Senin, 03 Februari 2014

Perjalanan Siwaratri FPMHD-Unud

Sebelum membahas perjalanan siwaratri yang dilakukan oleh FPMHD-Unud, disini penulis akan memberikan sedikit definisi tentang Siwaratri. Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Umat Hindu di Bali merayakan Siwaratri yang jatuh pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu).  
Sesuai dengan rapat pimpinan sebelumnya, telah disepakati bahwa acara siwaratri pada tahun 2014 ini akan mengadakan tirta yatra dengan rute Sekretariat FPMHD - Kampus Unud Sudirman - Pura Watu Klotok - Pura Silayukti. Rombongan yang ikut tirta yatra kali ini terlebih dahulu kumpul di forum mulai pukul 18.00 WITA. Rombongan yang ikut sebanyak 14 orang. Sebelum berangkat, rombongan melakukan persembahyangan di Sekretariat FPMHD pada pukul 7.30 WITA. Selesai di Sekretariat, persembahyangan dilanjutkan ke Kampus Unud Sudirman. Disini rombongan bertemu dengan alumni FPMHD-Unud. 
Selesai persembahyangan di Padmasana Kampus Unud Sudirman, Rombongan FPMHD Unud mulai berangkat dengan tujuan pertama ke Pura Watu Klotok. Dalam perjalanan ke Pura Watu Klotok, rombongan sempat membantu orang yang mengalami kempes ban motor. Sesampainya di Pura Watu Klotok pada pukul 23.10 WITA, rombongan melakukan persembahyangan. Rombongan FPMHD Unud menemui beberapa masalah saat melakukan persembahyangan di Pura Watu Klotok ini, seperti kurangnya tempat sampah sehingga menyebabkan sampah berserakan di areal pura.
Setelah selesai persembahyangan di Pura Watu Klotok, perjalanan dilanjutkan ke Pura Silayukti. Sampai di Pura Silayukti, pemedek yang tangkil tidak begitu ramai. Sebagian besar dari penduduk sekitar dan nelayan di sekitaran pelabuhan Padang Bay. Persembahyangan di Pura Silayukti bisa dibilang berjalan lancar dikarenakan pemangku masih siaga di pura walau sudah pukul 01.20 WITA. Selesai persembahyangan di Pura Silayukti, rombongan langsung mengakhiri tirta yatra dengan kembali ke Sekretariat FPMHD-Unud.

Sabtu, 04 Januari 2014

Pulau Seribu Perbedaan



Bali terkenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura, Pulau Surga, Pulau Dewata, dll. Diantara sebutan-sebutan tersebut, ada sebutan yang jarang di dengar oleh masyarakat yaitu Pulau Seribu Perbedaan. Mengapa disebut demikian? Perbedaan sudah melekat di setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat di Bali, perbedaan sudah ada sejak jaman agama hindu belum masuk ke Bali.
Tata cara pelaksanaan upacara keagamaan umat hindu di Bali pun berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Adat istiadat dan budaya yang sangat banyak dan sama-sama memiliki keunikan. Mengapa perbedaan sangat kental di Bali? Ini dikarenakan ajaran-ajaran Hindu masuk ke Bali tidak secara bersamaan. Namun, karena kedinamisan dari agama Hindu itu sendiri maka ajaran-ajaran tersebut dileburkan ketika Mpu Kuturan dengan konsep Pura Khayangan Tiga. Meskipun begitu ajaran agama Hindu dalam menjiwai dan memaknai budaya yang telah ada sebelum agama Hindu masuk ke Bali.
Ngejot merupakan kegiatan membagikan makanan kepada tetangga, saudara, sahabat maupun warga lintas agama. Seperti juga ketika lebaran umat islam membagikan sedikit makanan yang dibuatnya dalam merayakan hari besarnya. Tradisi ini sudah berlangsung selama beratus-ratus tahun lamanya. Tradisi ini terjadi di setiap banjar di Bali, ini merupakan bukti sikap toleransi antar agama yang ada di Bali.
Keharmonisan itu sebaiknya tetap dipertahankan karena merupakan kunci untuk mencapai kebahagiaan. Dalam mencapai sebuah keharmonisan dalam agama Hindu ada ajaran Tri Hita Karana. Tri Hita Karana yaitu Tiga penyebab untuk mencapai Kesejahteraan, yang terdiri dari Parhyangan (hubungan Manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan Manusia dengan Manusia) dan Palemahan (hubungan Manusia dengan lingkungan).
Dalam Konsep Tri Hita Karana keharmonisan antara manusia dengan manusia dapat dicapai dengan rasa toleransi. Toleransi tersebut dilakukan dengan cara saling menghargai dan menghormati adanya perbedaan. Selain itu menumbuhkan semangat gotong royong juga sangat penting untuk membentuk masyarakat yang rukun dengan rasa persatuan yang kuat. Ketika toleransi dan kebersamaan di junjung tinggi sebagai sebuah nilai dan implementasi maka harapannya adalah tercapainya keharmonisan yaitu moksartam jagathita ya ca iti dharma.