Tampilkan postingan dengan label Tulisan Terbaru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tulisan Terbaru. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 Maret 2013

Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Nilai Local Genius Dalam Ajaran Agama Hindu


Oleh. I Gede Dharman Gunawan, SH., S.Pd.H., M.Pd.H. 
Dosen Pengajar di IHDN Denpasar

Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan  pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk  pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam membina kepribadian generasi muda. Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Secara garis besar, jadi pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha pengembangan dan mendidik karakter seseorang, yaitu kejiwaan, akhlak dan budi pekerti sehingga menjadi lebih baik.
Terdapat beberapa nilai-nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Mulai tahun ajaran 2011, seluruh tingkat pendidikan di Indonesia harus menyisipkan pendidikan berkarakter tersebut dalam proses pendidikannya, antara lain:
a.       Religius, yakni Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
b.      Jujur, yakni Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
c.       Toleransi, yakni Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
d.      Disiplin, yakni Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
e.       Kerja Keras, yakni Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
f.       Kreatif, yakni Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
g.      Mandiri, yakni Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
h.      Demokratis, yakni Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
i.        Rasa Ingin Tahu, yakni Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
j.        Semangat Kebangsaan, yakni Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
k.      Cinta Tanah Air, yakni Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
l.        Menghargai Prestasi, yakni Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
m.    Bersahabat/Komunikatif, yakni Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
n.      Cinta Damai, yakni Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
o.      Gemar Membaca, yakni Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
p.      Peduli Lingkungan, yakni Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
q.      Peduli Sosial, yakni Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
r.        Tanggung Jawab, yakni Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
           
