Oleh: Walhi Bali
Baru-baru ini National Geographic merilis
sebuah laporan tentang kondisi 111 pulau yang menjadi tujuan wisata di
seluruh dunia. Dengan metode panel dari 522 ahli, pulau-pulau tersebut
dinilai dengan 6 kategori yakni: kualitas lingkungan dan ekologi,
integritas sosial dan budaya, kondisi bangunan bersejarah dan situs
arkelogi, daya tarik keindahan, kualitas manajemen wisata dan proyeksi
terhadap masa depan.
Bali,
merupakan salah satu pulau yang dinilai, ternyata menduduki posisi
menengah dalam arti secara umum dikategorikan sebagai pulau yang
beresiko di masa mendatang (Jonathan B. Tourtellot, 2007: 124). Selain
dikarenakan oleh faktor keamanan, dua kali terkena bom, munculnya
penilaian ini juga disebabkan oleh pertumbuhan pariwisata yang pesat
namun tanpa perencanaan yang baik.
Bali Sebagai Satu Kesatuan Bioregion
Bali
termasuk provinsi yang tidak begitu luas dan dikelilingi oleh laut.
Berdasarkan penafsiran para ahli geografis bahwa luas Bali adalah
5.636,66 km2 atau kira-kira seperempat dari luas Pulau Jawa (138.793,6 km²).
Sumber
daya alam yang dimiliki Bali dapat dikatakan beragam mulai dari gunung
dan hutan dengan luas 23,20 % dari luas daratan, 4 buah danau yakni:
Danau Batur, Danau Beratan, Danau Buyan dan Danau Tamblingan, lahan
pertanian, daerah aliran sungai sampai dengan bentangan pesisir
sepanjang 430 km.
Meskipun
Bali tidak begitu luas namun jika dilihat dari jumlah penduduknya, maka
Bali tergolong padat yakni rata-rata 576 jiwa per km2.
Misalnya, sangat mencolok sekali perbedaannya kepadatan penduduk
Propinsi Bali dibandingkan dengan Propinsi Kalimantan Tengah yang
rata-rata hanya 12 jiwa per km2. Menurut Biro Pusat Statistik
(BPS) Bali tahun 2006, jumlah penduduk di Bali tercatat sebanyak
3.263.296 jiwa yang terdiri dari 1.635.415 jiwa (50,12%) penduduk
laki-laki dan 1.627.881 jiwa (49,88%) penduduk perempuan.
Dilihat dari administrasi pemerintahan Propinsi Bali terdiri dari 8
kabupaten dan 1 kotamadya, dan membawahi 53 Kecamatan atau 678 desa.
Dari 678 desa tersebut sebanyak 158 desa letaknya berbatasan dengan laut
(22%), pinggir pantai atau disebut desa pesisir.
Bali dan Industri Pariwisata
Industri
pariwisata di Bali telah dimulai sejak 1924 saat Perusahaan Navigasi
Belanda (Dutch Navigation Company/ KMP) membuka biro perjalanan wisata
di Singapura untuk mempromosikan Bali. Pada periode awal pariwisata ini,
Bali dikunjungi oleh para seniman, peneliti, penulis yang tertarik oleh
penyebaran informasi dan label yang dilekatkan pada Bali tentang
keunikan budaya dan keindahan alamnya. Lewat politik kolonial dan
oparator wisata asing yang mengendalikan sebagian besar industri
pariwisata awal, Bali dipertahankan keunikannya serta diciptakan label
”Pulau Surga” untuk menarik keuntungan dari setiap pengunjung yang
datang.
Politik
ini kemudian dilanjutkan oleh Rejim Orde Baru dibawah Suharto, dengan
membuatkan rencana wilayah untuk mengambil alih eksploitasi potensi Bali
sebagai tujuan wisata. Berbeda dengan Sukarno yang tidak mendorong
pariwisata Bali sebagai sektor utama, Suharto melihat pariwisata justru
sebagai pengembangan ekonomi Bali dan sumber pertukaran asing bagi
Indonesia. Kemudian dimulailah babak baru pengembangan pariwisata Bali
dengan kendali terpusat yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita).
