Rabu, 25 Desember 2013

PERBEDAAN KEYAKINAN BUKANLAH HAMBATAN UNTUK SALING BERTOLERANSI

Hari raya keagamaan bukan lah hari raya yang wajibnya dilaksanakan atau hanya dimeriahkan oleh orang-orang yang seagamanya. Natal merupakan hari raya suci umat Kristiani. Suka cita Natal tidak hanya dapat dirasakan oleh umat kristiani saja. Pada hari raya natal tahun ini, kebetulan saya sedang berada di salah satu rumah saudara yang beragama Kristen Protestan. Saya sebagai umat yang memiliki keyakinan berbeda disini pun ikut merasakan kemeriahan hari besar ini.
Tidak hanya saya saja, kalangan keluarga lain yang memeluk agama lainnya pun turut serta hadir dalam perayaan Natal tersebut. Ini menunjukkan salah satu toleransi antar agama yang kuat di dalam masyarakat terutamanya di Indonesia. Rasa saling menghargai dan menghormati antar umat beragama yang merupakan landasan atau dasar Negara kita dapat diterapkan meskipun dengan tindakan yang kecil.
Seperti halnya, hal sederhana yang dapat dilakukan yaitu meskipun hanya sekedar berkunjung dan memberikan ucapan hari raya kita sudah melaksanakan kewajiban tersebut. Menjadi salah satu kebanggaan tersendiri, bagaimana kita bisa merasakan dan ikut berperan dalam hari raya besar umat yang berbeda keyakinan dengan kita. Kefanatikan akan agama sendiri bukanlah hal yang patut dicondongkan, bagaimanapun juga kita tetap berasal dari satu Tuhan hanya saja keyakinan yang mempelopori perbedaan tersebut.
Perbedaan keyakinan tersebut bukanlah hambatan kita untuk tidak saling menghargai, saling menolong dan bertoleransi antar umat agama yang lain. Saat kita bermasyarakat, kita bisa letakkan sementara keyakinan yang kita peluk untuk sementara, agar menghindari sebuah perselisihan yang tidak diinginkan. Satu persatu tamu undangan yang sebagian besar bahkan pemeluk agama yang berbeda, berkunjung dan memberi ucapan selamat hari raya kepada pemilik acara, dan selanjutnya diajak untuk makan bersama.

Tidak ada kecanggungan yang membalut setiap orang yang datang, saya merasakan inilah sebuah adat yang patut untuk dilestarikan dan dijaga di Indonesia. Meskipun dari hal yang sederhana tersebut, kita bisa tunjukkan suatu kebanggaan bahkan sebuah prestasi dimana negara Indonesia yang dikenal memiliki 5 agama yang berbeda – beda masih tetap satu dalam suatu perbedaan.

“Puja Mandala” – Keharmonisan dalam Perbedaan


Bhineka Tunggal Ika, Beragam perbedaan namun tetap satu tujuan. Semboyan sederhana yang mempunyai arti yang sangat mendalam untuk kehidupan manusia. Mungkin arti tersebut dapat menggambarkan makna “Puja Mandala” sebuah tempat beribadah yang bertempat di kawasan Nusa Dua, Bali.
Sesuai dengan namanya “Puja Mandala”, berasal dari bahasa sansekerta dengan petikan kata Puja yang berarti persembahan/ibadah dan kata Mandala yang berarti lingkaran. Tempat ibadah yang berlokasi di Jalan Kurusetra Desa Kampial Kelurahan Benoa Kecamatan Kuta Selatan ini merupakan pusat kawasan 5 tempat suci berbeda yang berjajar dalam satu barisan yang memanjang mulai dari Masjid, Gereja Katolik, Vihara, Gereja Protestan dan Pura.
Puja Mandala ini dibangun mulai tahun 1994 atas prakarsa Joop Ave selaku Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang menjabat pada masa era Orde Baru dibawah kekuasaan Presiden Soeharto. Landasan didirikannya tempat peribadatan 5 agama ini adalah untuk mempermudah masyarakat daerah sekitar Nusa Dua khususnya non Hindu yang sulit menemukan tempat beribadat saat itu. Namun hingga saat ini, tempat beribadat tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat suci semata namun dapat memberikan daya tarik pariwisata tersendiri bagi wisatawan lokal maupun mancanegara terkait keunikan tempat ibadah ini.
Berdiri diatas lahan seluas 2,5 hektar, pusat beribadatan ini terbagi atas 5 tempat suci yang masing-masing berdiri diatas lahan seluas 0,5 hektar. Dari ujung kiri terdapat Masjid Ibnu Batutah, Gereja Katolik Bunda Maria Segala Bangsa, Vihara Budhina Guna, Gereja Kristen Protestan Bukit Doa, dan diakhiri oleh Pura Jagat Natha sebagai kawasan tempat suci untuk umat Hindu. Seluruh tempat suci ini dibangun dengan megahnya sehingga mampu membuat kagum wisatawan yang berkunjung ke Puja Mandala untuk beribadat.
Peresmian tempat peribadatan ini dilakukan secara bertahap dimulai dari tahun 1997 untuk bangunan Masjid Ibnu Batutah, Gereja Katolik Bunda Maria Segala Bangsa dan Gereja Kristen Protestan Bukit Doa oleh Tarmidzi Taher- Menteri Agama yang menjabat saat itu. Kemudian selang enam tahun kemudian, diresmikan Bangunan Vihara Budhina Guna dan pada tahun 2005 diresmikan Bangunan Pura Jagat Natha oleh Gubernur Bali saat itu, Dewa Beratha.

Puja Mandala juga sering disebut sebagai miniatur kerukunan umat beragama di Indonesia. Dengan relasi harmonis dan dinamis, semangat kebersamaan dalam Puja Mandala lahir dari relung jati diri masyarakat pendukung nya. Keberadaan tempat-tempat beribadah di Puja Mandala bukan hanya sebatas simbol saja, namun merupakan bentuk nyata dari toleransi hakiki dalam suasana informal, akrab dan terinternalisasi dalam keseharian hidup. 


 Masjid Ibnu Batutah


Gereja Katolik Bunda Maria Segala Bangsa


Vihara Budhina Guna




Gereja Kristen Protestan Bukit Doa

Pura Jagat Natha