Diceritakan
hiduplah seorang pemburu yang tinggal di puncak gunung. Pemburu itu bernama
Lubdhaka. Penghidupan utamanya adalah dengan cara berburu di tengah hutan.
Berbagai macam hewan diburunya, seperti harimau / mong, babi hutan, gajah dan badak. Suatu pagi, bahkan sebelum
matahari terbit dia sudah pergi menuju hutan belantara untuk berburu, sayangnya
pemburuan hari itu tidak mendapatkan hasil. Di tengah kekecewaannya, Lubdhaka
kemudian mencari sumber mata air, dengan pemikiran bahwa pasti akan ada hewan yang
pergi kesana untuk meminum air. Setelah mencari-cari, akhirnya Lubdhaka
menemukan sebuah telaga. Di tepi telaga itu terdapat sebuah pohon Bila yang
rimbun. Lubdhaka pun bersembunyi di sekitar telaga tersebut dan dengan sabarnya
menanti hewan yang akan lewat. Tak terasa senja kemudian mulai menjemput, tak
ada satu pun hewan yang melewati daerah itu, perlahan hari mulai gelap dan
sepi. Kala itu Lubdhaka berpikir untuk bermalam di hutan saja, dan akan pulang
keesokan paginya, padahal sejak pagi dia tidak makan sama sekali. Untuk
menghindari serangan hewan buas, Lubdhaka kemudian memanjat pohon Bila di tepi
telaga itu, dia naik dan duduk di dahan yang menjulur di atas telaga. Malam
kemudian berubah menjadi semakin larut, suasana sangat sepi dan mencekam, Lubdhaka
hingga tidak berkata sepatah kata apapun saking terbawa suasana tersebut. Malam
itu merupakan malam yang paling gelap, sebab bertepatan dengan sehari sebelum
Tilem Magha (Tilem Kapitu). Saat itu, Lubdhaka memetik satu demi satu daun
Bila, dan kemudian dijatuhkannya ke telaga untuk mengusir kantuk dan
menghilangkan ketakutannya. Pada petikan daunnya yang keseratus delapan rupanya
bertepatan dengan tengah malam, sebagai puncak Yoga dari Dewa Siwa. Daun-daun
yang dijatuhkan ke telaga mengenai lingga Dewa Siwa yang muncul dari dalam
telaga.
Keesokan
paginya, Lubhdaka pulang dengan tangan hampa. Berselang beberapa waktu,
Lubdhaka menderita sakit dan akhirnya meninggal. Rohnya dijemput oleh Yamabala
(pasukan Dewa Yama) untuk dihukum di neraka, karena kesalahan dan dosa-dosanya
selama hidup. Di tengah perjalanannya, pasukan itu dihadang oleh pasukan Dewa
Siwa yang ingin membawa Lubdhaka ke Siwa Loka. Roh Lubdhaka diperebutkan oleh
pasukan Dewa Yama dan Dewa Siwa, yang dimenangkan oleh pasukan Dewa Siwa. Mendapati
kejadian itu, Dewa Yama menghadap Dewa Siwa, untuk meminta penjelasan. Dewa
Siwa kemudian menyatakan bahwa Lubdhaka berhak memasuki Siwa Loka karena
tapanya pada saat prawani Tilem Kapitu yang disebut malam Siwa (Siwalatri).
Melalui
cerita ini, sesungguhnya terdapat nilai-nilai luhur yang tersirat. Bukan
berarti hanya dengan begadang dan berpuasa dalam sehari saja semua dosa dapat
dileburkan. Cerita ini sesungguhnya adalah sebuah pengantar yang mesti dikaji
lebih mendalam lagi makna-makna, dan lambang yang tersembunyi di baliknya,
tidak tidur merupakan sebuah simbol agar selalu waspada, dan bisa membedakan
mana yang gelap dan mana yang terang, hakikatnya adalah dari aturu menjadi atutur . Momentum ini hendaknya digunakan untuk introspeksi diri
dan perenungan agar bisa menjadi pribadi yang semakin baik, dan berguna bagi
semua kalangan, umat seyogyanya selalu introspeksi diri, belajar memaknai
kesejatian diri, dan tidak lupa bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Satyam
Eva Jayate !
wahh cerita yang sangat melegenda di bali, penuh dengan values yang bermanfaat bagi kehidupan kita
BalasHapus