Sabtu, 12 Januari 2013

Implementasi Filosofi Catur Warna Sebagai Hakekat Manusia Hindu (Sebuah Opini Praktis)



 
Om Swastiastu…
Om Anobadrah Kratevo Yantu Visvatah…

              Di suatu ketika, seorang sahabat baik saya yang berbeda keyakinan dengan saya bertanya satu hal, “Putu, kamu itu orang yang berkasta apa sih ?”. Apa reaksi saya ketika mendapat pertanyaan seperti itu ? saya dengan polosnya menjawab, “wah, saya tidak tahu”, lalu dia berkata, “lho..? kok bisa begitu ?” dan saya pun menjawab, ”iya, karena saya sudah hampir 9 tahun menimba ilmu di sebuah Pasraman, tapi saya tidak pernah mendapat ajaran mengenai kasta, tetapi yang saya dapat adalah Catur Warna”. Mendengar pernyataan saya tersebut dia kembali bertanya, “oh begitu ? apa kamu bisa jelaskan kepada saya seperti apa Catur Warna itu ?”. Mendengar permintaan sahabat saya itu, saya sungguh tertarik untuk menjelaskan, namun apa yang saya jelaskan kepadanya itu hanya sebuah OPINI saya tanpa menghilangkan esensi ajaran Catur Warna itu sendiri. Ketika membicarakan sebuah opini, maka pastinya belum tentu berlaku bagi pemikiran orang lain, namun itulah indahnya kehidupan yang penuh dengan perbedaan.
             

