Sabtu, 12 Januari 2013

Resep Bli I Gusti Putu Artha



Ada pertanyaan menggelitik yang menarik diajukan kepada seorang I Gusti Putu Artha. Bagaimana rahasia ia yang awalnya seorang mahasiswa miskin lalu bisa melesat menjadi tokoh nasional dan kini hidup relatif mapan? Kiat-kiat apa yang dikembangkannya ketika mahasiswa sehingga memampukannya seperti sekarang? Berikut resepnya yang disajikan dengan gaya saya.

Saat ini saya percaya bahwa kampus sejati itu adanya di masyarakat. Jika mahasiswa menimba ilmu di kampus hari ini, semata-mata agar bisa membuat pancing. Namun pancing itu harus diolah, dikreasi dan dicarikan danau yang penuh ikannya, serta cukup konsentrasi memancing. Itu ada di masyarakat. Maka, saya juga percaya bahwa benar kata sebuah kata bijak, sukses seseorang ditentukan 10 persen kecerdasan, selebihnya (90 persen) adalah kerja keras!
Karena itu, selagi mahasiswa, hemat saya mesti menyiapkan diri untuk bisa membuat pancing memiliki kemampuan untuk memancing. Seluruh kapasitas kecerdasan di-kembangkan, baik kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual. Seluruh dimensi kecerdasan itu memegang peran penting sama besarnya.
Kecerdasan intelektual di-kembangkan dengan serius belajar. Boleh bolos kuliah tapi tak boleh tak serius belajar. Malah, jangan hanya puas ceramah dosen namun terus mengasah diri dengan melahap sumber-sumber bacaan lain. Ke-cerdasan intelektual dikembangkan dengan rajin berdiskusi dan menulis. Ya menulis di Koran, di blog, di facebook dan menulis makalah. Semua ini merangsang kecerdasan intelektual.
Kecerdasan emosional dan sosial dikembangkan dengan ikut berorganisasi. Pilihlah organisasi yang mampu mengasah kualitas kepemimpinan, komunikasi, keterampilan sesuai dengan bidang yang ditekuni dan mengenalkan dengan jaringan baru. Melalui keseriusan berorganisasi, tak hanya keterampilan teknis yang dilatih (bisa membuat surat, melobi orang, bernegosiasi, dan lain-lain) namun kepekaan batin, rasa peduli dan kesetiakawananan dikembangkan. Mahasiswa akan dilatih menjadi mahasiswa yang bisa menghargai sesama, peka terhadap masalah orang lain, memiliki etos kerja yang tinggi, dan optimis yang kuat.
Kecerdasan spiritual dilatih dengan ikut bergabung ke FPMHD bagi yang beragama Hindu. Kualitas spiritual akan diasah terus dan komitmen moralitas kita soal kejujuran, kebenaran dan cinta kasih kepada sesama akan dikembangkan. Kelak kualitas spiritual yang tangguh ini akan menjadi benteng terakhir betapapun rapuhnya kecerdasan sosial dan intelektual kita. Mereka yang memiliki kecerdasan spiritual yang baik akan mampu bertahan dalam performa integritas yang diakui publik.
Tatkala mengembangkan diri di organisasi mahasiswa itulah, saya menyarankan agar perkawanan dan jaringan terus dilatih dan di-kembangkan. Ketika menjadi panitia kegiatan, maka bersahabatlah dengan hangat dengan para donator berbagai instansi dan swasta yang biasa membiayai kegiatan kita. Kelak merekalah modal kawan kita untuk berbisnis saat tamat nanti. Jangan Cuma puas berteman dengan kawan-kawan satu agam. Bertemanlah lintas agama, lintas etnis dan berskala nasional bahkan internasional. Rawat betul jaringan perkawanan itu. Pada saatnya nanti jaringan perkawanan itulah yang akan membantu kita melesat bersama-sama di pentas nasional.
Pengalaman saya masuk KPU Pusat tak lepas dari jaringan perkawanan yang saya bangun zaman mahasiswa dengan kawan-kawan di UI, UGM, ITB dan kampus lainnya. Begitu peluang terbuka, jaringan perkawanan yang lebih dulu masuk Jakarta inilah yang ikut membantu secara total dalam hal akses politik. Begitu pula dalam konteks bisnis, jaringan inilah yang akan me-ngembangkan bisnis kita. Karena itu kata kucinya, rawatlah jaringan selagi muda dan perbesar terus!

