikapling swasta, hingga masuknya beras impor dengan harga murah.
Tidak ada yang mau jadi petani lagi sehingga dengan mudah sawah-sawah raib ke tangan investor.
Rasa frustasi semakin menggila karena biaya upacara dan sekolah anak-anak membutuhkan rupiah dalam jumlah banyak. Makanya jangan heran ketika investor datang maka anak cucu saling tantang rebutan sawah dan ladang. Sulit bermusuhan total karena upacara mewajibkan mereka saling berpegangan. Mereka pun berkumpul dalam hati yang bimbang dan berperang dalam remang agar upacara berjalan tenang serta warga tak tegang.

Source: www.balebengong.net