Jumat, 27 Desember 2013

Sisi Lain DPA XX – “Keluh Kesah Seorang Kordinator Acara”

Perekrutan anggota sebagai bagian dari suatu organisasi merupakan hal yang terpenting  dalam jalannya sebuah organisasi. Anggota sebagai bagian dasar yang mempunyai fungsi besar sebagai pondasi awal kemajuan suatu organisasi. Salah satu organisasi di lingkungan Universitas Udayana dalam hal ini Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma-Universitas Udayana (FPMHD-Unud) memaknai arti pentingnya anggota dalam kemajuan organisasi kedepan. Hal ini terlihat dari dilaksanakannya acara Dharma Pengasraman Anggota (DPA) XX yang merupakan program kerja tahunan organisasi ini yang bertujuan untuk perekrutan anggota baru yang nantinya dapat menopang berbagai kegiatan yang akan dijalankan FPMHD-Unud kedepannya.
Bertempat di Pura Sibi Agung Desa Lebih Gianyar dari tanggal 13 hingga 15 Desember 2013, acara Dharma Pengasraman Anggota (DPA) dilaksanakan dalam kawasan pura baik dalam wantilan, madya mandala dan utama mandala. Kegiatan yang berlangsung selama 3 hari 2 malam ini mampu berjalan dengan baik dengan adanya kerja sama maupun koordinasi dengan baik antara panitia, peserta dan masyarakat sekitar Pura Sibi Agung.
Peserta DPA XX berjumlah 31 orang yang terdiri atas mahasiswa dan mahasiswi Hindu di lingkungan Universitas Udayana. DPA kali ini mampu membawa kesan tersendiri bagi Ni Putu Mulia Sari yang menjabat sebagai Koordinator Acara DPA XX. Jumlah peserta DPA tahun 2013 ini menimbulkan kesenangan tersendiri bagi mahasiswi Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Udayana ini, karena jumlah peserta mengalami peningkatan dari DPA tahun 2012 lalu.
Cerita tersendiri mampu diperoleh dari kegiatan rutin FPMHD-Unud tersebut. Koordinator acara sekaligus pengatur acara dalam DPA XX ini menuturkan kembali bahwa acara yang sudah tersusun dengan baik dengan persiapan acara kurang lebih 1 minggu ini, mengalami beberapa perubahan ketika acara yang direncanakan tengah berlangsung. Keterlambatan acara, kecemasan, kebingungan, dan kepanikan mewarnai kehidupan sang pengatur kegiatan pada saat itu. Selain itu, tekanan dari panitia lain untuk setiap acara yang berlangsung maupun perubahan acara selalu membayangi sang Kordinator Acara ini. Banyak hal baru yang terjadi saat itu, namun rintangan tersebut yang menyebabkan munculnya koordinasi baru antar panitia untuk sama-sama membangun acara baru sehingga acara DPA XX mampu berjalan sesuai yang diharapkan.

Profil Kordinator Acara DPA XX
Nama              : Ni Putu Mulia Sari
Jurusan            : Sosiologi / FISIP / Unud
Bidang             : Usaha dan Dana ( Sekretaris Bidang )
Motto              : Jadikan impian awal kesuksesan