            Pembahasan mengenai nilai-nilai Susila/Etika pendidikan agama Hindu mencakup beberapa komponen utama. Selanjutnya bagaimana makna susila/etika pendidikan agama Hindu dalam pembentukan karakter yang dimaksudkan dapat disimak paparannya berikut ini.
1. Catur Asrama
            Catur Asrama artinya empat lapangan atau lapisan hidup manusia sebagai tempat menimba pendidikan spiritual dan kehidupan material. Dalam pustaka Silakrama ada dijelaskan mengenai ajaran etika pendidikan agama Hindu mengenai atur asrama. Pembagian catur asrama adalah brahmacari asrama, grahastha asrama, wanaprastha asrama, dan bhiksuka/sanyasin asrama.
            Apa makna dari masing-masing asrama tersebut? Brahmacari asrama adalah tingkat kehidupan manusia pada saat menuntut ilmupengetahuan. Grahastha asrama adalah tingkat hidup manusia pada saat membina rumah tangga serta melangsungkan keturunan yang utama. Wanaprastha asrama adalah tingkat hidup manusia pada saat mengasingkan diri ke hutan dengan tujuan untuk melepaskan kehidupan grahastha yakni mencapai ketenangan batin dan mendalami ajaran spiritual. Bhiksuka/sanyasin asrama adalah tingkat hidup manusia pada saat meminta-minta di sekitar kehidupan masyarakat luas. Tahapan ini merupakan tahapan penting untuk mengakhiri tahapan kehidupan di dunia ini sebelum menuju dunia akhir.
2. Panca Yama Bratha
            Panca Yama Bratha artinya lima jenis prilaku hidup manusia yang wajib dikendalikan dan diarahkan menuju kebaikan dan kebenaran. Pembagian panca yama bratha yakni ahimsa artinya tidak membunuh atau tidak menyakiti atau yang sejenis, terlebih lagi menyiksa peserta didik, hal itu dilarang keras. Brahmacari artinya dengan tekun dan rajin menimba ilmu pengetahuan dan teknlogi. Pada masa ini hanya belajarlah yang diutamakan, hal lain seperti percintaan dinomorduakan. Satya artinya kesetiaan, kebenaran dan ketaatan. Siapapun dalam mengupayakan pendidikan tentu syarat benar dan setia tetap diutamakan, jangan sampai diabaikan bigitu saja, dikawatirkan bisa menuju kegagalan. Awyawaharika artinya tidak adanya keterikatan terhadap ikatan duniawi. Hal ini dimaksudkan untuk adanya fokus untuk menimba berbagai disiplin ilmu pegetahuan dan teknologi bagi para pelajar. Asteya artinya tidak melakukan pencurian, oleh karena mencuri dapat merusak moral para pelajar.
3. Panca Niyama Bratha
            Panca Niyama Bratha artinya lima macam perilaku manusia yang patut dikendalikan menuju ke arah kebaikan serta kesempurnaan. Pembagiannya adalah akrodha, guru susrusa, sauca, aharalagawa, dan apramada. Apa makna dari kelima jenis sikap tersebut? Berikut ini akrodha adalah tidak marah. Marah itu tidak baik yang menyebabkan kefatalan bersama. Guru susrusa artinya patuh untuk mengikuti dan menerapkan ajaran sang guru. Jika hal itu dilakukan maka kesuksesan menjadi milik para pelakunya. Sauca artinya adanya kesucian secara lahir dan batin yang harmonis. Salah satu komponen suci dan yang lainnya kotor, maka hal itu kurang harmonis. Aharalagawa artinya menikmati makanan yang sederhana atau tidak berfoya-foya. Hal ini untuk menjamin hidup sehat lahir dan batin. Apramada artinya perilaku yang tidak ingkar pada kewajiban diri maupun terhadap orang lain. Hal ini untuk menjamin hubungan yang utuh dalam kebersamaan.
4. Dasa Yama Bratha
            Dasa Yama Bratha artinya sepuluh jenis ajaran moral dengan tujuan untuk membina dan mengarahkan prilaku manusia menuju budi pekerti yang luhur/mulia sehingga tercapai tujuan hidup sakala dan niskala. Pembagian dasa yama bratha yaitu anrasangsya, ksama, satya, ahimsa, dama, arjawa, priti, prasada, madhurya, dan mardawa. Makna dari semua bagian tersebut perlu dipahami secara komprehensif guna memiliki nilai tntnan spiritual bagi kehidupan nyata di dunia ini.
            Anrasangsya artinya perilaku yang tidak mementingkan diri sendiri. Ksama  artinya prilaku yang suka mengampuni atau memaafkan sesama dan yang lainnya sebagai wujud sikap terpuji. Satya artinya sikap yang benar, setia, dan jujur. Ahimsa artinya tidak suka menyakiti, tidak menyiksa, dan tidak membunuh. Dama artinya memiliki sikap sabar dan tenang. Arjawa artinya sikap yang jujur dan tulus iklas/suka berterus terang. Priti artinya sikap yang selalu mengasihi sesama. Prasada artinya sikap yang mulia dan suci yang disertai dengan sikap ketulusikhlasan.Madhurya artinya memiliki sikap dan perangai yang manis dan lembut. Mardawa artinya sikap atau sifat yang rendah hati penuh keramahtamahan.
5. Sapta Timira
            Sapta Timira artinya tujuh jenis kegelapan dalam kehidupan manusia. Bagiannya adalah surupa (ketampanan) yakni karena memiliki wajah tampan dan ayu membuat lupa diri sehingga terjadi hidup nista. Dhana (kekayaan) yaitu adanya artha benda yang melimpah tetapi tidak bermakna bagi pemiliknya yang menyebabkan kefatalan hidup. Guna (kepandaian) yaitu sikap yang tidak memknai kepandaian dengan wajar sehingga orang lain diperbodoh atau diolok-olok. Kulina (kebangsawanan) yaitu kegelapan dari status keluarga yang terhormat namun tidak ditempatkan pada posisinya yang simpatik, sehingga menimbulkan perilaku congkak dengan sesama. Yowana (keremajaan) yaitu sikap tidak terpuji karena merasa diri masih mampu, kuat, dan tenaga masih muda, sehingga berlaku tidak senonoh dengan yang lainnya. Sura (minuman keras) yakni perilaku yang suka melakukan mabuk-mabukan dengan minuman keras dan yang sejenis, sehingga hidup menjadi tidak terarah. Kasuran (kemenangan/keberanian) yakni perilaku yang berani tetapi bermakna. Tidak bisa sekadar berana dalam bertindak yang asal pukul dulu urusan belakangan, sikap demikian tidak dibenarkan. Mestinya berani dalam membela kebenaran yang sejati.
6. Sad Tatayi
            Sad Tatayi adalah enam macam pembunuhan yang kejam. Pembagiannya adalah agnida artinya membakar sampai menimbukan kematian, wisada artinya meracuni, atharwa artinya melakukan ilmu hitam, sastraghna artinya mengamuk dengan senjata sampai menimbulkan kematian, dratikrama artinya menyiksa atau memperkos, dan rajapisuna artinya memfitnah. Semua ajaran disiplin ini wajib dipatuhi.
            Sad Tatayi sebagai ajaran atau aturan disiplin agar dipahami dengan sebaik-baiknya, yang harapannya adalah agar tidak sesuka hati membakar milik orang lain, tidak suka meracuni orang lain dan hewan/binatang di sekitarnya, tidak suka mengganggu dengan ilmu haluan kiri semacam santet, leak, teluh, dan yang sejenis. Juga tidak suka mengamuk tanpa dasar yang jelas yang erugikan jiwa dan material orang lain. Tidak melakukan penyiksaan dan pemerkosaan yang bukan haknya. Satu yang utama tidak melakukan fitnahan pada orang lain yang menyebabkan orang lain itu menjadi sengsara dan menderita. Aturan ini dimaksudkan agar para pelajar tidak melakukan kekejaman intelektual semacam disebutkan di atas.
7. Catur Paramita
            Catur paramita adalah empat jenis prilaku manusia yang luhur dan mulia. Keluhuran dan kemuliaan budi pekerti merupakan cita-cita bagi segenap umat manusia oleh karena ajaran catur paramita tersebut sebagai ajaran etika dalam pendidikan dan dalam kehidupan bersama dalam masyarakat secara luas. Pembagian catur paramita adalah maitri, karuna, muditha, dan upeksa. Maitri artinya kelembutan dalam bergaul serta keramahan dalam hidup bersama. Karuna artinya perilaku yang penuh dengan belas kasih serta sayang sesama maupun yang ada di sekitarnya. Muditha artinya dapat berprilaku yang ceria, gembira, suka cita serta bahagia terhadap semua yang ada di sekitarnya. Upeksa artinya sikap yang mulia untuk menghargai dan menghormati sesama serta makhluk lainnya.
8. Catur Prawrti
            Catur Prawrti artinya empat macam tuntnan atau pedoman hidupyang patut diterapkan oleh insan Hindu termasu juga para pemimpin umat. Pembagiannya adalah arjawa, anrsangsya, dama, dan indranigraha. Maksud dari masing-masing bagian tersebut, arjawa artinya memiliki sikap yang jujur dan benar; anrsangsya artinya sikap yang tidak mementingkan diri sendiri, tidak bersifat keakuan/tidak ego, serta tidak gila pujian; dama artinya suka menasihati diri sendiri dan kuat dalam mengendalikan diri sendiri; dan indranigraha artinya dapat mengendalikan nafsu jahat atau nafsu birahi yang bejat atau yang sejenis yang hanya mengumbar birahi belaka tanpa memiliki nilai suci dan mulia.
9. Catur Guru
            Catur Guru adalah empat macam guru atau penuntun kehidupan spiritual dan nyata bagi kehidupan umat manusia untuk menuju kesempurnaan hidup. Pembagian catur guru, yaitu guru swadhyaya, guru rupaka, guru pengajian, dan guru wisesa. Guru Swadhyaya adalah guru utama, guru sejati, guru niskala (Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Guru Rupaka/Guru Reka adalah orang tua di rumah yang menjadi penuntut dan pendidik pertama dan utama dalam keluarga (ayah dan ibu). Guru Pengajian/Guru Waktra adalah guru yang bertugas memberikan materi pelajaran di sekolah atau di kampus. Guru Wisesa adalah guru yang bertugas membina dan menuntun kehidupan masyarakat luas, dalam hal ini adalah pihak pemerintah ataupun para raja pada jaman dahulu.
10. Wiweka
            Wiweka artinya perilaku yang waspada penuh pertimbangan serta kehati-hatian. Hal positif dan negatif atau baik dan buruk menjadi dasar dalam bertindak. Tidak terjadinya kecerobohan dan kefatalan dalam bertindak, oleh hal yang negatif atau keburukan sedapat mungkin untuk tidak dilakukan. Perbuatan baik yang diutamakan (subha karma) dan perbuatan buruk (asubha karma) yang dijauhi atau tidak dilakukan.
11. Tat Twam Asi
            Tat twam asi artinya itu adala kamu. Maksudnya adalah segala prilaku dan tindakan manusia diharapkan untuk tetapsaling menghormati, menghargai, saling membantu, dan saling menjunjung rasa senasib sepenanggungan, rasa kebesamaan dan adanya sikap toleransi terhadap semua komponen kehidupan di dunia ini.
12. Sad Ripu
            Sad Ripu artinya enam musuh. Secara etika bahwa dalam pengelolaa pendidikan agama Hindu bahwa enam musuh tersebut harus dihindari, dijauhi, dan dimusnahkan. Permusuhan sedapat mungkin tidak sampai terjadi. Musuh menyebabkan terganggunya roda perjalanan pendidikan yang ideal sesuai dengan yang dicita-citakan. Pembagian sad ripu meliputi : 1) kama/raga artinya nafsu; 2) lobha/tamak artinya rakus; 3) krodha artinya kemarahan; 4) moha artinya kebingungan, 5) mada artinya mabuk, dan 6) matsarya artinya dengki atau irihati.
Bila dimaknai dari enam jenis musuh di atas, bahwa kama itu perlu dikendalikan menuju pada nafsu yang terarah dan membawa dampak positif. Lobha atau rakus menyebabkan adanya pemborosan dan kecerobohan antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini sedapat mungkin dientaskan dari sang diri. Krodha atau marah itu menyebabkan kegelapan dan kegusaran. Juga menyebabkan tidak terkonsentrasinya segala aktivitas. Hal ini juga harus dilepaskan adalam aktivitas rutin kehidupan manusia. Moha atau kebingungan maksudnya adalah hal yang menghambat proses berpikir sehat dan bekerja secara kebaikan. Kuncinya adalah jauhi pikirann yang bingung guna menuju kecerahan dan kejernihan berpikir. Mada atau mabuk merupakan perilaku atau tata laku yang tidak terpuji. Perilaku mabuk itu dilarang oleh ajaran agama maupun tata krama hidup bersama. Hindari faktor penyebab kemabukan itu jika ingin hidup tenang dan damai. Matsarya atau irihati merupakan tata laku yang buruk oleh karena dapat mengganggu ketenangan dan kenyamanan dalam hidup bersama. Orang lain mendapat kemajuan seharusnya didukung dan dihargai. Tidak perlu merasa sewot jika orang di sekitar menjadi sukses dan unggul.