              Secara umum pengertian Catur Warna itu sendiri adalah penggolongan masyarakat berdasarkan pekerjaannya. Empat golongan yang dimaksud antara lain:
·   Brahmana: yaitu golongan rohaniawan, seperti pendeta, guru agama ataupun pemuka agama.
·   Ksatria: yaitu golongan masyarakat yang menggerakkan roda pemerintahan, pelindung masyarakat seperti pejabat negara, birokrat, gubernur, bupati, polisi ataupun tentara.
·   Waisya: yaitu golongan masyarakat yang menggerakkan roda perekonomian, seperti pedagang, pengusaha (wirausahawan) dan sebagainya.
·   Sudra: yaitu golongan masyarakat yang membantu/melayani ketiga golongan di atas.
Secara umum, memang seperti itulah pengertian Catur Warna yang telah diajarkan dalam agama Hindu. Akan tetapi, apabila dilihat secara logika sesungguhnya ajaran Catur Warna memiliki filosofi yang sangat luhur. Filosofi tersebut hendaknya menjadi suatu hakikat bagi manusia hindu. Dengan kata lain, filosofi Catur Warna merupakan wujud keluhuran agama Hindu.
              Seperti apakah filosofinya? sebagai manusia Hindu, hendaknya kita menjadikan ajaran Catur Warna sebagai bagian dari diri kita. Maksudnya adalah keempat unsur Catur Warna itu hendaknya selalu ada di dalam diri setiap manusia. Hal ini dikarenakan agar terciptanya keseimbangan bagi kehidupan manusia. Dengan tidak adanya batasan antar keempat unsur tersebut, maka itulah hakikat manusia Hindu yang luhur. Dalam hal menjelaskan filosofi ini, dapat dilihat dalam contoh kasus sehari-hari.
              Contoh yang paling sederhana adalah peran seorang Ayah. Untuk menjalankan roda rumah tangga agar terus dapat berputar dengan baik, filosofi Catur Warna hendaknya selalu ditanamkan oleh seorang ayah. Pertama, seorang ayah harus mampu membangkitkan peran Brahmana di dalam dirinya yaitu dengan cara memberikan contoh kepada istri dan anak-anaknya dalam hal Sembahyang. Selain itu pula seorang ayah juga harus, mampu mengajarkan anak-anaknya untuk sembahyang serta menjelaskan berbagai ajaran agama kepada anak-anaknya. Mengapa demikian? karena peran tersebut tidak hanya dilakukan oleh para guru agama, melainkan seorang ayah juga harus mampu menjalankan peran tersebut. Kedua, seorang ayah juga harus mampu menjalankan peran Ksatria. Seorang ayah harus mampu menjadi pemimpin yang baik dalam keluarga. Sebuah keluarga tentunya memiliki tujuan yang baik, yaitu menjadi keluarga yang berbahagia, maka di sinilah jiwa kepemimpinan sang ayah harus terus dibangkitkan agar roda rumah tangga terus berputar di jalan Dharma. Ketiga, seorang ayah juga harus menjalankan peran Waisya dengan cara mengatur roda perekonomian keluarga sebaik-baiknya. Seorang ayah harus bijaksana dalam mengatur keuangan keluarga, agar perekonomian keluarga tidak akan terputus sehingga mempu menjadikan keluarga yang sejahtera. Keempat, peran terakhir adalah Sudra  di mana seorang ayah harus juga mampu melayani berbagai kebutuhan atau kepentingan istri dan anak-anaknya. Umumnya, orang-orang awam menganggap “rendah” warna Sudra, tapi justru peran Sudra sangatlah vital bagi diri seseorang. Warna sudra akan menjadikan seseorang jauh dari rasa egois atau mementingkan diri sendiri. Peran Sudra sebenarnya secara filosofi adalah bentuk lain dari kalimat “manusia adalah makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan”.
              Dari contoh sederhana di atas, sebenarnya kita dapat menyimpulkan secara global filosofi ajaran Catur Warna yang seharusnya diterapkan sebagai hakikat manusia Hindu. Sebagai manusia Hindu, hendaknya kita selalu menjunjung ajaran-ajaran Dharma, caranya cukup sederhana yaitu kita mempelajari dan meng-implementasikan ajaran-ajaran agama Hindu, menjalankan sembahyang, dan lain sebagainya. Selain itu kita harus membangkitkan jiwa kepemimpinan kita, terutama dalam memimpin diri sendiri (Lead Yourself). Kemampuan dalam memimpin diri sendiri itu sangat besar pengaruhnya terhadap jalan kehidupan kita. Yang paling sederhana adalah minimal kita mampu memimpin diri kita agar kita jauh dari sifat-sifat buruk/sifat yang harus dijauhi. Selain itu kita juga harus mampu mengatur kebutuhan jasmaniah kita seperti kita harus mampu mengelola keuangan sesuai dengan yang kita butuhkan, bijaksana dalam menggunakan uang agar terwujudnya hidup yang sejahtera. Dan yang terakhir, kita tidak boleh bersikap egois atau mementingkan diri sendiri, karena kita juga harus turut membantu orang lain yang membutuhkan kita serta mampu melayani orang lain.
              Demikianlah kiranya, agar tidak mengkotak-kotakkan ajaran Catur Warna, hendaknya filosofi bahwa Catur Warna adalah Warna di dalam setiap diri manusia harus terus ditanamkan agar terwujudnya keseimbangan hidup secara jasmani dan rohani. Apabila salah satu Warna tidak dijalankan, maka tentunya terjadi ketidakseimbangan hidup dan menurut saya hal itu harus dihindari. Menjadi manusia Hindu yang religius, mampu menetapkan arah kehidupan yang baik, mampu secara bijaksana mengatur kebutuhan duniawi serta mampu melayani dan membantu orang banyak merupakan bentuk-bentuk lain dari hakikat manusia Hindu sesungguhnya.