Rabu, 25 Desember 2013

PERBEDAAN KEYAKINAN BUKANLAH HAMBATAN UNTUK SALING BERTOLERANSI

Hari raya keagamaan bukan lah hari raya yang wajibnya dilaksanakan atau hanya dimeriahkan oleh orang-orang yang seagamanya. Natal merupakan hari raya suci umat Kristiani. Suka cita Natal tidak hanya dapat dirasakan oleh umat kristiani saja. Pada hari raya natal tahun ini, kebetulan saya sedang berada di salah satu rumah saudara yang beragama Kristen Protestan. Saya sebagai umat yang memiliki keyakinan berbeda disini pun ikut merasakan kemeriahan hari besar ini.
Tidak hanya saya saja, kalangan keluarga lain yang memeluk agama lainnya pun turut serta hadir dalam perayaan Natal tersebut. Ini menunjukkan salah satu toleransi antar agama yang kuat di dalam masyarakat terutamanya di Indonesia. Rasa saling menghargai dan menghormati antar umat beragama yang merupakan landasan atau dasar Negara kita dapat diterapkan meskipun dengan tindakan yang kecil.
Seperti halnya, hal sederhana yang dapat dilakukan yaitu meskipun hanya sekedar berkunjung dan memberikan ucapan hari raya kita sudah melaksanakan kewajiban tersebut. Menjadi salah satu kebanggaan tersendiri, bagaimana kita bisa merasakan dan ikut berperan dalam hari raya besar umat yang berbeda keyakinan dengan kita. Kefanatikan akan agama sendiri bukanlah hal yang patut dicondongkan, bagaimanapun juga kita tetap berasal dari satu Tuhan hanya saja keyakinan yang mempelopori perbedaan tersebut.
Perbedaan keyakinan tersebut bukanlah hambatan kita untuk tidak saling menghargai, saling menolong dan bertoleransi antar umat agama yang lain. Saat kita bermasyarakat, kita bisa letakkan sementara keyakinan yang kita peluk untuk sementara, agar menghindari sebuah perselisihan yang tidak diinginkan. Satu persatu tamu undangan yang sebagian besar bahkan pemeluk agama yang berbeda, berkunjung dan memberi ucapan selamat hari raya kepada pemilik acara, dan selanjutnya diajak untuk makan bersama.

Tidak ada kecanggungan yang membalut setiap orang yang datang, saya merasakan inilah sebuah adat yang patut untuk dilestarikan dan dijaga di Indonesia. Meskipun dari hal yang sederhana tersebut, kita bisa tunjukkan suatu kebanggaan bahkan sebuah prestasi dimana negara Indonesia yang dikenal memiliki 5 agama yang berbeda – beda masih tetap satu dalam suatu perbedaan.

“Puja Mandala” – Keharmonisan dalam Perbedaan


Bhineka Tunggal Ika, Beragam perbedaan namun tetap satu tujuan. Semboyan sederhana yang mempunyai arti yang sangat mendalam untuk kehidupan manusia. Mungkin arti tersebut dapat menggambarkan makna “Puja Mandala” sebuah tempat beribadah yang bertempat di kawasan Nusa Dua, Bali.
Sesuai dengan namanya “Puja Mandala”, berasal dari bahasa sansekerta dengan petikan kata Puja yang berarti persembahan/ibadah dan kata Mandala yang berarti lingkaran. Tempat ibadah yang berlokasi di Jalan Kurusetra Desa Kampial Kelurahan Benoa Kecamatan Kuta Selatan ini merupakan pusat kawasan 5 tempat suci berbeda yang berjajar dalam satu barisan yang memanjang mulai dari Masjid, Gereja Katolik, Vihara, Gereja Protestan dan Pura.
Puja Mandala ini dibangun mulai tahun 1994 atas prakarsa Joop Ave selaku Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang menjabat pada masa era Orde Baru dibawah kekuasaan Presiden Soeharto. Landasan didirikannya tempat peribadatan 5 agama ini adalah untuk mempermudah masyarakat daerah sekitar Nusa Dua khususnya non Hindu yang sulit menemukan tempat beribadat saat itu. Namun hingga saat ini, tempat beribadat tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat suci semata namun dapat memberikan daya tarik pariwisata tersendiri bagi wisatawan lokal maupun mancanegara terkait keunikan tempat ibadah ini.
Berdiri diatas lahan seluas 2,5 hektar, pusat beribadatan ini terbagi atas 5 tempat suci yang masing-masing berdiri diatas lahan seluas 0,5 hektar. Dari ujung kiri terdapat Masjid Ibnu Batutah, Gereja Katolik Bunda Maria Segala Bangsa, Vihara Budhina Guna, Gereja Kristen Protestan Bukit Doa, dan diakhiri oleh Pura Jagat Natha sebagai kawasan tempat suci untuk umat Hindu. Seluruh tempat suci ini dibangun dengan megahnya sehingga mampu membuat kagum wisatawan yang berkunjung ke Puja Mandala untuk beribadat.
Peresmian tempat peribadatan ini dilakukan secara bertahap dimulai dari tahun 1997 untuk bangunan Masjid Ibnu Batutah, Gereja Katolik Bunda Maria Segala Bangsa dan Gereja Kristen Protestan Bukit Doa oleh Tarmidzi Taher- Menteri Agama yang menjabat saat itu. Kemudian selang enam tahun kemudian, diresmikan Bangunan Vihara Budhina Guna dan pada tahun 2005 diresmikan Bangunan Pura Jagat Natha oleh Gubernur Bali saat itu, Dewa Beratha.

