Jumat, 30 Agustus 2013

PA SEBAGAI RANCANGAN PONDASI FPMHD-UNUD

           Paruman Agung atau yang biasa disebut dengan PA merupakan salah satu program kerja FPMHD-Unud yang terpenting, dimana hasil dari PA ini nantinya akan membawa nasib forum kedepannya. PA tahun ini merupakan kegiatan yang  ke-17 dan dilaksanakan di aula Hotel Aget Jaya II, Tanjung Bungkak - Denpasar, pada tanggal 22 - 24 Agustus 2013 dan diikuti oleh 34 peserta. PA dapat juga dikatakan sebagai rangkaian dasar suatu pondasi yang akan menopang berdirinya sebuah organisasi, sehingga dapat pula dikatakan kegiatan ini adalah sebuah kegiatan yang sakral. Dengan adanya kegiatan seperti ini kita bisa mengetahui landasan-landasan forum yang dipakai sebagai acuan  untuk kinerja forum kedepannya. Selain itu, dari PA lah kita menentukan sendiri jalannya forum dengan terpilihnya seorang kordinator yang nantinya sebagai ujung tombak forum yang berpengaruh pada nasib forum kedepannya.
PA merupakan sebuah sidang internal antara peserta selingkup forum serta diikuti juga dengan para undangan dan alumni. Hasil dari sidang PA tahun ini memutuskan bahwa I Kadek Maryana sebagai kordinator FPMHD-Unud 2013-2014, dan sebelumnya terdapat tiga kandidat calon koordinator yaitu I Wayan Radika Apriana, I Kadek Maryana dan Ni Putu Sri Suci Sunarti. Terpilihnya I Kadek Maryana merupakan hasil mutlak yang diperoleh pemungutan suara dari peserta. Tentunya dengan terpilihnya kordinator yang baru muncul harapan-harapan besar dari  masing-masing peserta terutamanya calon fungsionaris yang baru. Salah satunya adalah Widiastuti. Ia mengharapkan bahwa kordinator yang sekarang lebih kritis menghadapi persoalan – persoalan di masyarakat. Kordinator yang sekarang harus bisa mengangkat forum untuk lebih baik, “terutama buat inovasi – inovasi baru untuk kegiatan forum yang sudah ada, sehingga forum bisa berkarya sekreatif mungkin menciptakan kegiatan baru namun tetap berlandaskan ngayah, lebih berusaha lagi untuk merangkul mahasiswa Hindu-Unud untuk mencintai forum, agar nyamabraya antar mahasiswa hindu tetap terjaga tidak hanya untuk selingkupan forum saja”, tegasnya.

Melihat bahwa begitu pentingnya PA dalam organisasi di forum, hendaknya kita sebagai mahasiswa Hindu dapat belajar bagaimana sebah kepemimpinan yang baik dari suatu organisasi, selain itu kita juga sebagai mahasiswa Hindu yang belajar tentang bagaimana ajaran Asta Brata yang seharusnya dapat kita terapkan dalam kehidupan nyata duniawi. Suatu bangunan yang megah dan indah, tidaklah luput dari sebagaimana seseorang dapat melukiskan dan mengerjakannya dengan ketulusan dan kesungguhanya bekerja serta memimpin suatu kelompok kerja. Widi pun mengharapkan agar PA tahun depan harus lebih baik, terutama disiplin waktunya, efisiensi pembahasan serta lebih kritis dalam membahas perubahan-perubahan untuk forum kedepannya. Harapan yang sama juga diungkapkan oleh J Wiratama “Lebih di rancang lagi susunan waktu pelaksanaannya dan apa aja yang harus dibahas, jangan semua dibahas, bahas yang memang dirasa ada kejanggalan”.