Sepak Terjang Bli I Gusti Putu Artha (Alumni Sekaligus Salah Satu Pendiri FPMHD-Unud)



Nama I Gusti Putu Artha tentu tak asing lagi. Ia selalu muncul di Metro TV atau TVOne sepanjang 2008-2011 lalu. I Gusti Putu Artha, SP M.Si, anggota KPU Republik Indonesia 2007-2012 ternyata perintis kelahiran Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Udayana. Tahukah Anda, betapa kehidupan masa mahasiswanya dari nol? Keras, mandiri, penuh perjuangan dan tantangan. Ia bahkan pernah hidup dengan uang Rp 500,- selama sepekan.  Empat tahun tinggal di asrama mahasiswa dan mencari uang sendiri untuk biaya kuliahnya. Bagaimana suka duka mahasiswanya.


L
elaki muda ini menginjakkan kaki di Denpasar, 14 Juli 1985.  Artha, yang baru lulus SMA Negeri 1 Singaraja, mesti segera mendaftarkan diri. Ia diterima tanpa testing (jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan) di Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Di kelasnya, III IPA 1, dari 45 orang hanya 2 orang yang tak lolos PMDK. Ia ingat betul, 10 kawannya diterima di ITB, 6 di FK Unud, 3 di IPB dan 4 di UI. Selebihnya di berbagai kampus di Unud, Unibraw, Unair dan UGM.
Kenapa Artha memilih Fakultas Pertanian Unud? “Saya tak punya biaya kuliah,’’ katanya saat menceritakan masa lalunya beberapa waktu lalu. Ia memilih kuliah di Bali saja agar tak mahal. Karena ia jurusan IPA, ia memilih FP Unud yang saat itu memang sedang naik daun.
Pada tahun  pertama, ia indekos di Jalan Alor Nomor 10 Denpasar—di sebuah kamar yang amat sederhana. Harga kontrak Rp 100 ribu per tahun. Kamar-kamar lainnya Rp 175 ribu per tahun. Kamarnyalah yang paling sederhana: kecil, pojok dan dekat sumur. Namun ia melakoninya dengan senyum. Tiap hari ia berjalan kaki ke kampus Sudirman.
Karier perintis dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Mekar SMA 1 Singaraja dimulai dengan menjadi Koordinator Tingkat. Lalu ia dipilih menjadi Ketua Kelompok Diskusi Pancasila. Merangkak menjadi Ketua Bidang I BPM Fakultas Pertanian Unud dan memimpin Pers Kampus Akademika Unud. Puncak karier kemahasiswaaannya adalah tatkala menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa Unud pada tahun 1991 – Ketua pertama era pasca NKK/BKK. Di level ekstra kampus, Artha pernah menjadi Ketua Bidang Politik DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), lalu menjadi pengurus pleno KNPI Bali dan menjadi salah satu penggagas Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) tingkat nasional. Ia pun merintis lahirnya Majalah Khlorofil Fakultas Pertanian Unud dan juga membidani kelahiran Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Udayana.
  Mahasiswa Melarat
          Karier organisasi kemaha-siswaannya yang cemerlang itu diraihnya dengan kenyataan bahwa ia tergolong mahasiswa melarat. Sempat setahun kos sederhana, pada tahun selanjutnya ia mesti tinggal di Asrama Mahasiswa yang saat itu masih sederhana bangunannya. Satu los dihuni delapan orang. Satu tempat tidur bertingkat. Satu orang di bawah satu di atas. Ada empat kamar tidur dalam tiap los. Jika makan cukup dengan menyetor beras ke ibu asrama lalu membeli lauk seadanya.
          Ia tinggal di asrama mahasiswa karena memasuki semester III, orangtuanya jatuh miskin. Usaha jual beli buah jeruk bangkrut karena saat itu jeruk terserang penyakit CVPD. Ia sendiri sempat stress berat, tak keluar kamar hampir tiga hari gara-gara keuangan keluarganya morat marit. Ia masih bersyukur karena kakak perempuannya (kini PNS di sebuah sekolah) diterima jadi kasir di salah satu toko di Singaraja. Kakaknyalah yang sedikit banyak membantu keuangan bulanannya, walau tak cukup. “Saya ingat betul saat itu saya cuma punya baju empat, celana panjang 2, sepatu satu pasang,’’ kenangnya.