13. Tri Kaya Parisudha
            Tri Kaya Parisudha artinya tiga perilaku yang dimuliakan dan disucikan oleh setiap umat Hindu. Bagiannya adalah manacika parisudha, wacika parisudha, kayika parisudha. Ajaran etika Hindu tentang tri kaya parisudha ini adalah sebagai landasan utama dalam berpikir yang baik dan benar, berkata yang baik da benar, serta bertindak yang baik dan benar. Apapun yang dikerjakan atau dilakukan hendaknya diawali dengan pola pikir yang sehat, cermat, arif, mulia, bijaksana, wiweka, serta pelan tetapi mantap. Bila hal itu telah dilakukan maka perilaku berikutnya adalah munculnya perkataaan atau pembicaraan yang menyenangkan atau tidak menimbulkan ketersinggungan, atau tidak mengeluarkan kata-kata yang kasar dan menyakitkan orang lain. Dari dasar pikiran dan perkataan yang simpatik dan terpuji tersebut pada akhirnya muncullah perbuatan yang terpuji pula atau bisa membahagiakan sesama manusia. Idealnya adalah seperti itu. Namun terkadang dalam kenyataan sering tejadi ketimpangan dalam prakteknya.
14. Catur Marga
            Catur Marga adalah empat cara atau jalan utama menuju alam sempurna di dunia ini maupun kehadapan Hyang Widhi Wasa. Pembagian adalah bhakti marga, karma marga, jnana marga, dan raja marga. Bhakti marga adalah jalan bhakti atau pengabdian yang dilakukan oleh umat Hind menuju Hyang Pencipta. Karma marga adalah jalan kerja untuk kelepasan yakni alam Hyang Widhi Wasa. Jnana marga adalah jalan pengetahuan suci sebagai media menuju keluhuran spiritual sehingga dapat tercapai alam Hyang Widhi. Rraja marga adalah cara atau jalan untuk mencapai suatu kebebasan atau kesempurnaan hidup yang tertinggi yakni tercapainya moksa. Cara ini dapat ditempuh denga cara yoga dengan menerapkan astangga yoga oleh Patanjali, antara lain : yama (pengendalian diri tahap pertama), niyama (pengendalian diri tahap anjut), asana (pengaturan sikap badan), pranayama (pengaturan nafas dengan baik), pratyahara (sikap pemusatan pikiran), dharana (sikap pemusatan pikiran tahap lanjutan), dhyana (sikap pemusatan pikiran yang terpusat), dan samadhi (meditasi atau penyatuan pikiran dengan Hyang Widhi Wasa).
15. Tri Mala
            Tri Mala adalah tiga jenis prilaku kotor atau dusta yang dilakukan oleh manusia. Bagiannya yaitu : 1) Moha yakni kejahatan dalam pikiran; 2) Mada yakni kejahatan karena ucapan atau perkataan; da 3) Kasmala yaitu kejahatan karena perbuatan atau perilaku yang kotor.
16. Tri Parartha
            Tri Parartha adalah tiga hal yang dijadikan landasan utama untuk menuju kesempurnaan, kebahagiaan, kesejahtraan, keselamatan, kesentausaan, serta kemuliaa hidup bagi umat manusia. Adapun pembagian dari tri parartha, antara lain : 1) asih artinya cinta, kasih, dan sayang, 2) punya artinya dermawan, tulus ikhlas, suci, dan rela, 3) bhakti artinya hormat, bakti, sujud, dan rendah hati.
17. Tri Guna
            Tri Guna adalah tiga macam sifat yang dimiliki oleh manusia. Ketiga sifat yang dimaksudkan adalah 1) satwam yakni sifat tenang, sabar, bijaksana, jujur, kasih, dan sayang, 2) rajas yakni sifat bersemangat, rajin, lincah, pemarah, ingin menang sendiri, dan  3) tamas yakni sifat yang malas, lambat, bodoh, serta acak-acakan. Ketiga sifat ini dimiliki oleh setiap orang, namun tergantung pada kepribadian seseorang itu. Jika orang itu mampu menguasai sifat rajas dan tamas, maka menjadilah dia orang yang lembut dan tenang. Sebaliknya jika sifat satwam tidak nampak pada orang itu, maka sifat orang itu cendrung menjadi pemalas, pemarah, suka main perintah, mendikte orang lain, menutupi kesalahan sendiri tetapi membicarakan kejelekan orang lain, dan sebagainya.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari ajaran agama yang juga disebut sebagai the golden rule serta bersumber dari nilai tradisional yang tumbuh di masyarakat yang disebut juga local genius. Dalam prakteknya merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Masyarakat Bali sudah memulai pendidikan karakter itu dengan menerapkan nilai-nilai local geniusnya. Dari jaman leluhur masyarakat Bali terdahulu sampai sekarangpun masih menerapkan proses itu untuk tetap berjalan. Seperti orang tua dahulu menyebutkan konsep “buka petapan padi ne” yang artinya sepertilah padi didalam menuntut ilmu, yang berawal dari kosong kemudian terjadi perbahan dinamika sehingga menjadi berisi. Dalam keadaan yang berisi inilah henhaknya dapat mengamalkan ilmu pengetahuannya dengan baik dan untuk membantu sesamanya. Kemudian konsep “buka petapan rook ne” yang memiliki makna bahwa segala sesuatu jika tidak dimanfaatkan dengan pengelolaan yang baik maka akan cepat habis, sehingga pengelolaan dalam berbagai hal sangat penting untuk menciptakan kesinambungan dan keberlanjutan. Selain itu juga nilai-nilai pembentukan karakter berdasarkan nilai tradisional Bali terdapat dalam untaian lagu “Bungan Sandat”, dimana dalam lagu tersebut memiliki makna yang sangat tinggi berkenaan dengan pembentukan karakter generasi muda Bali. Janganlah seperti Bungan Pucuk  dan  Kembang Bintang, melainkan menjadilah seperti Bungan Sandat. Pendidikan moral dan karakter sangat kental dalam lagu ini, dimana para remaja hendaknya memaksimalkan waktunya untuk terus belajar mengisi ilmu pengetahuan. Sehingga dapat bermakna kelak di masa tua.
Pengembangan karakter berdasarkan nilai local genius tolak ukurnya adalah pengamalan Konsep Tri Hita Karana. Konsep yang bersumber dari ajaran Agama Hindu ini telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Bali. Semenjak anak-anak sampai menjelang ajalpun orang bali melaksanakan konsep tersebut. Kata Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sanskerta dimana kata Tri artinya tiga, Hita artinya sejahtera atau bahagia sedangkan Karana artinya sebab atau penyebab. Jadi Tri Hita Karana artinya tiga hubungan yang sangat harmonis yang mengakibatkan umat manusia mencapai kebahagiaan/kesejahtraan. Penerapannya terdiri dari: hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya, hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya dan hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra Yadnya, Resi Yadnya, serta Manusia Yadnya. Di Bali konsep Tri Hita Karana ini tercermin dalam tata kehidupan masyarakat Hindu yang meliputi tiga unit yaitu : Parahyangan, yaitu berupa unit tempat suci ( Pura ) tertentu yang mencerminkan tentang konsep Ketuhanan, Pawongan, yaitu berupa unit tempat organisasi masyarakat sebagai perwujudan hubungan unsur antara sesama manusia, Palemahan, yaitu berupa unit wilayah tertentu sebagai perwujudan unsur manusia dengan alam lingkungan.
Salah satu contoh sederhana dalam sebuah keluarga Hindu di Bali, orang tua kita selalu menghaturkan yadnya sesa setelah selesai masak. Hal ini mengandung makna hubungan antara manusia dengan Tuhan. Bahwa sebelum kita mulai menikmati makanan, terlebih dahulu kita haturkan rasa syukur lewat yadnya sesa. Contoh lain, di Bali kita juga mengenal hari untuk memuliakan tanaman, hewan bahkan peralatan kerja yang dipakai setiap hari. Banjar sebagai wadah dalam mengikat budaya dan adat orang Bali juga membawa pengaruh besar bagi karakter orang Bali. Tanpa disadari, kita telah menanamkan konsep-konsep tersebut kepada anak-anak kita, yang dengan sifat keingintahuannya menyebabkan terjadinya “Transfer of Characther” melalui pengamatan dan pengalaman hidup (life skill). Kelebihan karakter dan prilaku orang Bali dibandingkan orang di daerah lain adalah sebagai berikut: berpedoman pada ajaran Tri Hita Karana, memegang teguh tradisi dan ritual keagamaan, menganggap penting aktivitas di pura dan banjar, percaya pada hukum karma, peduli kelestarian lingkungan, menjunjung tinggi kejujuran, membenci sikap serakah dalam mencari keuntungan, menjaga tradisi gotong royong (ngayah) dan harmoni kekeluargan, terbuka dan toleran terhadap orang yang berbeda budaya dan adaptif terhadap budaya modern dan profesionalisme.
Dengan demikian bahwa orang Bali telah dibekali pendidikan karakter oleh orang tuanya. Pendidikan orang Bali secara informal telah mencakup pendidikan karakter. Sepanjang Masyarakat Bali tetap mempertahankan tradisi, adat dan hubungan dengan leluhur yang berlandaskan ajaran agama Hindu, niscaya proses pendidikan karakter itu akan tetap berproses. 