Minggu, 04 Agustus 2013

Tradisi Perang Tipat-Bantal



Desa Adat  Kapal merupakan salah satu desa tradisional di Bali yang kaya akan keunikan adat dan budaya. Desa yang berada di antara Kota Denpasar dan Tabanan ini memiliki tradisi yang unik dan menarik yang masih berlangsung hingga sekarang yaitu pelaksanaan Tradisi Aci Rah Pengangon atau lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai tradisi perang tipat bantal. Tradisi perang tipat-bantal tersebut dilangsungkan di depan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal, tepatnya di Jalan Raya Kapal, Jurusan  Denpasar – Gilimanuk Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung,
Tradisi ini dilaksanakan setiap Bulan Keempat dalam penanggalan Bali (sasih kapat) sekitar bulan September – Oktober. Tradisi ini berkaitan erat dengan kehidupan pertanian masyarakatnya, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang diciptakan-Nya serta berlimpahnya hasil panen di desa. Pelaksanaanya diwujudkan dalam bentuk Perang dengan menggunakan Tipat-Bantal. Tipat/ ketupat adalah olahan makanan dari beras yang dibungkus dalam anyaman janur / daun kelapa yang masih muda berbentuk segi empat sedangkan Bantal adalah penganan yang terbuat dari beras ketan yang juga dibungkus dengan janur namun berbentuk lonjong. Dua hal ini adalah simbolisasi dari keberadaan energi maskulin dan feminin yang ada di semesta ini, yang mana dalam konsep Hindu disebut sebagai Purusha dan Pradhana.
Pertemuan kedua hal inilah yang dipercaya memberikan kehidupan pada semua makhluk di dunia ini, dimana segala yang tumbuh dan berkembang baik dari tanah (tumbuh), bertelur maupun dilahirkan berawal dari pertemuan kedua hal ini.
Perang tipat bantal diikuti oleh petani pria beserta anak laki-lakinya. Sebelum pelaksanaan tradisi perang tipat bantal, semua kelian banjar di desa adat kapal membunyikan kulkul di banjar masing-masing dengan maksud untuk mengumpulkan masyarakat di banjar setempat. Setelah berkumpul, masyarakat kemudian berangkat bersama – sama menuju jaba pura desa lan puseh desa adat Kapal untuk melakukan persembahyangan. Usai sembahyang, masayarakat kemudian membagi dirinya menjadi dua kelompok yang sebelumnya sudah disepakati untuk saling melempar tipat dan bantal dengan maksud agar kedua benda ini bertemu di udara. Kegiatan saling lempar inilah yang kemudian disebut dengan Perang Tipat-Bantal. Perang yang awalnya berlangsung di jaba Pura, kemudian meluas hingga ke jalan raya Kapal. Tentunya pada perang tipat bantal ini ada yang kena lemparan tipat ataupun bantal. Yang terkena tipat ataupun bantal konon  hasil panenya akan mengalami kemerosotan bahkan bisa gagal panen. Setelah perang berakhir tipat dan bantal tersebut dipungut oleh warga desa untuk ditaburkan di  sawah mereka agar ladang mereka subur dan menghasilkan hasil panen yang bagus.
Tradisi perang ini bermakna bahwa pangan yang kita miliki adalah senjata utama untuk mempertahankan diri dalam hidup dan berkehidupan. Tradisi ini mempunyai kemiripan dengan tradisi-tradisi agraris yang unik dibelahan dunia yang lain seperti perang tomat di Spanyol. Dari tradisi ini pula dapat dirunut sebuah kepercayaan masyarakat desa Kapal mengenai larangan menjual Tipat. Tipat dalam konteks ini merupakan simbolisasi dari energi feminisme, yang mana diwakili oleh keberadaan Ibu Pertiwi/Bumi dalam bentuk fisiknya sebagai Tanah. Tanah adalah penopang hidup, tempat tumbuh dan berkembang yang harus dijaga, dilestarikan, dirawat dan dihormati. Inilah kearifan-kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat.
