Om Swastiastu…
Om Anobadrah Kratevo Yantu Visvatah…
Di suatu ketika, seorang sahabat baik saya yang berbeda keyakinan
dengan saya bertanya satu hal, “Putu, kamu itu orang yang berkasta apa sih ?”.
Apa reaksi saya ketika mendapat pertanyaan seperti itu ? saya dengan polosnya
menjawab, “wah, saya tidak tahu”, lalu dia berkata, “lho..? kok bisa begitu ?”
dan saya pun menjawab, ”iya, karena saya sudah hampir 9 tahun menimba ilmu di
sebuah Pasraman, tapi saya tidak pernah mendapat ajaran mengenai kasta, tetapi
yang saya dapat adalah Catur Warna”.
Mendengar pernyataan saya tersebut dia kembali bertanya, “oh begitu ? apa kamu
bisa jelaskan kepada saya seperti apa Catur Warna itu ?”. Mendengar permintaan
sahabat saya itu, saya sungguh tertarik untuk menjelaskan, namun apa yang saya
jelaskan kepadanya itu hanya sebuah OPINI
saya tanpa menghilangkan esensi ajaran Catur Warna itu sendiri. Ketika
membicarakan sebuah opini, maka pastinya belum tentu berlaku bagi pemikiran
orang lain, namun itulah indahnya kehidupan yang penuh dengan perbedaan.
Secara
umum pengertian Catur Warna itu sendiri adalah penggolongan masyarakat
berdasarkan pekerjaannya. Empat golongan yang dimaksud antara lain:
·
Brahmana: yaitu golongan rohaniawan, seperti pendeta, guru agama
ataupun pemuka agama.
·
Ksatria: yaitu golongan masyarakat yang menggerakkan roda
pemerintahan, pelindung masyarakat seperti pejabat negara, birokrat, gubernur,
bupati, polisi ataupun tentara.
·
Waisya: yaitu golongan masyarakat yang menggerakkan roda perekonomian, seperti pedagang, pengusaha
(wirausahawan) dan sebagainya.
·
Sudra: yaitu golongan masyarakat yang membantu/melayani ketiga
golongan di atas.
Secara umum, memang seperti itulah pengertian Catur Warna yang telah diajarkan
dalam agama Hindu. Akan tetapi, apabila dilihat secara logika sesungguhnya
ajaran Catur Warna memiliki filosofi yang sangat luhur. Filosofi tersebut
hendaknya menjadi suatu hakikat bagi manusia hindu. Dengan kata lain, filosofi
Catur Warna merupakan wujud keluhuran agama Hindu.
Seperti apakah
filosofinya? sebagai manusia Hindu,
hendaknya kita menjadikan ajaran Catur Warna sebagai bagian dari diri kita.
Maksudnya adalah keempat unsur Catur Warna itu hendaknya selalu ada di dalam
diri setiap manusia. Hal ini dikarenakan agar terciptanya keseimbangan bagi
kehidupan manusia. Dengan tidak adanya batasan antar keempat unsur tersebut,
maka itulah hakikat manusia Hindu yang luhur. Dalam hal menjelaskan filosofi
ini, dapat dilihat dalam contoh kasus sehari-hari.
Contoh yang paling
sederhana adalah peran seorang Ayah. Untuk menjalankan roda rumah tangga agar
terus dapat berputar dengan baik, filosofi Catur Warna hendaknya selalu ditanamkan
oleh seorang ayah. Pertama, seorang ayah harus mampu membangkitkan peran Brahmana di dalam dirinya yaitu dengan
cara memberikan contoh kepada istri dan anak-anaknya dalam hal Sembahyang.
Selain itu pula seorang ayah juga harus, mampu mengajarkan anak-anaknya untuk
sembahyang serta menjelaskan berbagai ajaran agama kepada anak-anaknya. Mengapa
demikian? karena peran tersebut tidak hanya dilakukan oleh para guru agama,
melainkan seorang ayah juga harus mampu menjalankan peran tersebut. Kedua,
seorang ayah juga harus mampu menjalankan peran Ksatria. Seorang ayah harus mampu menjadi pemimpin yang baik dalam
keluarga. Sebuah keluarga tentunya memiliki tujuan yang baik, yaitu menjadi
keluarga yang berbahagia, maka di sinilah jiwa kepemimpinan sang ayah harus
terus dibangkitkan agar roda rumah tangga terus berputar di jalan Dharma. Ketiga,
seorang ayah juga harus menjalankan peran Waisya
dengan cara mengatur roda perekonomian keluarga sebaik-baiknya. Seorang ayah
harus bijaksana dalam mengatur keuangan keluarga, agar perekonomian keluarga
tidak akan terputus sehingga mempu menjadikan keluarga yang sejahtera. Keempat,
peran terakhir adalah Sudra di mana seorang ayah harus juga mampu melayani
berbagai kebutuhan atau kepentingan istri dan anak-anaknya. Umumnya, orang-orang
awam menganggap “rendah” warna Sudra, tapi justru peran Sudra sangatlah vital
bagi diri seseorang. Warna sudra akan menjadikan seseorang jauh dari rasa egois
atau mementingkan diri sendiri. Peran Sudra sebenarnya secara filosofi adalah
bentuk lain dari kalimat “manusia adalah
makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan”.
Dari contoh sederhana di
atas, sebenarnya kita dapat menyimpulkan secara global filosofi ajaran Catur
Warna yang seharusnya diterapkan sebagai hakikat manusia Hindu. Sebagai manusia
Hindu, hendaknya kita selalu menjunjung ajaran-ajaran Dharma, caranya cukup
sederhana yaitu kita mempelajari dan meng-implementasikan ajaran-ajaran agama
Hindu, menjalankan sembahyang, dan lain sebagainya. Selain itu kita harus
membangkitkan jiwa kepemimpinan kita, terutama dalam memimpin diri sendiri
(Lead Yourself). Kemampuan dalam memimpin diri sendiri itu sangat besar
pengaruhnya terhadap jalan kehidupan kita. Yang paling sederhana adalah minimal
kita mampu memimpin diri kita agar kita jauh dari sifat-sifat buruk/sifat yang
harus dijauhi. Selain itu kita juga harus mampu mengatur kebutuhan jasmaniah
kita seperti kita harus mampu mengelola keuangan sesuai dengan yang kita
butuhkan, bijaksana dalam menggunakan uang agar terwujudnya hidup yang
sejahtera. Dan yang terakhir, kita tidak boleh bersikap egois atau mementingkan
diri sendiri, karena kita juga harus turut membantu orang lain yang membutuhkan
kita serta mampu melayani orang lain.
Demikianlah kiranya,
agar tidak mengkotak-kotakkan ajaran Catur Warna, hendaknya filosofi bahwa
Catur Warna adalah Warna di dalam setiap diri manusia harus terus ditanamkan
agar terwujudnya keseimbangan hidup secara jasmani dan rohani. Apabila salah
satu Warna tidak dijalankan, maka tentunya terjadi ketidakseimbangan hidup dan
menurut saya hal itu harus dihindari. Menjadi manusia Hindu yang religius, mampu menetapkan arah kehidupan yang baik, mampu
secara bijaksana mengatur kebutuhan duniawi serta mampu melayani dan membantu
orang banyak merupakan bentuk-bentuk lain dari hakikat manusia Hindu
sesungguhnya.
Ikang Dharma Inaranan Widhi…
Dharma Raksatih Raksitah…
Satyam Eva Jayate…
Om Shanti, Shanti, Shanti Om…
Oleh: Ngk Purnaditya (Mahasiswa Teknik Sipil Angkatan 2008)