Oleh: Ida Made Pidada Manuaba, S.Ag, M.Si
(Bapak Kasi Ura Hindu Kantor Kemenag Kab. Karangasem)
Aktualisasi dan realisasi ajaran agama nampak dan tercermin dalam prilaku dari individu maupun sosial dalam keseharian, sebab walaupun orang memiliki pengetahuan agama yang tinggi bila keserakahan, keangkuhan dan arogansi menyelubungi seseorang, maka pengetahuan agama tersebut hanyalah bersifat teori belaka. Ajaran agama semestinya menjadi pegangan yang mengubah prilaku seseorang dari kurang arif menjadi arif, dan belenggu Asuri Sampad menjadi Daivi Sampad atau dari pengaruh Danawa menjadi prilaku Madhawa.
Demikian secara teoritis yang dianjurkan namun kenyataannya tidak setiap umat beragama mampu merealisasikan seluruh ajaran agama yang demikian luhurnya dalam kehidupan pribadi maupun sisoal. Diturunkannya berbagai macam brata atau ajaran tentang latihan pengekangan diri oleh Tuhan Yang Maha Esa dimaksudkan tidak lain adalah untuk kembalinya diri manusia kepada kesadarannya yang sejati, yakni atma yang berstana pada diri pribadi seseorang.
Kegelapan oleh berbagai fator terutama oleh keterikatan terhadap keduniawian menghambat usaha manusia untuk meningkatkan kualitas dalam hakekat kehidupan.
Salah satu ajaran tentang brata adalah Brata Swaratri yang mengandung ajaran yang sangat luhur, guna meningkatkan sradha dan bhakti kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan melalui brata ini pula seseorang akan dapat meningkatkan keluhuran budhi pekertinya sehingga perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama dapat dicegah, diredam dan dihindari termasuk pula emosi yang dapat meletup dalam kerusuhan sosial yang dapat mengorbankan jiwa dan harta benda.
1. Pengertian Siwaratri
Siwaratri artinya Malam Siwa. Bila diuraikan tersir dari kata Siwa (Sanskerta) yang artinya baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan. dalam hal ini kata Siwa adalah sebuah gelar atau nama kehormatan untuk salah satu manifestasi Tuhan yang diberi nama atau gelar kehormatan Dewa Siwa, dalam fungsi beliau sebagai pemeralina untuk mencapai kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan untuk kebahagian. Sedangkan kata Ratri artinya malam, malam disini juga dimaksud kegelapan. Jadi Siwaratri berarti malam untuk melebur atau memeralina (melenyapkan) kegelapan hati menuju jalan yang terang.
Kekawin Siwaratri karya Mpu Tanakung di kalangan masyarakat Hindu di Bali lebih dikenal dengan nama Kekawin Lubdaka. Kekawin ini biasanya dibaca pada hari raya Siwaratri, yaitu pada hari Caturdasi Krsnapaksa artinya panglong ping 14 Sasih Kepitu atau sehari sebelum bulan mati pada bulan magha (ke-7) yaitu malam yang paling gelap di dalam satu tahun.
Ajaran Siwarati bersumber pada : Siwapurana, Padmapurana, Garudapurana, dan kekawin Siwaratri Kalpa. Mpu Tanakung telah berasil menggubah karya sastra yang bermutu yaitu Kekawin Siwaratri Kalpa atau Lubdaka pada jaman Majapahit (Abad ke-15). Beliau mengambil sumber Padmapurana yang memuat percakapan antara Dilipa dengan Wasistha. Bagian Uttara Kanda dari Padmapurana sangat dekat dengan kekawin Siwaratri Kalpa. Malah bagian-bagian tertentu dalam kekawin Siwaratri Kalpa merupakan terjemahan dari sumber tersebut. Dengan menggubah kekawin Siwaratri Kalpa Mpu Tanakung diduga bermaksud lebih menyebarluaskan cerita itu lewat media seni sastra.