Ikang Dharma Inaranan Widhi…
Dharma Raksatih Raksitah…
Satyam Eva Jayate…

Om Shanti, Shanti, Shanti Om…
Oleh: Ngk Purnaditya (Mahasiswa Teknik Sipil Angkatan 2008)

Resensi Buku: Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali



M
Judul Buku        : Dinamika Masyarakat
                          dan Kebudayaan Bali
Penulis             : I Gde Pitana (Editor)
Penerbit            : BP
Tebal Buku        : 186 + xv
Bagian Kedua    : Dinamika Manusia Bali
(Manusia Bali di Persimpangan Jalan
Oleh Nyoman Naya Sujana)

 
Manusia Bali saat ini berada di tengah perubahan sosial dan budaya, serta berhadapan dengan arus globalisasi yang deras dan intensif, yang diperkirakan akan meruntuhkan manusia dan kebudayaan Bali. Keseimbangan sistem nilai mulai terguncang, struktur sosial mengalami tantangan berat, dan manusia Bali mengalami proses perubahan-perubahan internal yang mencemaskan. Posisi manusia Bali dalam realitas empiris sangat berbeda dengan realitas normatif. Kini manusia Bali menghadapi tantangan yang berat dan kompleks, dalam masyrakat dan kebudayaan yang sedang berubah. Maka salah satu persyaratan yang harus dimiliki adalah iman (sraddha) yang mantap. Manusia Bali memiliki budaya mengendalikan diri yang sangat tinggi dan mendalam.
Manusia Bali adalah manusia etnis Bali, yaitu sekumpulan orang-orang yang mendiami pulau Bali, yang memiliki kesadaran tentang kesatuan budaya Bali, bahasa Bali dan kesatuan Agama Hindu yang membuat etnis Bali memiliki emosi etnosentris kebalian relatif lebih kuat, yang memiliki karakter dan sifat manusia Bali yang dianggap dominan adalah terbuka, ramah dan luwes, jujur, kreatif dan estetis, kolektif, kosmologis, religius, dan moderat.
Manusia Bali memiliki keyakinan ajaran agama yang kompleks dan memiliki struktur sosial dalam bentuk kasta, maka manusia Bali selalu diharapkan memiliki sifat potensial dalam menghadapi persaingan yang ketat, karena itu manusia diharapkan memiliki sifat yang dikenal dengan sifat jengah. Hal ini yang menjadi ciri budaya manusia Bali yang unik dan memiliki sifat patrilineal yaitu memposisikan nilai lebih laki-laki lebih bermakna dan lebih tinggi daripada posisi dan nilai-nilai perempuan. Dari perspektif mikro manusia Bali memiliki sifat multi-dimensional antara lain sebagai manusia religius, manusia budaya, manusia sosial, manusia simbolis, manusia estetis, manusia politis, dan manusia ekonomis.
Manusia Bali tradisi bertolak dari teori sosial bahwa manusia pada awalnya melakukan aktivitas kreatif dan aktivitas yang kontinu untuk menciptakan masyarakat dan kebudayaan. Sekarang masyarakat dan kebudayaan mem-pengaruhi dan menentukan manusia lewat nilai-nilai (baik dan buruk). Kebudayaan Bali telah berfungsi secara aktif memenuhi segala kebutuhan manusia Bali.
Sedikitnya terdapat 15 proses sosial dan budaya yang menghanyutkan, bahkan menenggelamkan manusia Bali, di antaranya pada point 3 yaitu proses estetik klasik menuju estetik modern, manusia Bali mengalami improvisasi dan modernisasi. Point 4 adalah proses budaya klasik yang spiritual menuju budaya pasar yang menipiskan sikap kebaliannya dengan menyontoh produk luar. Lingkungan sosial dan budaya tradisi telah membentuk dan mempengaruhi sifat, sikap dan perilaku manusia Bali.
Guncangan menuju akar budaya. Untuk memahami guncangan yang ditimbulkan oleh proses sosial dan budaya menuju akar-akar budaya Bali, memakai pendekatan falsifikatif. Ada fenomena sosial yang dianggap mengancam dan mengarahkan kepada akar budaya Bali, antara lain munculnya peralihan batiniah, dalam kasus semakin banyak manusia Bali beralih ke agama baru.
Manusia Bali dihadapkan persoalan dilematis bahwa ada keinginan mempertahankan akar budaya yang total yang bernafaskan religius tetapi di pihak lain ingin membangun kebudayaan industri yang mengutamakan sains dan teknologi. Maka diperlukan kewaspadaan dari setiap manusia Bali untuk mengantisisipasi perubahan.
Dalam perkembangan berikutnya generasi muda Hindu telah memiliki kegairahan untuk merekonstruksi budaya dan adat Bali, serta melakukan revitalisasi dalam pemahaman dan penghayatan Agama Hindu, karena Agama Hindu merupakan unsur budaya universal yang menjadi jiwa (spirit) dari kebudayaan Bali.
Mendambakan manusia Bali modern yang memiliki sikap optimistis untuk menatap masa depan yang lebih pasti, mampu meng-akomudasikan kebudayaan Bali dan memiliki kemantapan hati dan iman akan mencapai tahapan kehidupan sejahtera yang penuh keseimbangan.