            Penyelenggaraan pendidikan agama Hindu diperlukan suatu tatanan utama sebagai pedoman dalam meraih keberhasilan dalam pengelolaannya. Tatanan yang dimaksudkan adalah adanya penerapan aturan atau etika/susila Hindu yang jelas dan pasti di dalam upaya untuk mencapai kesuksesan yang dicita-citakan. Ajaran etika Hindu yang utama dijadikan landasan berpijak dalam pembentukan karakter yang bersumber dari nilai-nilai ajaran tata susila agama Hindu dan nilai-nilai tradisional masyarakat Bali. Beberapa nilai-nilai ajaran tata susila agama Hindu dan nilai-nilai tradisional masyarakat Bali dalam mengelola pendidikan agama Hindu hendaknya diterapkan secara rutin, mantap, dan secara kebersamaan dalam pembentukan karakter generasi muda Hindu tersebut. Jika hal itu telah diupayakan niscaya kualitas pendidikan agama Hindu menjadi kenyataan terutama dalam mencetak kader Hindu sebagai generasi penerus agama Hindu dan bangsa Indonesia yang bertanggung jawab dan penuh dedikasi. Hal itu patut menjadi target utama sebagai sekala prioritas dalam pencapaiannya.




Memahami Fenomena Sunda Wiwitan Masa Kini

Oleh : Ira Indrawardana
Dosen Antropologi FISIP UNPAD, warga AKUR (Adat Karuhun Urang Sunda) Cigugur Kuningan – Jawa Barat.

