elaki muda ini menginjakkan kaki
di Denpasar, 14 Juli 1985. Artha, yang
baru lulus SMA Negeri 1 Singaraja, mesti segera mendaftarkan diri. Ia diterima
tanpa testing (jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan) di Fakultas Pertanian
Universitas Udayana. Di kelasnya, III IPA 1, dari 45 orang hanya 2 orang yang
tak lolos PMDK. Ia ingat betul, 10 kawannya diterima di ITB, 6 di FK Unud, 3 di
IPB dan 4 di UI. Selebihnya di berbagai kampus di Unud, Unibraw, Unair dan UGM.
Kenapa
Artha memilih Fakultas Pertanian Unud? “Saya tak punya biaya kuliah,’’ katanya
saat menceritakan masa lalunya beberapa waktu lalu. Ia memilih kuliah di Bali
saja agar tak mahal. Karena ia jurusan IPA, ia memilih FP Unud yang saat itu memang
sedang naik daun.
Pada
tahun pertama, ia indekos di Jalan Alor
Nomor 10 Denpasar—di sebuah kamar yang amat sederhana. Harga kontrak Rp 100
ribu per tahun. Kamar-kamar lainnya Rp 175 ribu per tahun. Kamarnyalah yang
paling sederhana: kecil, pojok dan dekat sumur. Namun ia melakoninya dengan
senyum. Tiap hari ia berjalan kaki ke kampus Sudirman.
Karier
perintis dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Mekar SMA 1 Singaraja dimulai dengan menjadi Koordinator Tingkat.
Lalu ia dipilih menjadi Ketua Kelompok Diskusi Pancasila. Merangkak menjadi
Ketua Bidang I BPM Fakultas Pertanian Unud dan memimpin Pers Kampus Akademika
Unud. Puncak karier kemahasiswaaannya adalah tatkala menjadi Ketua Umum Senat
Mahasiswa Unud pada tahun 1991 – Ketua pertama era pasca NKK/BKK. Di level
ekstra kampus, Artha pernah menjadi Ketua Bidang Politik DPC Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI), lalu menjadi pengurus pleno KNPI Bali dan menjadi
salah satu penggagas Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) tingkat
nasional. Ia pun merintis lahirnya Majalah Khlorofil Fakultas Pertanian Unud
dan juga membidani kelahiran Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma
Universitas Udayana.
Mahasiswa Melarat
Karier organisasi kemaha-siswaannya yang cemerlang itu diraihnya
dengan kenyataan bahwa ia tergolong mahasiswa melarat. Sempat setahun kos
sederhana, pada tahun selanjutnya ia mesti tinggal di Asrama Mahasiswa yang
saat itu masih sederhana bangunannya. Satu los dihuni delapan orang. Satu
tempat tidur bertingkat. Satu orang di bawah satu di atas. Ada empat kamar
tidur dalam tiap los. Jika makan cukup dengan menyetor beras ke ibu asrama lalu
membeli lauk seadanya.
Ia
tinggal di asrama mahasiswa karena memasuki semester III, orangtuanya jatuh
miskin. Usaha jual beli buah jeruk bangkrut karena saat itu jeruk terserang
penyakit CVPD. Ia sendiri sempat stress berat, tak keluar kamar hampir tiga
hari gara-gara keuangan keluarganya morat marit. Ia masih bersyukur karena
kakak perempuannya (kini PNS di sebuah sekolah) diterima jadi kasir di salah satu
toko di Singaraja. Kakaknyalah yang sedikit banyak membantu keuangan
bulanannya, walau tak cukup. “Saya ingat betul saat itu saya cuma punya baju
empat, celana panjang 2, sepatu satu pasang,’’ kenangnya.
Ada
sejumlah kenangan prihatin yang masih membekas pada lulusan cumlaude
Program Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana ini. Pernah
suatu ketika, pada akhir bulan, uangnya cuma tinggal Rp 500,- Ia berfikir keras
agar bisa hidup seminggu dengan uang seminim itu. Akhirnya, ia pun membeli
sayur kol yang rusak dan dapat empat buah. Ia buang bagian-bagian daun kol
yang rusak, lalu tiap hari selama
sepekan ia masak sayur kol saja untuk menemani nasi putih yang sudah didapatnya di asrama. Cabai dipetiknya
di depan asrama.
Pernah
pula, suatu ketika, karena tak punya motor, ia naik bemo kota ke Gelogor
menemui temannya. Pulangnya, ia kaget. Sisa uang Rp 150,- untuk ongkos bemo
hilang karena kantong celananya bolong. Tak serupiah pun ia punya uang.
