Oleh : Ngurah Nala
Universitas Hindu Indonesia
Agama Hindu sudah berusia ribuan tahun. Diperkirakan telah ada sejak 5 ribu tahun yang lalu. Agama ini mula-mula dianut oleh masyarakat India di sepanjang sungai Sindu. Kemudian ajaranNya menyebar ke seluruh pelosok dunia. Sebagai sebuah agama memiliki pula kitab suci yang bernama Weda. Kitab suci Weda ini terbagi atas dua kelompok besar, yakni kitab Weda, Sruti dan Weda Smerti. Kitab Weda Sruti terbagi lagi atas 3 kelompok, yakni kelompok Kitab Suci Mantra, Brahmana, dan Upanishad. Yang termasuk di dalam kelompok kitab Mantra adalah Kitab Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan Atharwa Weda. Keempatnya sering disebut sebagai kitab suci Catur Weda. Kitab Brabmana terbagi lagi atas kelompok kitab Aitareya, Satapatha, Tandya, dan Gopatha. Sedangkan kitab Upanishad terdiri atas 92 buah kitab. Dan kitab Weda Smerti berkembang menjadi kitab suci Wedangga (Siksa, Wyakarana, Chanda, nirukta, Jyotisa, Kalpa), kitab Upaweda (Itihasa, Purana, Ayurweda, Arthasastra, dll) dan kitab Agama (Brahmanisme, Siwaisme, Waisnawaisme, Saktiisme, dll). Kemudian muncul berbagai kitab Nibanda dengan bermacam penafsiran yang ditulis oleh para Mahareshi, Reshi dan cendekiawan Hindu. Kelompok kitab Nibanda ini antara lain adalah kitab Sarasamuscaya, Purwamimamda, Brahmasutra,Wedantasutra, Reinterpretasi dan revitalisasi selalu dilakukan terhadap kitab suci Weda ini. Oleh sebab itu orang luar sering keliru dalam menilai perkembangan serta pelaksanaan agama Hindu di berbagai negara atau daerah setempat. Di Indonesia muncul istilah Hindu Bali, Hindu Tengger, Hindu Batak, Hindu Kaharingan, Hindu Toraja, dan lain-lainnya. Kemunculannya ini disebabkan pelaksanaan ajaranNya berbeda-beda sesuai dengan daerah (desa), zaman (kala), dan manusia atau lingkungannya (patra). Demikian pula dalam penyebutan Tuhan, mempunyai kekhasan/spesifikasi masing-masing, mempergunakan bahasanva sendiri. Misalnya Ran ying Hatalla (Kaharingan), atau Hyang Widhi (Bali, Jawa) adalah sebutan untuk Tuhan. Dengan cara penyebutan seperti ini mereka lebih merasakan keberadaan Tuhan di dalam hati sanubarinya sendiri dibandingkan dengan menyembah Tuhan berdasarkan bahasa Weda, seperti Brahman misalnya.
Umat Hindu Kaharingan suku Dayak di Kalimantan Tengah memiliki pula buku suci sebagai pegangan di dalam melakukan ajaran agama Hindu. Buku suci penuntunnya, mereka sebut Kitab Suci Panaturan. Di dalam kitab suci ini disebutkan bahwa ajaran ketuhanan mereka menganut paham theisme adwaita. Artinya percaya kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, tetapi menampakkan Diri dalam berbagai wujud. Tafsir ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 Kitab Suci Panaturan tentang Tamparan taluh handini (Awal segala kejadian). Pa Se 3 dan 6 tertulis sebagai berikut:
Aku tuh Ran ying Hatalla je paling kuasa, tamparan taluh handiai tuntang kahapus.
Kalawa jetuh iye te kalawa pambelum ije inanggareku kangguranan ara hintan kaharingan (Seloka/Ayat 3).
Aku inilah Ranying Hatalla Yang Maha Kuasa, Awal dan Akhir segala kejadian dan cahaya kemuliaanKu yang terang bersih dan suci adalah Cahaya yang kekal abadi dan
Aku Sebut Ia Hintan Kaharingan.
Ranying Hatalla nuntun pahaliai tingang nureng Nyababeneng tanduk. Handung kalawa jet te puna pahalingei biti, ha yak iye mananggare gangguranan arae bagare “Jata Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan Mijen Papan Malambang Bulau Marung Laut Bapantan Hintan” (Seloka/Ayat 6).
Ranying Hatalla memperlihatkan wujud itu dengan sungguh-sungguh bahwa itu adalah bayanganNya sendiri dan Beliau memberikan nama kepada bayangan tersebut “Jata Balawang Bulu Kanaruhan Bapager Hintan Mijen Papan Malambung Bulau Marung Laut Bapantan Hintan”.