Secara antropologis, terdapat perspektif bahwa sistem kepercayaan atau religi mengalami perkembangan evolutif dari animisme, dinamisme, totemisme hingga monoteisme. Masyarakat awam cenderung memahami bahwa dimensi religius dalam konsep “agama” sebagai konsepsi puncak dan perkembangan sistem kepercayaan yang berkembang dalam kehidupan manusia. Benarkah demikian?
Pertanyaannya kemudian di manakah atau bagaimanakah posisi “agama minoritas” atau “sistem kepercayaan” lain yang seolah belum terakomodasi dalam ruang publik secara setara bahkan diperlakukan diskriminatif, seperti halnya para kaum penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan kepercayaan atau “agama adat”.
Sunda Wiwitan sebagai “Agama Adat”
Sunda Wiwitan adalah penamaan bagi keyakinan atau sistem keyakinan “masyarakat keturunan Sunda”. Meski penamaan itu tidak muncul oleh komunitas penganut Sunda Wiwitan, tetapi kemudian istilah itu dilekatkan pada beberapa komunitas dan individu Sunda yang secara kukuh mempertahankan budaya spiritual dan tuntunan ajaran leluhur Sunda.
Masyarakat Kanekes, Kasepuhan Adat Banten Kidul (Ciptagelar dan kampung adat sekitarnya), Kampung Adat Cireundeu-Leuwi Gajah Cimahi, Kampung Susuru Ciamis, Kampung Pasir Garut dan Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda (AKUR) di Cigugur Kuningan adalah beberapa komunitas di jawa Barat yang masih memegang teguh ajaran- ajaran Sunda Wiwitan ini. Secara administratif untuk membedakan seseorang atau warga komunitas yang memeluk keyakinan Sunda Wiwitan ini dengan lainnya biasanya dalam kolom agama di KTP (Kartu Tanpa Penduduk) tidak mencantumkan agama semit atau agama “luar” negeri (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dsb).
Biasanya kolom agama pada KTP para penganut Sunda Wiwitan dikosongkan atau terdapat tanda (-) atau ada yang ditulis (tulis tangan atau diketik) Sunda Wiwitan saja. Kondisi ini terjadi bagi mereka yang “kukuh” tidak mau dituliskan nama agama selain yang dianutnya (Sunda Wiwitan). Padahal pihak aparat pembuat KTP terkadang menyarankan (bahkan cenderung memaksa) untuk mengisi kolom agama dengan nama agama-agama yang
(katanya) diakui pemerintah (Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu). Tidak jarang pula ada yang mengaku menganut Sunda Wiwitan sementara dalam kolom agama dalam KTP-nya masih ada ketikan nama agama ”luar”.
Keyakinan Sunda Wiwitan yang secara administratif tidak tertulis atau dikosongkan pada kolom agama di KTP itu sama halnya dengan mereka yang mengaku “agama-agama adat” nusantara seperti parmalim, pelebegu, kaharingan, kejawen, aluk ta dolo dsb. Kondisi ciri administratif seperti ini karena negara masih “pilih kasih” atau diskriminatif dalam perlakuan administrasi kenegaraan dan pemerintahan.
Padahal sebelum adanya agama-agama “luar”, keyakinan agama Sunda Wiwitan sudah ada. Bahkan sistem keyakinan Sunda Wiwitan seolah tidak berhak/dilarang menyandang “gelar” atau titel “agama” karena konsep “agama hanya berlaku bagi agama-agama luar (yang dianggap jelas memiliki kitab tertulis, Nabi, Tuhan, ritus dan sebagainya). Sementara itu Sunda Wiwitan sering dikategorikan sebagai “kepercayaan” atau “aliran kepercayaan”, bahkan tidak jarang yang menilai sebagai “aliran sesat” oleh penganut agama ”luar”.
Kenyataan ini sudah sekian lama terjadi dan menjadi momok bagi warga adat ataupun non adat generasi Sunda yang “mikukuh” ajaran budaya spiritual leluhur Sunda ini sejak terjadinya akulturasi dan asimilasi dengan ”budaya spritual pendatang” dari luar. Sampai
saat ini kenyataan terjadinya diskriminasi horizontal atau diskriminasi sosial (pelecehan,
penghinaan, pemfitnahan terhadap penganut Sunda Wiwitan) dan diskriminasi vertikal atau diskriminasi yang berupa kebijakan-kebijakan pemerintah pusat atau daerah yang diskriminatif terhadap kaum Sunda Wiwitan masih berlangsung.
Agama Sunda Wiwitan tidak pernah dan memang tidak melakukan propaganda agama atau syiar atau missionaris, karena memang ”bukan agama misi”, bahkan sesungguhnya tidak mudah orang mengaku atau memeluk keyakinan Sunda Wiwitan. Karena agama ini banyak dianut dan berkembang hanya pada masyarakat Suku Sunda, dan sistem serta bahasa yang digunakan pun menggunakan bahasa Sunda maka Sunda Wiwitan sebagai sistem keyakinan atau “agama” hanya bagi mereka yang secara genealogis adalah Suku Sunda.
Pertanyaannya kemudian, apakah orang suku Sunda boleh menganut keyakinan Sunda Wiwitan? Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang penduduk Kanekes yang berasal dari daerah Kaduketug (suatu nama daerah di wilayah Kanekes), mengatakan bahwa “ieu mah agama kami batur mah meunang. Sababna teu meunang soteh pedah pedah kami ge can karuhan bisa ngalaksanakeun flu bener tina agama kami (baca; Sunda Wiwitan)”.
Artinya dan hasil wawancara itu bahwa Sunda Wiwitan sebagai agama atau keyakinan masyarakat Kanekes adalah hanya diperuntukkan bagi kalangan mereka saja, dan orang lain selain yang berasal dari lingkungan mereka tidak boleh menganut Sunda Wiwitan. Adapun alasan tidak boleh menganut Agama Sunda Wiwitan dikatakan bahwa karena jangankan orang lain (selain orang Kanekes) boleh menganut keyakinan tersebut, orang Kanekes sendiri pun belum tentu bisa mengimplementasikan ajaran Sunda Wiwitan dengan benar.
Di balik pernyataan itu tersirat bahwa orang Kanekes atau penganut Sunda Wiwitan tidak berniat untuk menyebarkan ajaran Agama Sunda Wiwitan, bahkan sampai mengajak orang lain menganut Sunda Wiwitan. Hal demikian karena Agama Sunda Wiwitan “bukan agama misi atau syiar” yang orang lain boleh sembarangan menganutnya.
Kemudian dari pernyataan itu (dan hasil wawancara selanjutnya dengan orang Kanekes tersebut) bahwa mereka sesungguhnya sangat menghormati keyakinan atau Agama lain selain Sunda Wiwitan. Hal ini juga berkaitan pula dengan prinsip sikap orang Kanekes dalam kaitannya dengan “budaya luar” atau sistem (tidak akan menjajah keyakinan “luar” (selain Sunda Wiwitan) bahwa mereka “embung dijajah jeung moal ngajajah” pengaruhi dan tidak mau dijajah (dipengaruhi)” karena sudah merupakan tugas mereka (orang Kanekes) untuk tetap mempertahankan tradisi leluhur apa adanya.
Keteguhan orang Kanekes sebagai penganut Sunda Wiwitan dalam mempertahankan tradisi dan budaya spiritual leluhur mereka apa adanya itu sesuai dengan prinsip keteguhan mereka bahwa “lojor tea meunang dipotong pondok tea meunang disambung” (secara harfiah berarti panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung).
Penganut Sunda Wiwitan tidak memandang jelek kepada agama lain, bahkan tidak merasa sebagai saingan kompetisi penyebaran, karena sebagaimana tadi dikemukakan bahwa agama Sunda Wiwitan sesungguhnya tidak bertujuan untuk “disebarkan” kepada orang lain. Hal ini mengacu pada dasar pemahaman bahwa Agama Sunda Wiwitan ada sejak adanya “manusia Sunda” diciptakan oleh “Nu Ngersakeun” atau “Sang Hiyang Keresa” atau Gusti Pangeran Sikang Sawiji wiji” (istilah causa prima bagi penganut Sunda Wiwitan). Dengan demikian keberadaan Agama Sunda Wiwitan pada hakekatnya diperuntukkan bagi mereka yang “merasa” dan “rumasa” berkepribadian sebagai keturunan (genealogis) “darah Sunda” (meski hal ini pada kenyataannya tidak mengikat secara ketat).
Pemahaman bahwa agama Sunda Wiwitan tersebut tidak untuk “dipropagandakan”, juga memiliki implikasi pemahaman bahwa dalam ajaran Sunda Wiwitan menghormati kebenaran ajaran agama dan kepercayaan lain dan memahami bahwa setiap umat manusia yang berbangsa-bangsa dan bersuku bangsa di muka bumi ini memiliki agama dan kepercayaannya masing-masing. Mereka sendiri berpendapat bahwa jangankan “kepikiran” untuk mengajak orang lain menganut agama mereka (Sunda Wiwitan), karena mereka sendiri pun sebagai penganut keyakinan Sunda Wiwitan belum tentu sanggup secara sungguh-sungguh menjalankan keyakinan agamanya tersebut.
Bagi penganut Sunda Wiwitan umumnya dan Orang Kanekes khususnya, dalam agama Sunda Wiwitan menitikberatkan kepada masalah “tuah” (amal, perbuatan). Agama mereka (Sunda Wiwitan) menekankan kepada apa yang harus dilakukan sebagai manusia, cenderung lebih tertutup untuk mempermasalahkan atau memeperdebatkan pada “apa yang mereka percayai”.
Hal ini karena bagi warga penganut Sunda Wiwitan bahwa Yang Dipercayai (yang diimani) itu bukan untuk diperdebatkan, yang penting bagaimana melaksanakan “pikukuh” atau aturan kehidupan manusia berdasarkan pada aturan-aturan adat pada masing-masing “wewengkonnya” atau wilayahnya. Masyarakat Kenekes mendasarkan aturan “pikukuh” itu pada “Tri Tangtu” (tata wilayah aturan berdasarkan wilayah ke-Rama-an, ke-Resi-an, ke-Ratu-an), sedangkan pada masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda (AKUR) Sunda di Cigugur Kuningan, “aturan pikukuh” yang dimaksud dikenal dengan “Pikukuh Tilu”.
Edisi 34 September - Oktober 2008 MaJEMUK.