Puja Mandala juga sering disebut sebagai miniatur kerukunan umat beragama di Indonesia. Dengan relasi harmonis dan dinamis, semangat kebersamaan dalam Puja Mandala lahir dari relung jati diri masyarakat pendukung nya. Keberadaan tempat-tempat beribadah di Puja Mandala bukan hanya sebatas simbol saja, namun merupakan bentuk nyata dari toleransi hakiki dalam suasana informal, akrab dan terinternalisasi dalam keseharian hidup. 


 Masjid Ibnu Batutah


Gereja Katolik Bunda Maria Segala Bangsa


Vihara Budhina Guna




Gereja Kristen Protestan Bukit Doa

Pura Jagat Natha

Selasa, 29 Oktober 2013

“Mahasisya Upanayana XI”


        Universitas Udayana pada Sabtu, 26 Oktober 2013 mengadakan sebuah kegiatan pawintenan untuk mahasiswa baru yang beragama Hindu di lingkungan Universitas Udayana. Acara pewintenan ini dikenal dengan nama Mahasisya Upanayana (MU). Kegiatan tersebut merupakan kegiatan tahunan dan sudah diselenggarakan sebanyak 11 kali sampai sekarang. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Udayana (FPMHD-Unud) sebagai satu-satunya wadah perkumpulan mahasiswa Hindu di lingkungan Universitas Udayana.

Kegiatan Mahasisya Upanayana XI mengambil tema “Upanayana sebagai identitas awal mahasiswa Hindu dalam mempererat tali persaudaraan”. Kegiatan ini melibatkan 2920 orang mahasiswa beragama Hindu Universitas Udayana yang bertempat di Padmasana Widya Maha Saraswati Kampus Bukit Jimbaran yang dimulai pukul 8 pagi dan dipuput oleh Ida Pandita dari Griya Telabah Kerobokan. Kegiatan Mahasisya Upanayana sendiri tidak hanya pewintenan saja, tapi ada banyak acara hiburan yang berlangsung di Auditorium Widya Sabha Universitas Udayana.

Acara pertama diawali dengan laporan Ketua Panitia MU XI, kemudian sambutan dari I Kadek Maryana selaku Koordinator Umum FPMHD-Unud, sambutan dari Penasehat FPMHD-Unud dan sambutan Rektor Universitas Udayana yang saat itu diwakili oleh Pembantu Rektor III Universitas Udayana yaitu Dr. I Nyoman Suyatna, S.H., M.H. dan sekaligus membuka acara secara resmi dengan  ditandai dengan pemukuluan gong bersama penasehat FPMHD-Unud yaitu Prof. Dr. Ir. I Nyoman Sucipta,MP, Koordinator Umum FPMHD-Unud serta Ketua Panitia MU.

Prof. Sucipta selaku penasehat FPMHD-Unud dalam sambutannya lebih menekankan Tri Dharma Perguruan Tinggi pada mahasiswa Universitas Udayana. Selain itu, Pembantu Rektor III Universitas Udayana mengatakan bahwa acara Mahasisya Upanayana merupakan salah satu kegiatan Hindu yang tidak dapat ditemukan dalam Universitas lainnya. Selain itu, kegitan mahasisya Upanayana bertujuan untuk memupuk moral, mental, dan iman untuk membentuk mahasiswa yang berintelektual.