Keberadaan tradisi Perang Tipat  Bantal ini banyak dijelaskan dalam catatan-catatan sejarah kuno berupa lontar. Salah satu lontar yang menceritakan tentang asal muasal pelaksanaan tradisi ini terdapat dalam Lontar Tabuh Rah Pengangon milik salah seorang warga desa Kapal, Bapak Ketut Sudarsana. Dalam lontar tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut :
Ketika Asta Sura Ratna Bhumi Banten menjadi Raja di Pulau Bali menggantikan
kakaknya, Shri Walajaya Kertaningrat yang meninggal pada tahun Isaka 1259 atau tahun 1337 Masehi, beliau mengangkat seorang Patih yang bernama Ki Kebo Taruna atau lebih dikenal sebagai Ki Kebo Iwa dan mempunyai seorang Mahapatih yang bernama Ki Pasung Grigis. Diceritakan pada masa itu sang Raja mengutus sang Patih untuk merestorasi Candi di Khayangan Purusada yang ada di Desa Kapal.
Pada tahun Isaka 1260 atau tahun 1338 Masehi berangkatlah Ki Kebo Iwa diiringi oleh Pasek Gelgel, Pasek Tangkas, Pasek Bendesa dan Pasek Gaduh menuju Khayangan Purusadha di desa Kapal dengan terlebih dahulu menuju desa Nyanyi untuk mengambil batu bata sebagai bahan untuk merestorasi candi tersebut. Tidak dijelaskan bagaimana Ki Kebo Iwa merestorasi candi tersebut.
Pada suatu saat itu desa Kapal mengalami paceklik panen yang mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan masyarakatnya. Risau atas keadaan ini kemudian Ki Kebo Iwa memohon jalan keluar kepada Sang Pencipta dengan melakukan yoga semadhi di Khayangan Bhatara Purusada. Tatkala melaksanakan yoga semadhi beliau mendapatkan sabdha dari Sang Hyang Siwa Pasupati untuk melaksanakan Aci Rah Pengangon atau Aci Rare Angon dengan sarana menghaturkan tipat – bantal sebagai simbolisasi Purusha dan Predhana (sumber kehidupan) karena penyebab dari segala paceklik tersebut adalah ketiadaan sumber kehidupan tersebut. Dalam sabdha ini pula diperoleh perintah agar masyarakat Kapal tidak menjual Tipat karena Tipat adalah simbolisasi dari Predana/Energi Feminisme/Ibu Pertiwi. Akhirnya dilaksanakanlah Aci Rah Pengangon di Desa Kapal sehingga desa ini makmur dan tentram kembali. Setelah melaksanakan tugasnya maka kembalilah Patih Ki Kebo Iwa menuju purinya Raja Bali yaitu di Batu Anyar ( sekarang dikenal dengan nama Bedulu ), sampai akhirnya kemudian Pulau Bali ditundukkan oleh Majapahit pada tahun saka 1265 atau tahun 1343 Masehi. Dari hal inilah kemudian berkembang tradisi Perang Tipat - Bantal ini di Desa Kapal pada tahun 1337, salah satu dari sekian banyak kearifan-kearifan masa lampau yang harus dihayati, dijaga dan dilestarikan sebagai sebuah tuntunan hidup untuk lebih menghormati alam dan kehidupan.
Ini adalah sebuah tradisi unik yang sangat langka dan mungkin satu-satunya di Bali, yang merupakan sebuah bentuk penghormatan terhadap energi semesta yang menciptakan kehidupan serta sebuah prosesi untuk melestarikan kelangsungan kehidupan itu sendiri dengan konsep menjaga ibu pertiwi / tanah yang merupakan wujud nyata penopang dan pemberi kehidupan bagi setiap makhluk di muka bumi ini. Di tengah kasus penjualan tanah di bali semakin meningkat, terutama penjualan tanah sawah, tradisi - tradisi seperti ini mungkin dapat membuka sedikit wawasan kita mengenai kearifan masa lampau sebagai bekal untuk melangkah menuju kehidupan masa depan yang harmonis dengan alam. 

*Penulis: Hendra Setiawan (Mahasiswa Fak.Teknik Universitas Udayana)
Saat ini menjabat sebagai Anggota Litbang FPMHD-Unud