Analisis


Ulasan dari manusia Bali di persimpangan jalan secara gamblang menjelaskan manusia Bali dan sekaligus membandingkan manusia dulu dan sekarang (saat buku ini ditulis). Akan tetapi yang menjadi persoalan dan sekaligus pertanyaan adalah: Apakah manusia Bali saat ini dengan delapanbelas tahun yang lalu yaitu pada tahun 1994 pada saat buku ini ditulis masih sama orientasi pemikirannya, karena pada dasarnya manusia dalam hidupnya memiliki sifat dinamis yang selalu berubah.
Dari uraian yang tersurat dalam buku tersebut tampak penulis bersikap pesimistis dalam mengamati perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia Bali. Ini tampak jelas seperti pada halaman 45. Pada bagian pendahuluan disebutkan bahwa manusia Bali kini berada di tengah perubahan sosial dan budaya, atau di bawah pergeseran struktur sosial, dan berhadapan dengan arus globalisasi yang deras dan intensif, yang diperkirakan akan meruntuhkan manusia Bali dan kebudayaan Bali. Akan tetapi pada bagian lain dikatakan bahwa manusia Bali transisi masih tetap berpedoman pada akar budaya dan agamanya. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat I Gusti Ngurah Bagus dalam epilognya (hal. 177), jika manusia Bali tetap berdasar pada faktor sistem nilai budaya yang dimiliki lewat gagasannya sikap optimis yang dipancarkan karena akan mampu meredam goncangan dengan berbagai permasalahan yang dihadapi dan terwujudnya manusia Bali modern.
Manusia Bali memiliki budaya pengendalian diri yang sangat kuat serta mendalam yang tercermin lewat mantra-mantra suci, sayangnya hal ini berdasarkan kenyataan yang dimiliki oleh seluruh manusia Bali kemungkinan hanya sebagian dari manusia Bali yang memiliki budaya tersebut. Hal ini diperkuat pula dalam buku Perempuan Bali Kini, (Suryani, 2003: 7), bahwa dari pariwisata selain mempunyai dampak positif juga dampak negatif, terbukti dengan banyak anak-anak muda pergi ke diskotik, meminum minuman beralkohol, karena mereka ingin dianggap sebagai orang modern, mengkonsumsi narkoba tanpa takut akibatnya, dalam pemahaman sex sudah mulai bergeser.
Salah satu ciri manusia Bali adalah memiliki kesadaran terhadap ajaran yang termuat dalam kitab suci Agama Hindu. Dalam kenyataannya tidak demikian karena agama yang dipeluk oleh manusia Bali sama dengan agama yang dipeluk masyarakat di luar Bali. Ini sebenarnya bertolak belakang dengan pernyataan bahwa menurut pendekatan antropologis “manusia Bali” adalah sekumpulan orang-orang yang mendiami suatu wilayah tertentu, khususnya pulau Bali (hal. 48). Dalam buku Bali Tikam Bali dinyatakan orang Bali kalau diomongin semakin asyik. Ia merupakan sumber pembicaraan, pusat pembahasan tiada habis, semakin ditelusuri kian menggugah tambah membuat kita tak hendak melepaskannya. Menelusuri liku-liku manusia Bali seperti mengikuti alur yang membelit bercabang-cabang seperti lorong yang nyata, namun tak jelas ke mana ujungnya, atau mereka memang etnik yang tak punya akhir (Soetama, 2004: 51). Maka hendaknya dalam ciri tersebut ditambahkan kata mayoritas sehingga menjadi mayoritas beragama Hindu.