Setelah acara sambutan, dilanjutkan dengan persembahan tari Saktining Tri Datu yang dibawakan oleh mahasiswa-mahasiswa Hindu di lingkungan Universitas Udayana dan acara dilanjutkan dengan acara Demisioner pengurus FPMHD-Unud periode 2012/2013 dan pelantikan pengurus baru FPMHD-Unud periode 2013/2014.
Kegiatan MU XI ini juga diisi dengan acara Dharma Wacana yang dibawakan langung oleh Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda dengan diskusi mengenai tema MU tahun ini. Acara ini dimeriahkan oleh bintang tamu Nyanyian Dharma dengan personelnya Gus Wicak, Anggi, Ocha dan Agung Wirasutha yang membawakan 6 buah lagu. Kegiatan MU XI ini ditutup dengan acara Lawak yang dibawakan oleh Men Mersi Grup dengan lawakannya yang mampu memancing gelak tawa seluruh peserta dan panitia MU XI.
Dengan berakhirnya seluruh kegitan MU XI ini, diharapkan nantinya mahasiswa baru Universitas Udayana yang telah secara sekala dan niskala telah resmi menjadi bagian dari mahasiswa Hindu Universitas Udayana dan diharapakan dapat menjalankan swadharmanya sebagai mahasiswa yang berlandaskan akan etika dan dharma.   

Editor Anonjmous

Jumat, 30 Agustus 2013

PA SEBAGAI RANCANGAN PONDASI FPMHD-UNUD

           Paruman Agung atau yang biasa disebut dengan PA merupakan salah satu program kerja FPMHD-Unud yang terpenting, dimana hasil dari PA ini nantinya akan membawa nasib forum kedepannya. PA tahun ini merupakan kegiatan yang  ke-17 dan dilaksanakan di aula Hotel Aget Jaya II, Tanjung Bungkak - Denpasar, pada tanggal 22 - 24 Agustus 2013 dan diikuti oleh 34 peserta. PA dapat juga dikatakan sebagai rangkaian dasar suatu pondasi yang akan menopang berdirinya sebuah organisasi, sehingga dapat pula dikatakan kegiatan ini adalah sebuah kegiatan yang sakral. Dengan adanya kegiatan seperti ini kita bisa mengetahui landasan-landasan forum yang dipakai sebagai acuan  untuk kinerja forum kedepannya. Selain itu, dari PA lah kita menentukan sendiri jalannya forum dengan terpilihnya seorang kordinator yang nantinya sebagai ujung tombak forum yang berpengaruh pada nasib forum kedepannya.
PA merupakan sebuah sidang internal antara peserta selingkup forum serta diikuti juga dengan para undangan dan alumni. Hasil dari sidang PA tahun ini memutuskan bahwa I Kadek Maryana sebagai kordinator FPMHD-Unud 2013-2014, dan sebelumnya terdapat tiga kandidat calon koordinator yaitu I Wayan Radika Apriana, I Kadek Maryana dan Ni Putu Sri Suci Sunarti. Terpilihnya I Kadek Maryana merupakan hasil mutlak yang diperoleh pemungutan suara dari peserta. Tentunya dengan terpilihnya kordinator yang baru muncul harapan-harapan besar dari  masing-masing peserta terutamanya calon fungsionaris yang baru. Salah satunya adalah Widiastuti. Ia mengharapkan bahwa kordinator yang sekarang lebih kritis menghadapi persoalan – persoalan di masyarakat. Kordinator yang sekarang harus bisa mengangkat forum untuk lebih baik, “terutama buat inovasi – inovasi baru untuk kegiatan forum yang sudah ada, sehingga forum bisa berkarya sekreatif mungkin menciptakan kegiatan baru namun tetap berlandaskan ngayah, lebih berusaha lagi untuk merangkul mahasiswa Hindu-Unud untuk mencintai forum, agar nyamabraya antar mahasiswa hindu tetap terjaga tidak hanya untuk selingkupan forum saja”, tegasnya.

