M
|
|
Manusia Bali adalah manusia etnis Bali, yaitu
sekumpulan orang-orang yang mendiami pulau Bali, yang memiliki kesadaran
tentang kesatuan budaya Bali, bahasa Bali dan kesatuan Agama Hindu yang membuat
etnis Bali memiliki emosi etnosentris kebalian relatif lebih kuat, yang
memiliki karakter dan sifat manusia Bali yang dianggap dominan adalah terbuka,
ramah dan luwes, jujur, kreatif dan estetis, kolektif, kosmologis, religius,
dan moderat.
Manusia Bali memiliki keyakinan ajaran agama yang
kompleks dan memiliki struktur sosial dalam bentuk kasta, maka manusia Bali
selalu diharapkan memiliki sifat potensial dalam menghadapi persaingan yang
ketat, karena itu manusia diharapkan memiliki sifat yang dikenal dengan sifat jengah.
Hal ini yang menjadi ciri budaya manusia Bali yang unik dan memiliki sifat
patrilineal yaitu memposisikan nilai lebih laki-laki lebih bermakna dan lebih
tinggi daripada posisi dan nilai-nilai perempuan. Dari perspektif mikro manusia
Bali memiliki sifat multi-dimensional antara lain sebagai manusia religius,
manusia budaya, manusia sosial, manusia simbolis, manusia estetis, manusia
politis, dan manusia ekonomis.
Manusia Bali tradisi bertolak dari teori sosial
bahwa manusia pada awalnya melakukan aktivitas kreatif dan aktivitas yang
kontinu untuk menciptakan masyarakat dan kebudayaan. Sekarang masyarakat dan
kebudayaan mem-pengaruhi dan menentukan manusia lewat nilai-nilai (baik dan
buruk). Kebudayaan Bali telah berfungsi secara aktif memenuhi segala kebutuhan
manusia Bali.
Sedikitnya terdapat 15 proses sosial dan budaya
yang menghanyutkan, bahkan menenggelamkan manusia Bali, di antaranya pada point
3 yaitu proses estetik klasik menuju estetik modern, manusia Bali mengalami
improvisasi dan modernisasi. Point 4 adalah proses budaya klasik yang spiritual
menuju budaya pasar yang menipiskan sikap kebaliannya dengan menyontoh produk
luar. Lingkungan sosial dan budaya tradisi telah membentuk dan mempengaruhi
sifat, sikap dan perilaku manusia Bali.
Guncangan menuju akar budaya. Untuk memahami
guncangan yang ditimbulkan oleh proses sosial dan budaya menuju akar-akar
budaya Bali, memakai pendekatan falsifikatif. Ada fenomena sosial yang dianggap
mengancam dan mengarahkan kepada akar budaya Bali, antara lain munculnya
peralihan batiniah, dalam kasus semakin banyak manusia Bali beralih ke agama
baru.
Manusia Bali dihadapkan persoalan dilematis bahwa
ada keinginan mempertahankan akar budaya yang total yang bernafaskan religius
tetapi di pihak lain ingin membangun kebudayaan industri yang mengutamakan
sains dan teknologi. Maka
diperlukan kewaspadaan dari setiap manusia Bali untuk mengantisisipasi
perubahan.
Dalam perkembangan berikutnya generasi muda Hindu
telah memiliki kegairahan untuk merekonstruksi budaya dan adat Bali, serta
melakukan revitalisasi dalam pemahaman dan penghayatan Agama Hindu, karena
Agama Hindu merupakan unsur budaya universal yang menjadi jiwa (spirit) dari
kebudayaan Bali.
Mendambakan manusia Bali modern yang memiliki
sikap optimistis untuk menatap masa depan yang lebih pasti, mampu meng-akomudasikan
kebudayaan Bali dan memiliki kemantapan hati dan iman akan mencapai tahapan
kehidupan sejahtera yang penuh keseimbangan.
Analisis
Ulasan
dari manusia Bali di persimpangan jalan secara gamblang menjelaskan manusia
Bali dan sekaligus membandingkan manusia dulu dan sekarang (saat buku ini
ditulis). Akan tetapi yang menjadi persoalan dan sekaligus pertanyaan adalah:
Apakah manusia Bali saat ini dengan delapanbelas tahun yang lalu yaitu pada
tahun 1994 pada saat buku ini ditulis masih sama orientasi pemikirannya, karena
pada dasarnya manusia dalam hidupnya memiliki sifat dinamis yang selalu
berubah.
Dari uraian yang tersurat dalam buku tersebut
tampak penulis bersikap pesimistis dalam mengamati perubahan yang terjadi dalam
kehidupan manusia Bali. Ini tampak jelas seperti pada halaman 45. Pada bagian
pendahuluan disebutkan bahwa manusia Bali kini berada di tengah perubahan
sosial dan budaya, atau di bawah pergeseran struktur sosial, dan berhadapan
dengan arus globalisasi yang deras dan intensif, yang diperkirakan akan
meruntuhkan manusia Bali dan kebudayaan Bali. Akan tetapi pada bagian lain
dikatakan bahwa manusia Bali transisi masih tetap berpedoman pada akar budaya
dan agamanya. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat I Gusti Ngurah Bagus dalam
epilognya (hal. 177), jika manusia Bali tetap berdasar pada faktor sistem nilai
budaya yang dimiliki lewat gagasannya sikap optimis yang dipancarkan karena
akan mampu meredam goncangan dengan berbagai permasalahan yang dihadapi dan
terwujudnya manusia Bali modern.