Terpaksa, bersandal jepit, ia jalan kaki dari Gelogor ke Jalan Hasudin,
Diponegoro dan kembali ke asrama. Saat panas matahari sedang terik pula.
Kenangan
lainnya adalah, tiap Minggu pagi ia bersama teman-teman asramanya lari pagi
sambil mandi ke pantai Sanur. Nanti saat pulang, ia dan kawan-kawannya mencegat
truk yang mengangkut pasir. Ikut naik dan turun di simpang empat Kimia Farma.
Selalu begitu tiap Minggu pagi.
Mahasiswa Mandiri
Sadar
kiriman uang dari Singaraja mulai tersendat, ia pun berfikir keras untuk
mandiri. Ia sadar punya talenta jurnalistik karena mantan aktifis pers sekolah.
Mulailah ia menggeluti pers kampus dan menulis di sana. Lumayan ia dapat honor
Rp 6000,- Ia juga mencoba peruntungan menjadi penulis lepas di Koran Pedesaan Bali Post Minggu, Nusa Tenggara Minggu dan Mingguan Karya Bhakti. Lelaki yang menamatkan S2 nya dalam tempo 1,5 tahun
ini, menarget dirinya tiap pekan agar bisa menulis di ketiga koran itu. Dari
honor bulanan di tiga koran itulah, ia mulai bisa mengongkosi kebutuhannya
sehari-hari. Namun belum bisa menabung.
Naluri
bisnisnya mulai tumbuh. Ia mencoba kerja sampingan, sembari jadi wartawan juga
marketing percetakan. Ia menawarkan barang-barang cetakan, kalender dan
lain-lain ke sekolah-sekolah, kampus dan instansi lainnya. Dari usaha inilah ia mulai bisa menabung.
Pada semester enam, ia bisa membeli sebuah sepada motor GL 100 bekas seharga Rp
700 ribu. Dengan motor ini mobiltasnya mulai meningkat.
Begitulah,
ketika kawan-kawan seasrama masih tertidur jam 6 pagi ia telah pergi dan
memulai tugasnya sebagai mahasiswa, wartawan lepas, aktifis kampus dan tenaga
marketing. Paling cepat pukul 23.00 Wita ia baru pulang ke asrama, mencuci
pakaian, dan membuka-buka buku. Karena itulah (yang ini tak usah ditiru) Artha
mengakui kalau dirinya selalu memanfaatkan syarat kehadiran minimal 75 persen
di ruang kuliah, dengan efektif. Dalam arti, tiap mata kuliah pastilah ia
pernah mangkir untuk alokasi berbagai kegiatannya itu sepanjang absennya tak
lebih dari 25 persen.
Sadar
bahwa bakat sosial dan politiknya lebih menonjol, ia lebih memilih Jurusan
Sosial Ekonomi dengan konsentrasi Program Studi Komunikasi dan Penyuluhan
Pertanian. “Sebetulnya saya ingin mendaftar kuliah di Fisipol UGM,’’ kenangnya.
Namun ia sadar, keluarganya tak punya biaya, karena itu ia tetap bertahan di
jurusannya itu. Karena itu, tak heran, ia sama sekali tak punya buku pertanian
murni, namun malah perpustakaan pribadinya penuh buku politik, hukum, kajian
budaya, komunikasi dan sosiologi.
“Saat
dosen mengajar saya tak suka mencatat, namun mendengarkan penjelasan dosen.
Nanti kalau mau tes tengah semester barulah saya fotokopi catatan teman
perempuan yang biasanya tulisannya bagus-bagus,’’ katanya. Dengan begitu, ia
mengaku bisa lebih memahami materi dosen.
Dari Jurnalis ke
Pekerja Politik
Artha boleh disebut sebagai jurnalis. Sejak SMP – dengan kegiatan Koran
dinding hingga tahun 2003—ia menekuni jurnalistik. Sebagaimana dipaparkan di
atas, ia mulai aktif terlibat sebagai penulis lepas sejak tahun 1986. Itu
dilakoninya hingga 2003 saat ia terpilih menjadi anggota KPU Provinsi Bali.
Dari 1986 hingga 2003, karier jurnalistiknya tergolong melesat untuk generasi
seusianya. Lama menjadi penulis lepas, ia sempat mengasuh halaman Pedesaan Bali Post, dan Kampus Bali Post Minggu. Setelah itu, ia dipanggil
almarhum K. Nadha perintis Grup Bali Post dan diminta ikut menerbitkan Koran
Sekolah Wiyata Mandala, dengan status
tenaga tetap di lembaga pers terua itu. Lebih-lebih ia diberi fasilitas motor
terbaru. Gara-gara menjadi tenaga tetap inilah belakangan Artha agak ogah
menyelesaikan skripsinya, walau akhirnya tuntas bahkan hingga S2 pula. Ia
diberi jabatan Redaktur Pelaksana Koran Sekolah itu.