Melihat bahwa begitu pentingnya PA dalam organisasi di forum, hendaknya kita sebagai mahasiswa Hindu dapat belajar bagaimana sebah kepemimpinan yang baik dari suatu organisasi, selain itu kita juga sebagai mahasiswa Hindu yang belajar tentang bagaimana ajaran Asta Brata yang seharusnya dapat kita terapkan dalam kehidupan nyata duniawi. Suatu bangunan yang megah dan indah, tidaklah luput dari sebagaimana seseorang dapat melukiskan dan mengerjakannya dengan ketulusan dan kesungguhanya bekerja serta memimpin suatu kelompok kerja. Widi pun mengharapkan agar PA tahun depan harus lebih baik, terutama disiplin waktunya, efisiensi pembahasan serta lebih kritis dalam membahas perubahan-perubahan untuk forum kedepannya. Harapan yang sama juga diungkapkan oleh J Wiratama “Lebih di rancang lagi susunan waktu pelaksanaannya dan apa aja yang harus dibahas, jangan semua dibahas, bahas yang memang dirasa ada kejanggalan”.

Minggu, 04 Agustus 2013

Tradisi Perang Tipat-Bantal



Desa Adat  Kapal merupakan salah satu desa tradisional di Bali yang kaya akan keunikan adat dan budaya. Desa yang berada di antara Kota Denpasar dan Tabanan ini memiliki tradisi yang unik dan menarik yang masih berlangsung hingga sekarang yaitu pelaksanaan Tradisi Aci Rah Pengangon atau lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai tradisi perang tipat bantal. Tradisi perang tipat-bantal tersebut dilangsungkan di depan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal, tepatnya di Jalan Raya Kapal, Jurusan  Denpasar – Gilimanuk Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung,
Tradisi ini dilaksanakan setiap Bulan Keempat dalam penanggalan Bali (sasih kapat) sekitar bulan September – Oktober. Tradisi ini berkaitan erat dengan kehidupan pertanian masyarakatnya, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang diciptakan-Nya serta berlimpahnya hasil panen di desa. Pelaksanaanya diwujudkan dalam bentuk Perang dengan menggunakan Tipat-Bantal. Tipat/ ketupat adalah olahan makanan dari beras yang dibungkus dalam anyaman janur / daun kelapa yang masih muda berbentuk segi empat sedangkan Bantal adalah penganan yang terbuat dari beras ketan yang juga dibungkus dengan janur namun berbentuk lonjong. Dua hal ini adalah simbolisasi dari keberadaan energi maskulin dan feminin yang ada di semesta ini, yang mana dalam konsep Hindu disebut sebagai Purusha dan Pradhana.
Pertemuan kedua hal inilah yang dipercaya memberikan kehidupan pada semua makhluk di dunia ini, dimana segala yang tumbuh dan berkembang baik dari tanah (tumbuh), bertelur maupun dilahirkan berawal dari pertemuan kedua hal ini.
Perang tipat bantal diikuti oleh petani pria beserta anak laki-lakinya. Sebelum pelaksanaan tradisi perang tipat bantal, semua kelian banjar di desa adat kapal membunyikan kulkul di banjar masing-masing dengan maksud untuk mengumpulkan masyarakat di banjar setempat. Setelah berkumpul, masyarakat kemudian berangkat bersama – sama menuju jaba pura desa lan puseh desa adat Kapal untuk melakukan persembahyangan. Usai sembahyang, masayarakat kemudian membagi dirinya menjadi dua kelompok yang sebelumnya sudah disepakati untuk saling melempar tipat dan bantal dengan maksud agar kedua benda ini bertemu di udara. Kegiatan saling lempar inilah yang kemudian disebut dengan Perang Tipat-Bantal. Perang yang awalnya berlangsung di jaba Pura, kemudian meluas hingga ke jalan raya Kapal. Tentunya pada perang tipat bantal ini ada yang kena lemparan tipat ataupun bantal. Yang terkena tipat ataupun bantal konon  hasil panenya akan mengalami kemerosotan bahkan bisa gagal panen. Setelah perang berakhir tipat dan bantal tersebut dipungut oleh warga desa untuk ditaburkan di  sawah mereka agar ladang mereka subur dan menghasilkan hasil panen yang bagus.