Isi dan kitab suci Panaturan tidaklah jauh berbeda dengan isi kitab atau lontar bercorak Hindu yang ada di Bali, atau di tempat lainnya. Terdapat pula di dalamnya petunjuk tentang pelaksanaan tata cara basarah (persembahyangan), melakukan upacara dan upakara Panca Yadnya. Misalnya dalam upacara Manusa Yadnya, Nahunan adalah upacara kelahiran yang terdiri atas upacara Paleteng (hamil 5 bulan), Nyaki Ehet (hamil 7 bulan), Mangkang Kahang Badak (hamil 9 bulan), dan upacara Nahunan pemberian nama anak. Ada pula upacara perkawinan yang mereka sebut Lunuk Hakaja Pating. Demikian pula dengan upacara lainnya dalam Dewa Yadnya, Reshi Yadnya, Pitra Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Seluruh pelaksanaan yadnya tersebut dilakukan berdasarkan atas petunjuk yang ada di dalam kitab suci Panaturan.
Para dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang (STAHN-TP; Tampung = perkumpulan, Penyang = semangat; semangat bersatu) Palangkaraya Kalimantan Tengah telah menyusun mata kuliah Acara Agama Hindu Kaharingan yang dipergunakan sebagai pegangan dasar pada waktu mereka mengajar mata kuliah Acara Agama Hindu di sekolahnya. Ketua STAHN-TP, Drs. Midday, MM, yang semula dosen di Universitas Palangkaraya, sebagai warga suku Dayak Kaharingan, sangat peduli akan masalah peningkatan kualitas akademik warganya, khususnya dalam pendidikan agama Hindu.
Salah seorang alumninya, Mariatie, SAg, seorang wanita Dayak Kaharingan yang energik, sekarang dosen di almamater nya, ditugaskan sebagai koordinator untuk menyusun buku Pedoman Acara Agama Hindu Kaharingan. Buku pedoman ini sebagian besar bersumber dari kitab suci Panaturan, sebuah kitab suci yang telah dimiliki oleh warga Dayak Kaharingan sejak jaman dahulu. Kitab suci inilah yang dipergunakan sebagai penuntun dan pedoman oleh warga suku Dayak Kaharingan oleh para dosen STAHN Tampung Penyang diharapkan tidak hanya warga Dayak Kaharingan, khususnya para mahasiswa, akan lebih memahami tentang tattwa, etika dan upacara serta upakara agama Hindu yang berkembang di suku Dayak Kaharingan, tetapi juga masyarakat lainnya di Nusantara ini, bahkan juga orang asing yang ingin tahu tentang Hindu Kaharingan.
Source: www.parisada.org
Universitas Hindu Indonesia
Agama Hindu sudah berusia ribuan tahun. Diperkirakan telah ada sejak 5 ribu tahun yang lalu. Agama ini mula-mula dianut oleh masyarakat India di sepanjang sungai Sindu. Kemudian ajaranNya menyebar ke seluruh pelosok dunia. Sebagai sebuah agama memiliki pula kitab suci yang bernama Weda. Kitab suci Weda ini terbagi atas dua kelompok besar, yakni kitab Weda, Sruti dan Weda Smerti. Kitab Weda Sruti terbagi lagi atas 3 kelompok, yakni kelompok Kitab Suci Mantra, Brahmana, dan Upanishad. Yang termasuk di dalam kelompok kitab Mantra adalah Kitab Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan Atharwa Weda. Keempatnya sering disebut sebagai kitab suci Catur Weda. Kitab Brabmana terbagi lagi atas kelompok kitab Aitareya, Satapatha, Tandya, dan Gopatha. Sedangkan kitab Upanishad terdiri atas 92 buah kitab. Dan kitab Weda Smerti berkembang menjadi kitab suci Wedangga (Siksa, Wyakarana, Chanda, nirukta, Jyotisa, Kalpa), kitab Upaweda (Itihasa, Purana, Ayurweda, Arthasastra, dll) dan kitab Agama (Brahmanisme, Siwaisme, Waisnawaisme, Saktiisme, dll). Kemudian muncul berbagai kitab Nibanda dengan bermacam penafsiran yang ditulis oleh para Mahareshi, Reshi dan cendekiawan Hindu. Kelompok kitab Nibanda ini antara lain adalah kitab Sarasamuscaya, Purwamimamda, Brahmasutra,Wedantasutra, Reinterpretasi dan revitalisasi selalu dilakukan terhadap kitab suci Weda ini. Oleh sebab itu orang luar sering keliru dalam menilai perkembangan serta pelaksanaan agama Hindu di berbagai negara atau daerah setempat. Di Indonesia muncul istilah Hindu Bali, Hindu Tengger, Hindu Batak, Hindu Kaharingan, Hindu Toraja, dan lain-lainnya. Kemunculannya ini disebabkan pelaksanaan ajaranNya berbeda-beda sesuai dengan daerah (desa), zaman (kala), dan manusia atau lingkungannya (patra). Demikian pula dalam penyebutan Tuhan, mempunyai kekhasan/spesifikasi masing-masing, mempergunakan bahasanva sendiri. Misalnya Ran ying Hatalla (Kaharingan), atau Hyang Widhi (Bali, Jawa) adalah sebutan untuk Tuhan. Dengan cara penyebutan seperti ini mereka lebih merasakan keberadaan Tuhan di dalam hati sanubarinya sendiri dibandingkan dengan menyembah Tuhan berdasarkan bahasa Weda, seperti Brahman misalnya.