Pariwisata
Bali pun meluas secara pesat dalam 25 tahun, dengan jumlah wisatawan
yang datang ke Bali rata-rata meningkat sekitar 12-15 persen per tahun,
dari 34,147 pada 1971 menjadi 1,306,316 pada 1997. Pertumbungan
signifikan pada pariwisata domestik juga meningkat pada periode ini
dengan kedatangan domestik tumbuh sekitra 5 persen per tahun dan total
700.00 pada 1997. Pengeluaran
total wisatawan di Bali menunjukkan peningkatan. Pada 1985 total
pengeluran wisatawan luar negeri adalah US$198 juta. Sampai 1987
meningkat menjadi US$337 juta dan pada 1990 total pengeluarannya adalah
US$406 juta. Peningkatan ini mendorong pertumbuhan dalam sejumlah
resort, hotel, restaurant, jasa transportasi, pemandu, kerajinan/
pertunjukan, dan berhubungan dengan jasa pariwisata dan fasilitas
(Hassall and Associates, 1992, 3:13).
Alokasi pendanaan publik pada program Repelita berbasiskan pada pendapatan paralel dari pariwisata dan investasi privat. Kemudian
meningkatkan investasi privat untuk sektor hotel dari 30 % pada
Desember 1970 menjadi 81 % pada Juni 1972 (Gerard Francillon: 1975: 23).
Peningkatan secara signifikan investasi privat dalam sektor pariwisata
ini masih terus berlanjut hingga awal 1990-an. Angka resmi menunjukkan
sepuluh kali lipat peningkatan dalam investasi asing dan domestik pada
proyek besar di Bali antara 1987 dan 1988 dari US$17 juta menjadi US$170
juta, hampir dua kali lipat lagi pada 1989-1990 (Pusat Statistik, Bali
1991).
Pola
pembangunan industri pariwisata dengan menggunakan logika investasi
tanpa batas ini kemudian melahirkan berbagai permasalahan bagi Bali.
Sampai 1990 sejumlah permasalahan lingkungan hidup akut berhubungan
dengan pembangunan tersebut banyak diungkap oleh media lokal.
Pertambangan batu karang tanpa aturan untuk pembangunan hotel dan
perluasan airport, abrasi pantai; peningkatan sampah plastik, limbah dan
polusi udara; salinasi pada air bawah tanah; pengambilan air pertanian
untuk dijual ke hotel dan lapangan golf; konversi lahan produktif –
seringkali lewat tekanan dan intimidasi – menjadi fasilitas
pariwisata; dan keterlibatan angkatan bersenjata dan pemerintah dalam
memfasilitasi proyek menjadi topik di halaman depan, karikatur politik
dan surat dari editor pada koran lokal saat itu (Caroll Warren: 1996:
3).
Hal
tersebut belum termasuk dampak sosial-budaya yang harus diterima oleh
masyarakat lokal sebagaimana terjadi pada Rencana Lapangan Golf di
Selasih, Payangan, Kab. Gianyar. Konflik antara petani penggarap tanah
dengan investor PT. Ubud Resort Duta Development yang terjadi sejak 1992
menyebabkan petani penggarap tidak memiliki kejelasan status atas
tanahnya hingga saat ini. Begitu juga yang terjadi pada masyarakat Pulau
Serangan, dan banyak tempat lain di Bali kala itu.
Bali Yang Rapuh
Logika
pertumbuhan ekonomi lewat investasi yang dikonstruksikan oleh Orde Baru
nampaknya diwarisi terus oleh pola pembangunan di Bali hingga saat ini.
Ekspansi industri pariwisata terus menurus
terjadi dan semakin menjadi-jadi seiring berlakunya otonomi daerah.
Lahirnya raja-raja kecil di kabupaten menyebabkan babak baru penjualan
tanah-tanah dan sumber daya alam Bali atas nama mengejar Pendapatan Asli
Daerah (PAD).