Tradisi perang ini bermakna bahwa pangan yang kita miliki adalah senjata utama untuk mempertahankan diri dalam hidup dan berkehidupan. Tradisi ini mempunyai kemiripan dengan tradisi-tradisi agraris yang unik dibelahan dunia yang lain seperti perang tomat di Spanyol. Dari tradisi ini pula dapat dirunut sebuah kepercayaan masyarakat desa Kapal mengenai larangan menjual Tipat. Tipat dalam konteks ini merupakan simbolisasi dari energi feminisme, yang mana diwakili oleh keberadaan Ibu Pertiwi/Bumi dalam bentuk fisiknya sebagai Tanah. Tanah adalah penopang hidup, tempat tumbuh dan berkembang yang harus dijaga, dilestarikan, dirawat dan dihormati. Inilah kearifan-kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat.
Keberadaan tradisi Perang Tipat  Bantal ini banyak dijelaskan dalam catatan-catatan sejarah kuno berupa lontar. Salah satu lontar yang menceritakan tentang asal muasal pelaksanaan tradisi ini terdapat dalam Lontar Tabuh Rah Pengangon milik salah seorang warga desa Kapal, Bapak Ketut Sudarsana. Dalam lontar tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut :
Ketika Asta Sura Ratna Bhumi Banten menjadi Raja di Pulau Bali menggantikan
kakaknya, Shri Walajaya Kertaningrat yang meninggal pada tahun Isaka 1259 atau tahun 1337 Masehi, beliau mengangkat seorang Patih yang bernama Ki Kebo Taruna atau lebih dikenal sebagai Ki Kebo Iwa dan mempunyai seorang Mahapatih yang bernama Ki Pasung Grigis. Diceritakan pada masa itu sang Raja mengutus sang Patih untuk merestorasi Candi di Khayangan Purusada yang ada di Desa Kapal.
Pada tahun Isaka 1260 atau tahun 1338 Masehi berangkatlah Ki Kebo Iwa diiringi oleh Pasek Gelgel, Pasek Tangkas, Pasek Bendesa dan Pasek Gaduh menuju Khayangan Purusadha di desa Kapal dengan terlebih dahulu menuju desa Nyanyi untuk mengambil batu bata sebagai bahan untuk merestorasi candi tersebut. Tidak dijelaskan bagaimana Ki Kebo Iwa merestorasi candi tersebut.
Pada suatu saat itu desa Kapal mengalami paceklik panen yang mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan masyarakatnya. Risau atas keadaan ini kemudian Ki Kebo Iwa memohon jalan keluar kepada Sang Pencipta dengan melakukan yoga semadhi di Khayangan Bhatara Purusada. Tatkala melaksanakan yoga semadhi beliau mendapatkan sabdha dari Sang Hyang Siwa Pasupati untuk melaksanakan Aci Rah Pengangon atau Aci Rare Angon dengan sarana menghaturkan tipat – bantal sebagai simbolisasi Purusha dan Predhana (sumber kehidupan) karena penyebab dari segala paceklik tersebut adalah ketiadaan sumber kehidupan tersebut. Dalam sabdha ini pula diperoleh perintah agar masyarakat Kapal tidak menjual Tipat karena Tipat adalah simbolisasi dari Predana/Energi Feminisme/Ibu Pertiwi. Akhirnya dilaksanakanlah Aci Rah Pengangon di Desa Kapal sehingga desa ini makmur dan tentram kembali. Setelah melaksanakan tugasnya maka kembalilah Patih Ki Kebo Iwa menuju purinya Raja Bali yaitu di Batu Anyar ( sekarang dikenal dengan nama Bedulu ), sampai akhirnya kemudian Pulau Bali ditundukkan oleh Majapahit pada tahun saka 1265 atau tahun 1343 Masehi. Dari hal inilah kemudian berkembang tradisi Perang Tipat - Bantal ini di Desa Kapal pada tahun 1337, salah satu dari sekian banyak kearifan-kearifan masa lampau yang harus dihayati, dijaga dan dilestarikan sebagai sebuah tuntunan hidup untuk lebih menghormati alam dan kehidupan.
Ini adalah sebuah tradisi unik yang sangat langka dan mungkin satu-satunya di Bali, yang merupakan sebuah bentuk penghormatan terhadap energi semesta yang menciptakan kehidupan serta sebuah prosesi untuk melestarikan kelangsungan kehidupan itu sendiri dengan konsep menjaga ibu pertiwi / tanah yang merupakan wujud nyata penopang dan pemberi kehidupan bagi setiap makhluk di muka bumi ini. Di tengah kasus penjualan tanah di bali semakin meningkat, terutama penjualan tanah sawah, tradisi - tradisi seperti ini mungkin dapat membuka sedikit wawasan kita mengenai kearifan masa lampau sebagai bekal untuk melangkah menuju kehidupan masa depan yang harmonis dengan alam. 