Source: www.parisada.org

Ogoh-Ogoh Dulu dan Kini

Mengamati pawai Ogoh”dari jaman dulu dan kini, ternyata ada banyak perubahan yang memang jauh terjadi.
Dari Tokoh Kartun, artis, Hingga figur celuluk dengan pose yang mengundang senyum. Demikian halnya dengan bentuk”penyelesaian Ogoh”kini juga bertambah pernak perniknya, dari sepeda, motor matic hingga disc jockey. * Ha… Tadi ada Celuluk jadi DJ lengkap dgn MacBook :p RT @baliun bahkan ada sang Suratma bawa lontar plus Macbook air bli…
Perubahan pemanfaatan bahan Ogoh”menjadi Gabus di era kekinian, punya efek positif pula negatifnya. Positifnya, Ogoh”dengan ukuran yang sama, kini jadi lebih ringan, sehingga dapat dibuat dengan berbagai bentuk dan karakter serta jumlah. Dengan perubahan ringan ini pula, Ogoh”kini dapat dibuat dengan berbagai pose menantang, berdiri diatas satu kaki, berpegangan pada tongkat, Hingga pose figur yang sosoknya keluar dari alas yang digunakan. Bisa diputar”pula. Dengan memanfaatkan bahan Gabus pula, finishing Ogoh”jadi jauh lebih rapi, indah dalam pewarnaan dan detail yang mendekati aslinya. Eh Berkaca pada karya Ogoh”Banjar Tainsiat, penggunaan Gabus memberikan waktu penyelesaian yang lebih singkat. Efisien waktu dan tenaga
Sedang Efek Negatifnya, penggunaan bahan Gabus sangat sulit untuk diurai… Seandainya dibakarpun akan menimbulkan pencemaran udara berlebih
image
Perubahan lain dari Ogoh”dulu dan kini adalah berkurangnya penggunaan gambelan berganti dengan House Music dengan bekal Genset tambahan :p Penggunaan House Music bagi pengarak Ogoh”tentu jadi terlihat sangat aneh. Bagaimana tidak jika figurnya Celuluk lengkap dengan Canang Sari, Apalagi ditambah dengan sejumlah dupa menyala atau sanggah cucuk sementara sang pengiring malah berdisko ajeb” :p
Perubahan berikutnya, terjadi pada prosesi mengarak Ogoh”dimana kini sosok tidak lagi dipanggul oleh sejumlah pemuda, berganti dengan Roda. Dengan penggunaan Roda sebagai sarana tambahan pengarak Ogoh”ditambah pemanfaatan bahan Gabus, membuat sosok dapat dibuat menjadi Lebih besar, lebih lebar atau lebih banyak karakter. Toh secara beban sudah tidak lagi ditanggung oleh pundak pemuda pengarak.
Bertambah mudahnya prosesi pengarakan, membuat kenangan akan masa lalu bolehlah mulai dilupakan. Dimana saat semua tenaga sudah mulai habis, pengarakan Ogoh”jaman dulu lebih banyak ditinggalkan secara diam”sehingga beban makin berat dipanggul oleh pemuda sisa yg masih bertahan :p Tidak ada lagi pundak pegal, keringat bercucuran atau bau badan level naga dan juga rasa haus berlebihan akibat mengarak Ogoh”keliling Desa. Namun dengan makin ringannya Ogoh”bukankah sebenarnya dalam ukuran standar, penggunaan Roda sebetulnya gag perlu lagi ? :p
Ohya, selain Banjar dan simpatisan, kini Ogoh”dibuat pula oleh Ormas loh, Terpantau tadi ada miliknya PBB dgn senjata khas lambang mereka :p

Lamanya antrean panjang Ogoh”sudah terjadi sejak dulu kala, penyebabnya adl pertemuan sekian banyak Ogoh”dari berbagai penjuru di satu titik. Titik Pertemuan ini biasanya terjadi pd Catus Patha,Perempatan Agung Desa setempat seperti Persimpangan Br.Tainsiat, Pasar Satria atau Catur Muka. Selain itu antrean macet bisa pula terjadi akibat pengendara yang nekat membawa kendaraan roda empat menembus para pengarak Ogoh”. Alasannya ? Karena arah pawai Ogoh”biasanya melawan arus Lalu Lintas desa setmpat yang kemudian beradu dengan kendaraan pada ruas jalan yg dilalui. Akibat dari antrean panjang yang terjadi padahal waktu sudah menunjukkan pk.08.45 pm, mengakibatkan usainya pawai bisa”melewati Tengah Malam
Lalu siapa yang paling kasihan di tengah perubahan Ogoh”Dulu dan Kini ? *sekaa gambelan, dan pembawa Genset :p Kenapa patut dikasihani ? Sementara para pengarak sudah dipermudah dengan Roda, tidak demikian dengan sekaa Kendang dan Ceng Ceng. :p Sudah begitu, yang bawa Genset pula musti rela mendorong gerobak berisi Genset, Home Theater atau ber-dus” Air Mineral jauh dibelakang. :p Kalah pamor dengan para pemuda yang asyik berjoget dan pamer wajah jauh didepan bersama pemudi dan gadis”cantik di sepanjang jalan :p