          Ada sejumlah kenangan prihatin yang masih membekas pada lulusan cumlaude  Program Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana ini. Pernah suatu ketika, pada akhir bulan, uangnya cuma tinggal Rp 500,- Ia berfikir keras agar bisa hidup seminggu dengan uang seminim itu. Akhirnya, ia pun membeli sayur kol yang rusak dan dapat empat buah. Ia buang bagian-bagian daun kol yang  rusak, lalu tiap hari selama sepekan ia masak sayur kol saja untuk menemani nasi putih  yang sudah didapatnya di asrama. Cabai dipetiknya di depan asrama.
          Pernah pula, suatu ketika, karena tak punya motor, ia naik bemo kota ke Gelogor menemui temannya. Pulangnya, ia kaget. Sisa uang Rp 150,- untuk ongkos bemo hilang karena kantong celananya bolong. Tak serupiah pun ia punya uang. Terpaksa, bersandal jepit, ia jalan kaki dari Gelogor ke Jalan Hasudin, Diponegoro dan kembali ke asrama. Saat panas matahari sedang terik pula.
          Kenangan lainnya adalah, tiap Minggu pagi ia bersama teman-teman asramanya lari pagi sambil mandi ke pantai Sanur. Nanti saat pulang, ia dan kawan-kawannya mencegat truk yang mengangkut pasir. Ikut naik dan turun di simpang empat Kimia Farma. Selalu begitu tiap Minggu pagi.
*  Mahasiswa Mandiri
Sadar kiriman uang dari Singaraja mulai tersendat, ia pun berfikir keras untuk mandiri. Ia sadar punya talenta jurnalistik karena mantan aktifis pers sekolah. Mulailah ia menggeluti pers kampus dan menulis di sana. Lumayan ia dapat honor Rp 6000,- Ia juga mencoba peruntungan menjadi penulis lepas di Koran Pedesaan Bali Post Minggu, Nusa Tenggara Minggu dan Mingguan Karya Bhakti. Lelaki yang menamatkan S2 nya dalam tempo 1,5 tahun ini, menarget dirinya tiap pekan agar bisa menulis di ketiga koran itu. Dari honor bulanan di tiga koran itulah, ia mulai bisa mengongkosi kebutuhannya sehari-hari. Namun belum bisa menabung.
Naluri bisnisnya mulai tumbuh. Ia mencoba kerja sampingan, sembari jadi wartawan juga marketing percetakan. Ia menawarkan barang-barang cetakan, kalender dan lain-lain ke sekolah-sekolah, kampus dan instansi lainnya.  Dari usaha inilah ia mulai bisa menabung. Pada semester enam, ia bisa membeli sebuah sepada motor GL 100 bekas seharga Rp 700 ribu. Dengan motor ini mobiltasnya mulai meningkat.
Begitulah, ketika kawan-kawan seasrama masih tertidur jam 6 pagi ia telah pergi dan memulai tugasnya sebagai mahasiswa, wartawan lepas, aktifis kampus dan tenaga marketing. Paling cepat pukul 23.00 Wita ia baru pulang ke asrama, mencuci pakaian, dan membuka-buka buku. Karena itulah (yang ini tak usah ditiru) Artha mengakui kalau dirinya selalu memanfaatkan syarat kehadiran minimal 75 persen di ruang kuliah, dengan efektif. Dalam arti, tiap mata kuliah pastilah ia pernah mangkir untuk alokasi berbagai kegiatannya itu sepanjang absennya tak lebih dari 25 persen.
Sadar bahwa bakat sosial dan politiknya lebih menonjol, ia lebih memilih Jurusan Sosial Ekonomi dengan konsentrasi Program Studi Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. “Sebetulnya saya ingin mendaftar kuliah di Fisipol UGM,’’ kenangnya. Namun ia sadar, keluarganya tak punya biaya, karena itu ia tetap bertahan di jurusannya itu. Karena itu, tak heran, ia sama sekali tak punya buku pertanian murni, namun malah perpustakaan pribadinya penuh buku politik, hukum, kajian budaya, komunikasi dan sosiologi.
“Saat dosen mengajar saya tak suka mencatat, namun mendengarkan penjelasan dosen. Nanti kalau mau tes tengah semester barulah saya fotokopi catatan teman perempuan yang biasanya tulisannya bagus-bagus,’’ katanya. Dengan begitu, ia mengaku bisa lebih memahami materi dosen.
  Dari Jurnalis ke Pekerja Politik