Selanjutnya,
ia dimutasi ke Harian Bali Post
menjadi redaktur halaman nasional sekaligus di lapangan ikut memburu berita
politik. Pada tahun 1998, ia bersama Nariana
sekali lagi diminta untuk merintis Koran DenPost dan menjadi redaktur
pelaksananya. Sempat beberapa bulan menjadi presenter BaliTV, ia kemudian
melepas atribut jurnalisnya dan banting haluan menjadi anggota KPU Bali hingga
Oktober 2007 ia terpilih sebagai anggota KPU Pusat yang berakhir 12 April 2012.
Tiga Kali nyaris Terbunuh
Perjalanan
hidupnya yang keras pun dilalui dalam medan pekerjaannya. Lelaki yang zaman
mahasiswa gemar berunjuk rasa ini sepanjang hidupnya nyaris tiga kali terbunuh.
Dua kali ketika menjadi jurnalis dan sekali tatkala menjadi anggota KPU RI.
Saat jadi jurnalis ia dan kawan-kawan wartawan pernah dikejar sekelompok
simpatisan parpol di Singaraja dan dikepung dengan senjata tajam. Untung ia
berhasil meloloskan diri dengan bantuan sepeda motor orang lain. Kali kedua, ia
diserempet orang, hendak dijerumuskan ke got di Jalan Kepundung ketika Koran
DenPost gencar memberikan masalah judi togel. Namun ia berhasil selamat. Kali
ketiga saat baru menjabat dua hari di
KPU ia dan seorang komisioner lain, dikepung ribuan massa di Maluku Utara. Saat
itulah ia punya pengalaman tidur di hotel dijaga panser, empat tentara dan 4
polisi.
Ia kini
beristri seorang guru Dra. Ni Nyoman
Meitri dan berputra tiga orang. Anak pertama I Gusti Ngurah Raka Wedatana siswa
kelas 10 di SMAN 2 Denpasar, I Gusti Ayu Widya Shanti siswi kelas 8 di SMPN 10
Denpasar dan I Gusti Ayu Wina Pramesti siswi kelas 3 SD 17 Dauh Puri.
Di
sela-sela sebagai jurnalis, Artha terus mengasah naluri binisnya. Ia
mengibarkan event organizer Bali Media Agency. Dari usaha inilah ia pada tahun
1994 bisa membeli tanah 200 m2 dan pelan-pelan membangun rumah berlantai dua
yang diselesaikannya dalam tempo 6 tahun.
Setelah berhenti di KPU April lalu, Artha mengibarkan bendera Ganesha
consulting di Jakarta. Ia menjadi konsultan politik sekaligus menyelenggarakan
bisnis MICE dengan pasar dari Aceh sampai Jayapura. Kini ia memilih bolak balik
Jakarta Bali. Sepekan di Jakarta berbisnis dan sepekan di Bali bersama
keluarga.
Tidakkah
ia tertarik ke politik praktis? “Tiga
parpol besar memang berhasrat mengajak saya bergabung,’’ katanya. Namun ia
mengaku belum berminat ke parpol karena menyadari betapa dinamika di parpol
demikian keras, butuh biaya besar dan konsistensi perjuangan. Ia lebih memilih
lima tahun ke depan untuk berwirausaha sembari menyediakan lebih banyak waktu
untuk anak-anaknya yang kini beranjak remaja.
Tak
berminat memimpin Bali? “Ah…jauh panggang dari api. Mangku Pastika dan
Puspayoga masih sehat-sehat dan keduanya masih cukup cakap untuk memimpin Bali.
Saya pun tak punya modal apa-apa,’’ katanya merendah.
Yang
jelas, perjalanan hidup dan karier seorang I Gusti Putu Artha boleh disebut
dari “zero to hero”. Ia mahasiswa “melarat” yang kini jadi hero bagi keluarga
besarnya. Ia telah mengharumkan almamaternya Universitas Udayana dan Bali
menjadi orang pertama di KPU dan menyelesaikan tugas dengan tanpa cacat. Dan ia
telah menyumbangkan tenaga buat bangsanya mengawal Pemilu Presiden, Pemilu
Legislatif, 497 Pemilu Bupati di Kabupaten/kota dan 33 Pemilu Gubernur! Salut..
Tulisan Oleh Redaksi Saraswati