Hari Raya Siwaratri di Bali sudah dilaksanakan dengan sangat baik oleh masyarakat yang lebih menonjol pada perayaan Siwaratri adalah Brata.
2. Brata Siwaratri
Kata brata dalam bahasa sanskrta berarti janji, sumpah, kewajiban, laku utama atau keteguhan hati.
Dengan demikian Brata Siwaratri artinya kewajiban sebagai laku utama atau janji untuk teguh hati untuk melaksanakan ajaran Siwaratri. Tujuan utama dari Brata Siwaratri adalah melenyapkan sifat-sifat buruk atau jahat dan hina. Brata Siwaratri ada tiga jenis yaitu :
1. Tingkat Utama yang terdiri dari Monobrata, Upawasa, dan Jagra yang dilaksanakan sekaligus.
2. Brata Tingkat Madya terdiri dari Upawasa dan Jagra dilaksanakan sekaligus.
3. Brata Tingkat Nista hanya dengan melaksanakan Jagra.
Penjelasan :
• Monabrata artinya pantangan bicara atau berdiam diri tanpa bicara dari pukul 06.00 pada panglong ping 14 sampai pukul 18.00 Tileming sasih Kepitu selama 36 jam.
• Upawasa artinya berpuasa tidak makan dan minum lamanya sama dengan Monabrata.
• Jagra artinya berjaga, bangkit, maksudnya tidak tidur selama 36 jam.
Maksud dari pada Brata tersebut adalah untuk memperoleh kesadaran diri dengan melakukan Brata Siwaratri dengan melenyapkan papa. Kata papa dalam bahasa sanskerta artinya sengsara, neraka, buruk, jahat dan hina.
3. Pelaksanaan Brata Siwaratri di India dan di Indonesia
Pelaksanaan Brata Siwaratri di India pada paro petang ke-14 bulan phalguna (februari-maret) hampir sama dengan di Indonesia yang dilakukan pada paro petang ke-14 bulan magma (januari-februari), yakni mereka tidak tidur selama 36 jam, sembahyang Kepura-Pura Sanghyang Siwa dengan mengucapkan japa pancaksara OM NAMAH SIWAYA. Sejak pagi hingga keesokan harinya menjelang mata hari terbenam.
4. Aktualisasi Pelaksanaan Brata Siwaratri.
Berbagai perayaan dan pelakanaan Brata tidak akan banyak memberikan manfaat bila umat tidak mampu menangkap makna dibalik perayaan atau Brata tersebut, untuk itu hal yang penting adalah merenungkan semua makna keutamaan Brata itu kemudian mengejewantahkannya dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial.
Brata Siwaratri adalah hari untuk meningkatkan kesadaran kita untuk senantiasa memuja keagungan Sang Hyang Widhi dalam hal ini salah satu abhiseka atau manifestasi utama-Nya adalah sebagai Sang Hyang Siwa.
Pemujaan terhadap Dewa Siwa dalam upacara Siwaratri karena manusia dalam menghadapi segala hambatan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri, memerlukan tuntunan dan waranugraha Dewa Siwa sebagai pemeralina segala sesuatu yang menghalangi tujuan suci. Dewa Siwa sebagai penuntun dan pelindung manusia dalam perjuangannya melenyapkan kegelapan batin, menuju kehidupan yang penuh kesadaran, karena hidup yang penuh kesadaran dapat melenyapkan kepapaan dan kesengsaraan.
Ciri orang yang telah berasil berjuang melenyapkan kepapaan adalah orang yang penuh dengan pengendalian diri dalam bidang makan dan minum yang disimboliskan dalam Upawasa (puasa). Orang yang penuh pengendalian diri dalam kata-katanya disimboliskan dengan Monabrata, dan orang yang selalu waspada dan sadar dalam segala tingkah lakunya sehingga selalu dapat berbuat dharma disimboliskan dengan Jagra. Orang yang demikian selalu mendapat perlindungan dan waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Siwa baik selama hidupnya di dunia maupun di akhirat.
0 komentar:
Posting Komentar