*Penulis: Hendra Setiawan (Mahasiswa Fak.Teknik Universitas Udayana)
Saat ini menjabat sebagai Anggota Litbang FPMHD-Unud 

Rabu, 24 Juli 2013

The Secret of Giant Letter “Not For Sale”



Di sebelah timur Pasar Ubud terdapat jalan kecil keutara yang bernama jalan Sriwedari. Bila kita menyusuri jalan tersebut sepanjang kurang lebih 3,5 km maka kita akan menjumpai hamparan sawah yang cukup luas yang bernama Sawah Uma Pacung. Lebih tepatnya sawah tersebut berada di Br. Junjungan, Ubud. Di tengah-tengah hamparan sawah hijau itu akan terpampang jelas patung-patung huruf yang membentuk tulisan “NOT FOR SALE”.
Instalasi tulisan ini merupakan karya seniman asal Junjungan I Gede Suanda. Seniman yang akrab dipanggil “Sayur” ini mengaku merasa prihatin melihat banyaknya alih fungsi lahan sawah menjadi villa atau semacamnya yang terjadi di Bali khusunya di Uma Pacung tersebut. Kegelisahan hati yang dirasakan alumni ISI Yogyakarta ini terhadap keberadaan Bali kedepannya  yang membuat dirinya ingin membuat instalasi ini di lahan sawah miliknya sendiri yang memang jika dilihat dari kacamata bisnis sangat strategis untuk lokasi akomodasi wisata seperti villa atau hotel. “Kapan lagi kita bisa mendengar suara kodok, melihat capung beterbangan, ada orang membajak, serta merasakan sejuknya embun pagi persawahan bila semua sawah disini habis dimakan investor” tutur pria berambut mohak tersebut.

Terciptannya instalasi ini sempat menimbulkan kontroversi diantara kalangan masyarakat lokal karena dianggap terlalu keras mengkritik keberadaan villa-villa yang ada di sekitarnya. Tetapi sebenarnya tujuan yang ingin dicapai oleh laki-laki yang berpenampilan sederhana ini adalah untuk mengingatkan masyarakat supaya tidak menjual sawahnya untuk kepentingan sesaat.
Dari pertama terbentuk hingga sekarang, instalasi raksasa ini sudah pernah mengalami  2 kali perubahan. Pertama tulisannya dibuat dari bambu yang dirakit sedemikian rupa sehingga menghasilkan tulisan raksasa. Karena bahannya sudah rapuh maka duganti lagi dengan menggunakan triplek yang cukup lebar. Dan terakhir dibuat dengan triplek pula hanya saja bentuk tulisannya yang berbeda yaitu menggunakan format huruf-huruf digital pada kalkulator.
Berbagai event positif telah dilakukan di Luden House (Not for Sale) ini. Seperti funbike yang akrab dikenal dengan sebutan “mutumanikam” oleh anak-anak Desa Junjungan yang ikut menyelenggarakannya. Ngerujak bersama, belajar screen printing, dan berbagai kegiatan lainnya. Salah satu kegiatan terdekat yang bakal diselenggarakan bulan ini adalah konser Bali Not For Sale. Kegiatan ini melibatkan berbagai kalangan seperti pencinta lingkungan, artis, aktivis, masyarakat, dan anak-anak. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kepedulian orang Bali terhadap alam Bali itu sendiri. “Kita tidak bisa makan aspal” imbuhnya.

Penulis: I Kadek Maryana (mahasiswa Fak.Pertanian Unud angkatan 2011)
Saat ini menjabat sebagai KaBid Bina Warga FPMHD Unud