Oleh: Pande
Source: www.balebengong.net 

Tanda-Tanda Kebangkitan Spiritual Umat Hindu di Banyuwangi



Oleh : I Ketut Subagiasta (Guru Besar IHDN Denpasar)

Tepat pada han Anggara Kasih (Selasa Kliwon), wuku Dukut, Tilem, (Amawasya) Sasih Kasa Saka 1931, 21 Juli 2009, segenap umat Hindu Banjar Blok Agung. Desa Karang Doro, Kecamatan Tegalsari, Kabupaten Banyuwangi-Jatim telah mengungkapkan rasa suka citanya dan bahagianya yang sangat mulia, oleh karena pada saat itu telah berhasil mewujudkan cita-cita sucinya untuk memiliki sebuah bangunan suci berupa pura. Pura yang terletak di tengah-tengah desa itu diberi nama “Pura Luhur Natar Sari Saraswati” telah diupacarai dengan upacara pamelaspas yang dipuput oleh sapta resi atau tujuh pandita Hindu, yakni:
1) Ida Pandita Mpu Nabe Reka Dharmika Sandhyasa dan Geriya Kerthasari Kayumas Kaja Denpasar;
2) Ida Pandita Mpu Nabe Reka Shandi Kerthayasa dan Geriya Anomsari Pesanggaran-Banyuwangi;
3) Ida Pandita Mpu Nabe Rastra Guna Wibawa dan Geriya Kaliakah Negara Bali;
4) Ida Pandita Suta Nirmala dan Geriya Blitar;
5) Ida Pandita Putra Nirmala dan Geriya Malang;
6) Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Sukerta dan Geriya Giri Kencana Sumampan Kemenuh Sukawati Gianyar; dan
7) Ida Bopo Pandito Giri Dharma Arsa dan Padepokan Giri Dharma Wangi Purwoharjo-Banyuwangi.
Selain itu hadir pula para orang suci Hindu lainnya dan berbagai pelosok Jatim yang turut memberikan doa (ngastawayang atas upacara pemelaspas Pura Luhur Natar Sari Saraswati tersebut, demikian dikatakan oleh Tukimin sebagai kelihan Banjar Adat Blok Agung, Desa Karang Doro, Kecamatan Tegalsari-Banyuwangi di sela-sela meriahnya kehadiran umat Hindu di berbagai pelosok Banyuwangi untuk turut ngastawa yang dan ikut melakukan persembahyangan bersama.

Diakui oleh Tukimin, yang merupakan salah seorang tokoh Hindu Jatim, bahwa sejak tahun 1967 segenap umat Hindu di Blok Agung Karang Doro telah memiliki cita-cita untuk mewujudkan, sebuah pura sebagai tempat pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, .yang pada akhirnya menjadi sebuah kenyataan. Hal inilah yang merupakan kebanggaan sekaligus kebahagiaan bagi para tokoh Hindu dan segenap umat Hindu di Blok Agung Desa Karang Doro, yansekaligus diyakan juga oleh tokoh lainnya seperti Bapak Suroto yang tinggal bersebelahan dengan pura. Dia mengakui, bahwa kehadiran sebuah pura di desanya itu adalah cita-cita sejak lama dan segenap umat Hindu, yang sudah tentu banyak menghadapi tantangan, hambatan, kendala, serta masalah yang tiada henti. Dengan semangat kebersamaan, kegotong-royongan, dan semangat yang saling bahu- membahu, tidak dirasakan bahwa sebuah pura telah hadir di desanya sendiri, demikian pengakuan
Bapak Suroto dan nampak sumeringah bersama para tokoh Hindu Iainnya duduk bersama di sebuah pendopo kecil di jaba puranya. Inilah salah satu tanda kebangkitan spiritual umat Hindu di Banyuwangi.

Nampak keceriaan para Sedharma di Desa Karang Doro, walaupun wujud fisik puranya belum rampung seratus persen. Area pura dengan luas sekitar 10 are tersebut berlokasi di pinggir jalan desa, yang awalnya konon adalah bekas lahan sawah produktif milik dan warga non Hindu, tetapi dengan adanya suasana kerukunan antar umat beragama yang sangat baik serta didasari oleh adanya saling toleransi antara yang satu dengan yang lainnya, maka lahan sawah produktif tersebut dapat ditukar dengan lahan yang dimiliki oleh umat Hindu sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat kemantapan kerukunan dan adanya peningkatan pemahaman spiritual beragama Hindu sudah sangat baik di Desa Karang Doro. Salah seorang tokoh Hindu lainnya juga menambahkan, walaupun di Desa Karang Doro tersebut telah ada sebelumnya sejak lama sebuah Pondok Pesantren yang terbesar kedua di Jatim, tetapi bagi umat Hindu di Karang Doro tidak menjadi surut niatnya untuk membangun sebuah pura. Justru ditegaskan bahwa kehidupan antar umat beragama disana belum terjadi hal-hal yang mengharah pada konflik sosial. Kerja sama antar tokoh agama telah digalang dengan baik dan kondusif, sehingga suasana kehidupan beragama di Desa Karang Doro adalah sangat baik.

Tokoh Hindu Banjar Blok Agung yang sekaligus Kelihan Adat Blok Agung, Tukimin mengatakan bahwa rangkaian Upacara Pemelapas Pura Luhur Natar Sari Saraswati telah dipersiapkan dengan baik sejak awal dengan bekerjasama dengan para tokoh agama Hindu di Banyuwangi melalui koordinasi PARISADA, terutama PARISADA Kabupaten Banyuwangi yang diketuai oleh I Wayan Arta. Kerja sama para pengurus PARISADA kabupaten di Jatim juga turut memberikan dukungan penuh, baik secara. moral dan material. Saat upacara pemelaspas nampak hadir ketua PARISADA Propinsi Jatim, PARISADA Lumajang, PARISADA Malang, PARISADA Blitar, unsur dari pemkab Banyuwangi, unsur Muspika Tegalsari, para tokoh agama tingkat kecamatan se-kabupaten Banyuwangi, serta para donatur yang telah memberikan dana punya dalam pembangunan pura tersebut. Yang sangat membahagiakan bagi umat Hindu Desa Karang Doro, bahwa pada saat mendak tirtha di Pura Bukit Amertha, hadir ribuan umat Hindu yang ikut mengiringi prosesi tersebut dengan berjalan kaki menuju Pura Bukit Amertha yang diiringi dengan tabuh baleganjur sekitar lima barung serta iringan kidung suci khas Jawa maupun kidung Warga Sari dan para juru gita, yang membuat prosesi mendak tirtha menjadi semarak, hidmat dan bersemangat. Tidak terasa bahwa perjalanan yang mencapai sekitar lima kilometer mengelilingi desa dilakoni dengan penuh kebersamaan dan kekompakan. Setibanya prosesi mendak tirtha dan Pura Bukit Amerta, selanjutnya tirtha dilinggihkan di jeroan Pura yang dilanjutkan dengan persembahyangan bersama oleh ribuan umat Hindu yang hadir di pura.