Kasus demi kasus yang berkorelasi dengan pengembangan
industri pariwisata pun kembali terjadi menempatkan posisi masyarakat
lokal dan lingkungan hidup semakin terpinggirkan. Sebagai contoh, Kasus
Loloan Yeh Poh di Pantai Berawa, Kabupaten Badung; Kasus Geothermal
Bedugul di Cagar Alam Batukaru; hingga yang paling mutahir Hotel Vita
Life di Wongaya Betan, Penebel dan Villa Pantai Kelating, Kerambitan,
Kabupaten Tabanan; Pengusahaan Pariwisata Alam di Taman Wisata Alam
(TWA) Hutan Dasong Buyan-Tamblingan, Kabupaten Buleleng hingga Hotel dan
Lapangan Golf terbesar di Bali yang rencananya dibangun di Bugbug,
Kabupaten Karangasem. Kesemua proyek tersebut memiliki dampak yang besar
dan penting bagi lingkungan hidup dan tatanan sosial masyarakat Bali.
Pesatnya pertumbuhan pariwisata tanpa mempertimbangkan daya dukung Bali merupakan
faktor yang memperparah permasalahan lingkungan yang telah ada dan
belum terselesaikan. Saat ini, dengan pertumbuhan investasi tidak
terkontrol dan jumlah kunjungan wisatawan sekitar 1, 5 juta orang setiap
tahun terus meningkat, akan membuat Bali semakin terdesak. Jika kita
lihat dari kebutuhan air, setiap kamar hotel membutuhkan air sebanyak
3.000 liter/ hari. Dengan asumsi 1 kamar diisi oleh 2 orang, maka setiap
wisatawan menghabiskan air sebanyak 1.500 liter/ hari/ orang. Jumlah
ini jauh lebih besar dibandingkan dengan pemakian air oleh penduduk Bali
yang hanya 220 liter/ orang/ hari (Data Primer PDAM Denpasar). Maka
tidak mustahil air menjadi barang dagangan karena kebutuhan industri
pariwisata terus meningkat seiring dibangunnya fasilitas-faslitas baru.
Namun permasalahannya air dari subak yang mana lagi akan diambil untuk
dijual ke hotel, villa dan lapangan golf baru tersebut??
Ditengah
menurunnya pasokan air yang disebabkan banyak faktor, salah satunya
adalah perubahan iklim, penjualan air kepada industri pariwisata akan
menambah konflik air dan deretan krisis air ditengah masyarakat. Menurut
laporan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI bahwa defisit air
di Bali telah terlihat sejak 1995 sebanyak 1,5 miliar meter kubik/ tahun. Defisit tersebut terus meningkat sampai 7,5 miliar meter kubik/ tahun pada 2000. Kemudian, diperkirakan pada 2015 Bali akan kekurangan air sebanyak 27,6 miliar meter kubik/ tahun.
Selanjutnya, menurut pengamatan WALHI Bali dari 2006 –
2007 saja sejumlah daerah tercatat mengalami krisis air, antara lain:
Tirta Mas Mampeh di Kintamani, Denpasar, Negara, Batu Agung, Singaraja,
Besakih (Karangasem), Semarapura (Klungkung), dan Nusa Penida. Perosalan
krisis air di Bali juga berdampak pada kehidupan sosial. Krisis air
telah memicu konflik antar petani dengan swasta, petani dengan petani,
petani dengan perusahaan air minum. Beberapa kasus konflik air yang
muncul di media lokal antara lain; Subak Jatiluwih dengan pihak swasta di Jatiluwih, Penebel, Kabupaten Tabanan. Subak Yeh Gembrong dengan perusahaan air minum daerah (PDAM) di Yeh Gembrong, Kabupaten Tabanan. (Kertas Krisis WALHI: 2007:4).
Selain itu permasalahan sumber daya air diatas, masih
banyak permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh maraknya pariwisata
massal di Bali yang akan berakibat pada kerentanan ekologi karena
lingkungan hidup tidak mampu menjalankan fungsi ekologinya. Garis pantai
Bali yang saat ini terabrasi dengan laju 3,7 km pertahun dan 50-100
meter inland, menyusutnya lahan terbuka hijau dan lahan produktif,
pencemaran, sampah, kebisingan. Jika kerentanan-kerentanan ekologi ini
terakumulasi maka akan dapat meledak menjadi bencana ekologi.
Untuk konversi
lahan, kita lihat bahwa di tahun 2004 saja di Kabupaten Badung terjadi
alih fungsi seluas 209,95 Ha dan Denpasar seluas 35,01 Ha (Bappeda
Provinsi Bali: 2005: I-2). Hal ini menyebabkan Badung dan Denpasar
menggantungkan pasokan pangannya dari keluar daerah, seperti Tabanan dan
Gianyar yang selama ini menjadi pemasok pangan terbesar bagi Bali.