          Artha boleh disebut sebagai jurnalis. Sejak SMP – dengan kegiatan Koran dinding hingga tahun 2003—ia menekuni jurnalistik. Sebagaimana dipaparkan di atas, ia mulai aktif terlibat sebagai penulis lepas sejak tahun 1986. Itu dilakoninya hingga 2003 saat ia terpilih menjadi anggota KPU Provinsi Bali. Dari 1986 hingga 2003, karier jurnalistiknya tergolong melesat untuk generasi seusianya. Lama menjadi penulis lepas, ia sempat mengasuh halaman Pedesaan Bali Post, dan Kampus Bali Post Minggu. Setelah itu, ia dipanggil almarhum K. Nadha perintis Grup Bali Post dan diminta ikut menerbitkan Koran Sekolah Wiyata Mandala, dengan status tenaga tetap di lembaga pers terua itu. Lebih-lebih ia diberi fasilitas motor terbaru. Gara-gara menjadi tenaga tetap inilah belakangan Artha agak ogah menyelesaikan skripsinya, walau akhirnya tuntas bahkan hingga S2 pula. Ia diberi jabatan Redaktur Pelaksana Koran Sekolah itu.
Selanjutnya, ia dimutasi ke Harian Bali Post menjadi redaktur halaman nasional sekaligus di lapangan ikut memburu berita politik. Pada tahun 1998, ia bersama Nariana  sekali lagi diminta untuk merintis Koran DenPost dan menjadi redaktur pelaksananya. Sempat beberapa bulan menjadi presenter BaliTV, ia kemudian melepas atribut jurnalisnya dan banting haluan menjadi anggota KPU Bali hingga Oktober 2007 ia terpilih sebagai anggota KPU Pusat yang berakhir 12 April 2012.
 Tiga Kali nyaris Terbunuh
Perjalanan hidupnya yang keras pun dilalui dalam medan pekerjaannya. Lelaki yang zaman mahasiswa gemar berunjuk rasa ini sepanjang hidupnya nyaris tiga kali terbunuh. Dua kali ketika menjadi jurnalis dan sekali tatkala menjadi anggota KPU RI. Saat jadi jurnalis ia dan kawan-kawan wartawan pernah dikejar sekelompok simpatisan parpol di Singaraja dan dikepung dengan senjata tajam. Untung ia berhasil meloloskan diri dengan bantuan sepeda motor orang lain. Kali kedua, ia diserempet orang, hendak dijerumuskan ke got di Jalan Kepundung ketika Koran DenPost gencar memberikan masalah judi togel. Namun ia berhasil selamat. Kali ketiga saat baru menjabat dua hari  di KPU ia dan seorang komisioner lain, dikepung ribuan massa di Maluku Utara. Saat itulah ia punya pengalaman tidur di hotel dijaga panser, empat tentara dan 4 polisi.
Ia kini beristri seorang guru Dra.  Ni Nyoman Meitri dan berputra tiga orang. Anak pertama I Gusti Ngurah Raka Wedatana siswa kelas 10 di SMAN 2 Denpasar, I Gusti Ayu Widya Shanti siswi kelas 8 di SMPN 10 Denpasar dan I Gusti Ayu Wina Pramesti siswi  kelas 3 SD 17 Dauh Puri.
Di sela-sela sebagai jurnalis, Artha terus mengasah naluri binisnya. Ia mengibarkan event organizer Bali Media Agency. Dari usaha inilah ia pada tahun 1994 bisa membeli tanah 200 m2 dan pelan-pelan membangun rumah berlantai dua yang diselesaikannya dalam tempo 6 tahun.  Setelah berhenti di KPU April lalu, Artha mengibarkan bendera Ganesha consulting di Jakarta. Ia menjadi konsultan politik sekaligus menyelenggarakan bisnis MICE dengan pasar dari Aceh sampai Jayapura. Kini ia memilih bolak balik Jakarta Bali. Sepekan di Jakarta berbisnis dan sepekan di Bali bersama keluarga.
Tidakkah ia tertarik ke politik praktis?  “Tiga parpol besar memang berhasrat mengajak saya bergabung,’’ katanya. Namun ia mengaku belum berminat ke parpol karena menyadari betapa dinamika di parpol demikian keras, butuh biaya besar dan konsistensi perjuangan. Ia lebih memilih lima tahun ke depan untuk berwirausaha sembari menyediakan lebih banyak waktu untuk anak-anaknya yang kini beranjak remaja.
Tak berminat memimpin Bali? “Ah…jauh panggang dari api. Mangku Pastika dan Puspayoga masih sehat-sehat dan keduanya masih cukup cakap untuk memimpin Bali. Saya pun tak punya modal apa-apa,’’ katanya merendah.
Yang jelas, perjalanan hidup dan karier seorang I Gusti Putu Artha boleh disebut dari “zero to hero”. Ia mahasiswa “melarat” yang kini jadi hero bagi keluarga besarnya. Ia telah mengharumkan almamaternya Universitas Udayana dan Bali menjadi orang pertama di KPU dan menyelesaikan tugas dengan tanpa cacat. Dan ia telah menyumbangkan tenaga buat bangsanya mengawal Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif, 497 Pemilu Bupati di Kabupaten/kota dan 33 Pemilu Gubernur! Salut..

Tulisan Oleh Redaksi Saraswati