Ciri yang dominan manusia Bali di antaranya ramah dan luwes. Dalam kenyataannya secara empirik dari keramahan manusia Bali akan dapat merugikan diri sendiri karena masyarakat dari etnis lain semakin ramai memadati tempat strategis dalam segala bidang. Yang akan terjadi manusia Bali akan tersingkir, yang hanya menempati tempat-tempat pinggiran seperti pengalaman-pengalaman sejarah yang telah membuktikannya. Disatu sisi budaya ramah manusia Bali yang sering diekspresikan lewat ajakan atau tawaran seolah-olah terkesan basa-basi dalam pergaulan.
Pada guncangan-guncangan yang menuju pada akar budaya, disebutkan ada 7 fenomena sosial yang dianggap mengancam. Seperti pada point 3 (hal. 63), bahwa berdasarkan kasus yang menonjol makin banyak manusia Bali beralih ke agama baru. Hal ini yang perlu lebih dahulu disepakati dalam pembahasan ini adalah agama baru atau aliran kepercayaan. Karena menurut hemat saya bahwa antara agama dan aliran kepercayaan ada sedikit perbedaan, walaupun keduanya ada persamaan dalam hal keyakinan. Di Indonesia hanya ada 5 agama yaitu: Agama Islam, Agama Kristen Katolik, Agama Kristen Protestan, Agama Hindu, dan Agama Buddha. yang diakui oleh pemerintah, sehingga selain tersebut di atas termasuk dalam aliran kepercayaan yang mengatasnamakan serpian-serpian dari agama tertentu. Memang yang terjadi di Bali banyak bermunculan aliran-aliran kepercayaan.
Dari pandangan dan analisis de-kontruksionisme yang mengajak kita untuk mengamati kebudayaan dan dinamikanya, sebagai dicontohkan bahwa bentuk ritus agama kurang dipahami maknanya, serta kesenian sakral yang semakin kehilangan penggemarnya. Sesungguh-nya hal ini tidak perlu dirisaukan karena yang terjadi di lapangan masih banyak manusia Bali yang mampu memahami dan memaknai bentuk ritus bahkan makna dan simbol-simbol tentang Agama Hindu, masih banyak dijumpai dalam upacara-upacara agama misalnya yang me-nampilkan tari sakral, tidak pernah luput dari ramainya masyarakat penonton. Apalagi dengan adanya siaran TV swasta (Bali TV, Dewata TV) misalnya yang selalu menayangkan acara siraman rohani (Agama Hindu) dengan berbagai ulasan yang menarik untuk disimak, maka program tersebut sesungguhnya dapat dipakai untuk menjawab permasalahan tersebut.
Dalam buku Tafsir Kebudayaan (Geertz, 1992: 137), yang mengisiyaratkan bahwa sesungguhnya manusia Bali meskipun pada kelompok minoritas di Indonesia tetapi mereka kuat dengan prinsip, dan tetap mempertahankan agama yang diwarisi dari leluhurnya. Maka dikatakan bahwa manusia Bali tidak mungkin menjadi muslim atau kristen dalam jumlah besar. Karena di mata manusia Bali ini sama artinya dengan berhenti menjadi orang Bali.
Dengan demikian sikap optimis manusia Bali yang mendambakan modern dengan menerima pengaruh budaya luar secara dinamis namun selektif untuk menatap masa depan yang lebih baik dan pasti, mampu mengakomudasikan kebudayaan Bali dan memiliki kemantapan hati dan iman akan mencapai tahapan kehidupan sejahtera atau penuh keseimbangan lahir dan batin akan dapat terwujud.

Dirangkum oleh: Redaksi