Manusia Bali memiliki budaya pengendalian
diri yang sangat kuat serta mendalam yang tercermin lewat mantra-mantra suci,
sayangnya hal ini berdasarkan kenyataan yang dimiliki oleh seluruh manusia Bali
kemungkinan hanya sebagian dari manusia Bali yang memiliki budaya tersebut. Hal
ini diperkuat pula dalam buku Perempuan Bali Kini, (Suryani, 2003: 7),
bahwa dari pariwisata selain mempunyai dampak positif juga dampak negatif, terbukti
dengan banyak anak-anak muda pergi ke diskotik, meminum minuman beralkohol,
karena mereka ingin dianggap sebagai orang modern, mengkonsumsi narkoba tanpa
takut akibatnya, dalam pemahaman sex sudah mulai bergeser.
Salah satu ciri manusia Bali adalah
memiliki kesadaran terhadap ajaran yang termuat dalam kitab suci Agama Hindu.
Dalam kenyataannya tidak demikian karena agama yang dipeluk oleh manusia Bali
sama dengan agama yang dipeluk masyarakat di luar Bali. Ini sebenarnya bertolak
belakang dengan pernyataan bahwa menurut pendekatan antropologis “manusia Bali”
adalah sekumpulan orang-orang yang mendiami suatu wilayah tertentu, khususnya
pulau Bali (hal. 48). Dalam buku Bali Tikam Bali dinyatakan orang Bali
kalau diomongin semakin asyik. Ia merupakan sumber pembicaraan, pusat
pembahasan tiada habis, semakin ditelusuri kian menggugah tambah membuat kita
tak hendak melepaskannya. Menelusuri liku-liku manusia Bali seperti mengikuti
alur yang membelit bercabang-cabang seperti lorong yang nyata, namun tak jelas
ke mana ujungnya, atau mereka memang etnik yang tak punya akhir (Soetama, 2004:
51). Maka hendaknya dalam ciri tersebut ditambahkan kata mayoritas sehingga
menjadi mayoritas beragama Hindu.
Ciri yang dominan manusia Bali di
antaranya ramah dan luwes. Dalam kenyataannya secara empirik dari keramahan
manusia Bali akan dapat merugikan diri sendiri karena masyarakat dari etnis
lain semakin ramai memadati tempat strategis dalam segala bidang. Yang akan
terjadi manusia Bali akan tersingkir, yang hanya menempati tempat-tempat
pinggiran seperti pengalaman-pengalaman sejarah yang telah membuktikannya.
Disatu sisi budaya ramah manusia Bali yang sering diekspresikan lewat ajakan
atau tawaran seolah-olah terkesan basa-basi dalam pergaulan.
Pada guncangan-guncangan yang menuju pada
akar budaya, disebutkan ada 7 fenomena sosial yang dianggap mengancam.
Seperti pada point 3 (hal. 63), bahwa berdasarkan kasus yang menonjol makin
banyak manusia Bali beralih ke agama baru. Hal ini yang perlu lebih dahulu
disepakati dalam pembahasan ini adalah agama baru atau aliran kepercayaan.
Karena menurut hemat saya bahwa antara agama dan aliran kepercayaan ada sedikit
perbedaan, walaupun keduanya ada persamaan dalam hal keyakinan. Di Indonesia
hanya ada 5 agama yaitu: Agama Islam, Agama Kristen Katolik, Agama Kristen
Protestan, Agama Hindu, dan Agama Buddha. yang diakui oleh pemerintah, sehingga
selain tersebut di atas termasuk dalam aliran kepercayaan yang mengatasnamakan
serpian-serpian dari agama tertentu. Memang yang terjadi di Bali banyak
bermunculan aliran-aliran kepercayaan.
Dari pandangan dan analisis de-kontruksionisme
yang mengajak kita untuk mengamati kebudayaan dan dinamikanya, sebagai
dicontohkan bahwa bentuk ritus agama kurang dipahami maknanya, serta kesenian
sakral yang semakin kehilangan penggemarnya. Sesungguh-nya hal ini tidak perlu
dirisaukan karena yang terjadi di lapangan masih banyak manusia Bali yang mampu
memahami dan memaknai bentuk ritus bahkan makna dan simbol-simbol tentang Agama
Hindu, masih banyak dijumpai dalam upacara-upacara agama misalnya yang me-nampilkan
tari sakral, tidak pernah luput dari ramainya masyarakat penonton. Apalagi
dengan adanya siaran TV swasta (Bali TV, Dewata TV) misalnya yang selalu
menayangkan acara siraman rohani (Agama Hindu) dengan berbagai ulasan yang
menarik untuk disimak, maka program tersebut sesungguhnya dapat dipakai untuk
menjawab permasalahan tersebut.
Dalam buku Tafsir Kebudayaan
(Geertz, 1992: 137), yang mengisiyaratkan bahwa sesungguhnya manusia Bali
meskipun pada kelompok minoritas di Indonesia tetapi mereka kuat dengan
prinsip, dan tetap mempertahankan agama yang diwarisi dari leluhurnya. Maka
dikatakan bahwa manusia Bali tidak mungkin menjadi muslim atau kristen dalam
jumlah besar. Karena di mata manusia Bali ini sama artinya dengan berhenti
menjadi orang Bali.
Dengan demikian sikap optimis manusia Bali
yang mendambakan modern dengan menerima pengaruh budaya luar secara dinamis
namun selektif untuk menatap masa depan yang lebih baik dan pasti, mampu
mengakomudasikan kebudayaan Bali dan memiliki kemantapan hati dan iman akan
mencapai tahapan kehidupan sejahtera atau penuh keseimbangan lahir dan batin
akan dapat terwujud.
Dirangkum oleh: Redaksi
0 komentar:
Posting Komentar