Umat Hindu Kaharingan suku Dayak di Kalimantan Tengah memiliki pula buku suci sebagai pegangan di dalam melakukan ajaran agama Hindu. Buku suci penuntunnya, mereka sebut Kitab Suci Panaturan. Di dalam kitab suci ini disebutkan bahwa ajaran ketuhanan mereka menganut paham theisme adwaita. Artinya percaya kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, tetapi menampakkan Diri dalam berbagai wujud. Tafsir ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 Kitab Suci Panaturan tentang Tamparan taluh handini (Awal segala kejadian). Pa Se 3 dan 6 tertulis sebagai berikut:
Aku tuh Ran ying Hatalla je paling kuasa, tamparan taluh handiai tuntang kahapus.
Kalawa jetuh iye te kalawa pambelum ije inanggareku kangguranan ara hintan kaharingan (Seloka/Ayat 3).
Aku inilah Ranying Hatalla Yang Maha Kuasa, Awal dan Akhir segala kejadian dan cahaya kemuliaanKu yang terang bersih dan suci adalah Cahaya yang kekal abadi dan
Aku Sebut Ia Hintan Kaharingan.
Ranying Hatalla nuntun pahaliai tingang nureng Nyababeneng tanduk. Handung kalawa jet te puna pahalingei biti, ha yak iye mananggare gangguranan arae bagare “Jata Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan Mijen Papan Malambang Bulau Marung Laut Bapantan Hintan” (Seloka/Ayat 6).
Ranying Hatalla memperlihatkan wujud itu dengan sungguh-sungguh bahwa itu adalah bayanganNya sendiri dan Beliau memberikan nama kepada bayangan tersebut “Jata Balawang Bulu Kanaruhan Bapager Hintan Mijen Papan Malambung Bulau Marung Laut Bapantan Hintan”.
Isi dan kitab suci Panaturan tidaklah jauh berbeda dengan isi kitab atau lontar bercorak Hindu yang ada di Bali, atau di tempat lainnya. Terdapat pula di dalamnya petunjuk tentang pelaksanaan tata cara basarah (persembahyangan), melakukan upacara dan upakara Panca Yadnya. Misalnya dalam upacara Manusa Yadnya, Nahunan adalah upacara kelahiran yang terdiri atas upacara Paleteng (hamil 5 bulan), Nyaki Ehet (hamil 7 bulan), Mangkang Kahang Badak (hamil 9 bulan), dan upacara Nahunan pemberian nama anak. Ada pula upacara perkawinan yang mereka sebut Lunuk Hakaja Pating. Demikian pula dengan upacara lainnya dalam Dewa Yadnya, Reshi Yadnya, Pitra Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Seluruh pelaksanaan yadnya tersebut dilakukan berdasarkan atas petunjuk yang ada di dalam kitab suci Panaturan.
Para dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang (STAHN-TP; Tampung = perkumpulan, Penyang = semangat; semangat bersatu) Palangkaraya Kalimantan Tengah telah menyusun mata kuliah Acara Agama Hindu Kaharingan yang dipergunakan sebagai pegangan dasar pada waktu mereka mengajar mata kuliah Acara Agama Hindu di sekolahnya. Ketua STAHN-TP, Drs. Midday, MM, yang semula dosen di Universitas Palangkaraya, sebagai warga suku Dayak Kaharingan, sangat peduli akan masalah peningkatan kualitas akademik warganya, khususnya dalam pendidikan agama Hindu.
Salah seorang alumninya, Mariatie, SAg, seorang wanita Dayak Kaharingan yang energik, sekarang dosen di almamater nya, ditugaskan sebagai koordinator untuk menyusun buku Pedoman Acara Agama Hindu Kaharingan. Buku pedoman ini sebagian besar bersumber dari kitab suci Panaturan, sebuah kitab suci yang telah dimiliki oleh warga Dayak Kaharingan sejak jaman dahulu. Kitab suci inilah yang dipergunakan sebagai penuntun dan pedoman oleh warga suku Dayak Kaharingan oleh para dosen STAHN Tampung Penyang diharapkan tidak hanya warga Dayak Kaharingan, khususnya para mahasiswa, akan lebih memahami tentang tattwa, etika dan upacara serta upakara agama Hindu yang berkembang di suku Dayak Kaharingan, tetapi juga masyarakat lainnya di Nusantara ini, bahkan juga orang asing yang ingin tahu tentang Hindu Kaharingan.
Source: www.parisada.org
0 komentar:
Posting Komentar