Saat itu pula turut hadir Jero Mangku Subagia dan Munggu-Bali sehari sebelum puncak upacara pemelaspas dengan kegiatan pengobatan tradisional secara gratis yang mendapat perhatian antosias oleh segenap umat Hindu setempat. Selain itu para mahasiswa magister brahma widya, para dosen, dan pegawai fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar juga .turut berpartisipasi melakukan pengabdian masyarakat di lokasi upacara dengan kegiatan utama berupa dharma wacana oleh Dekan Fakultas Brahma Widya, Prof, Dr. I Made Titib, PhD. yang mengajak umat Hindu di Desa Karang Doro untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan intern •da antar umat beragama di Banyuwangi. Ditegaskan pula bahwa pura merupakan tempat untuk menggali dan membiarakan ajarn suci agama Hindu yang bersumber dan Veda untuk dapat dipahami dengan baik dan benar untuk mewujudkan kehidupan beragama. yang damai dan sejahtera. Selain itu juga hadir tolcoh Hindu dan Bogor yakni Romo Mohan Motunal Sashtri yang mengingatkan umat Hindu di Desa Karang Doro, bahwa sesungguhnya keberadaan Hindu di Indonesia ádalah sangat besar dan berbineka dalam penampilannya.

Menurut penuturan Tukimin, bahwa di kecamatan Tegalsari telah ada dibangun sebanyak sebelas pura, antara lain:
1) Pura Luhur Natar Sari Saraswati di Banjai Blok Agung dengan pemangkunya adalah Mangku Paiman dan Mangku Miseno;
2) Pura Bukit Amertha di Blok Agung;
3) Pura Sapto Renggo di Kaligesing;
4) Pura Sabdo Mulyo di Sumber Kembang Timur:
5) Pura Sasana Pharma di Sumber Kembang Barat;
6) Pura Wonojati di Padang Bulan;
7) Pura Satya Dharma di Sumber Agung;
8) Pura Puja Nirwana di Sumber Agung;
9) Pura Tri Hita Karana di Sumber Agung;
10) Pura Sandhya Sarana di Sumber Agung, dan
11) Pura Tugu Rejo di Tegalrejo.
I Wayan Arta, Ketua PARISADA Kab. Banyuwangi menambahkan bahwa jumlah pura di seluruh wilayah kabupaten Banyuwangi sebanyak 123 buah pura. Diakui pula. bahwa tingkat keberhasilan yang dilakukan dalam membina umat Hindu di Banyuwangi merupakan kerja sama dan berbagai pihak, terutama dan para donatur yang dengan ikias dan peduli memperhatikan umat Hindu Banyuwangi. Menurut Tukimin bahwa dana untuk membangun Pura Luhur Natar Sari Saraswati di Banjar Blok Agung Desa Karang Doro diperoleh dari urunan umat Hindu setempat dan dana punya dari para donatur, yang keseluruhannya mencapai 323 juta rupiah.

Sesuai data terakhir mengenai umat Hindu yang ada di Banjar Blok Agung Desa Karang Doro Kecamatan Tegalsari Banyuwangi menurut Tukimin menjelaskan jumlah sebanyak 113 kepala keluarga atau sekitar 75 jiwa. Jumlah tersebut mengalami perkembangan dari tahun ke tahun dan dipastikan akan terus bertambah di masa berikutnya. Hal itu dikarenakan adanya kesadaran yang sangat mantap dan baik dalam hal pembinaan spiritual bagi umat Hindu. Upaya lainnya yang telah dilakukan oleh para tokoh Hindu setempat adalah dengan mengintensifkan pembinaan melalui PARISADA desa, PARISADA kecamatan, PARISADA kabupaten, dan PARISADA propinsi Jatim. Dalam pembinaan umat Hindu di kecamatan Tegalsani yang diketuai oleh Pak Damis, diakui telah ada kemajuan yang sangat pesat dan positif untuk meningkatkan kualitas SDM Hindu yang siap berkompetisi di era modern dan multikultural.

Dalam hal untuk tnembenjkan pembinaan kepada para generasi muda Hindu, maka pihaktokoh Hindu di Desa Karang Doro telah pula melakukan pasraman kilat pada masing-masing pura. Untuk memberikan kesempatan kepada para generasi penerus Hindu yang masih dalam binaan intensif atau pendidikan anak usia dini dengan muatan Hindu, maka telah pula didirikan Taman Kanak-Kanak Hindu Giri Saraswati yang dibangun secara swadana. Para tokoh Hindu setempat sangat berharap adanyanya uluran bantuan pendanaan dan pihak pemerintah yang terkait dan berkompeten. Guna mewujudkan hal itu, maka pihak tokoh Hindu setempat telah pula membangun Koperasi Serba Usaha (KSU) Giri Arta Sumber Agung yang didirikan oleh pihak PHDI kecamatan Tegalsari. Banyak hal yang telah diupayakan untuk membangkitkan semangat kehidupan beragama Hindu, terutama dalam meningkatkan kualitas SDM Hindu serta meningkatkan spiritual Hindu bagi umatnya di Banjar Blok Agung. Namun demikian diakui bahwa umat Hindu disana masih tetap memohôn uluran tangan yang ikias dan para dermawan Hindu untuk digunakan melanjutkan pembangunan panyengker pura serta menata area pura supaya lebih asri dan indah seperti pura lainnya yang ada di Banyuwangi, yakni Pura Agung Blambangan, Pura Giri Selaka Alas Purwo Kecamatan Tegal Dlimo, maupun pura besar lainnya yang ada di Jawa Timur, seperti Pura Mandara Gin Semeru Agung di Lumajang. Semua itu merupakan cita-cita umat Hindu yang ada di Banyuwangi. Harapan mereka adalah semogalah tanda-tanda kebangkitan Spiritual umat Hindu di Banyuwangi menjadi pertanda kebangkitan Hindu Indonesia di masa depan• WHD 513 September 2009.

*source: www.parisada.org