Namun pertumbuhan investasi signifikan di Tabanan dan Gianyar yang juga
melakukan konversi lahan produktif, akan menyebabkan menurunnya pasokan
pangan bagi Bali. Pada gilirannya Bali akan mengalami kerentanan pangan
dan menggantungkan semuanya dari luar Bali.
Dari
sudut pandang sosial, ternyata pertumbuhan pariwisata ini tidaklah
berkorelasi pada perbaikan kualitas hidup masyarakat Bali. Malah justru
melahirkan keterasingan-keterasingan karena kehilangan akses terhadap
sumber daya alam dan persaingan hidup yang ketat di sektor pariwisata.
Keterasingan ini banyak terjadi di Bali, salah satunya dialami oleh
masyarakat lokal Nusa Dua yang hanya menjadi penonton ditengah
gemerlapnya industri pariwisata di wilayah mereka (BP, 1 April 2006).
Keterasingan dan kemiskinan akibat persaingan tersebut menyebabkan
kerentanan sosial sehingga berpotensi menimbulkan konflik-konflik
tertutup – mulai dari munculnya indentifikasi seperti orang
lokal-pendatang, bali-jawa, dan lainnya – jika terakumulasi dapat
meledak menjadi bencana sosial.
Moratorium Pariwisata Bali
Bali yang memiliki banyak konsep tradisional, seperti Tri Hita Karana
– menjaga keseimbangan antara spritualitas, hubungan sosial dan ekologi
– saat ini semakin tidak bermakna karena semakin sering diucapkan oleh
pihak-pihak yang justru menjadi komprador penerus eksploitasi Pertiwi
Bali tanpa memikirkan tentang kebutuhan generasi mendatang. Turunan dari
konsep Tri Hita Karana menjadi Nyepi, Tumpek saat ini diartikan hanya sebatas ritual belaka dan gagal diartikulasikan dalam praktek nyata.
Nyepi merupakan filsafat jeda (ngeneng) untuk membangun keseimbangan spritualitas, hubungan sosial dan ekologi. Pada hari Nyepi,
manusia Bali melakukan jeda dari segala aktivitas sehingga memberikan
ruang bagi bumi untuk bernafas dan memperbaiki kerusakan yang
diakibatkan oleh prilaku manusia (ekologi). Dalam jeda tersebut, manusia
Bali melakukan evaluasi atas apa yang telah dilakukannya (spritual) dan
menguatkan ikatannya ke dalam diri, keluarga dan masyarakat (sosial).
Jeda
memberikan arti penting dan sangat diperlukan untuk membangun hubungan
yang lebih harmonis dalam kehidupan. Maka menjedakan pariwisata, sebagai
bagian dari aktivitas ekonomi manusia, juga merupakan keniscayaan.
Karena pariwisata telah sedemikian rupa menyebabkan ketimpangan
sendi-sendi spritual, sosial dan ekologi Bali maka tidaklah cukup hanya
dilakukan dalam satu hari saja, melainkan paling tidak selama lima
tahun.
Moratorium
atau jeda pariwisata Bali merupakan pintu masuk yang harus segara
diambil oleh provinsi ini jika ingin selamat dari bencana ekologi dan
bencana sosial. Moratorium pariwisata Bali dengan jalan menghentikan
sejenak ekspansi investasi pariwisata untuk mengambil jarak dari
masalah, akan dapat mencarikan jalan keluar yang bersifat jangka
panjang, menyeluruh dan permanen.
Saat
moratorium dilaksanakan, aktivitas dan kebijakan akan diarahkan pada
pengkajian dan evaluasi atas pariwisata Bali selama ini, menyusun arah
pembangunan Bali dan menata kembali sendi-sendi sosial budaya dan
lingkungan hidup yang selama ini dikomodifikasikan demi kepuasan para
turis. Dari sisi masyarakat sipil, saat jeda merupakan waktu yang tepat
untuk membangun critical mass (masyarakat yang kritis) untuk
dapat berpartisipasi dalam mewujudkan pengelolaan pertiwi yang lebih
berpihak pada rakyat dan lingkungan hidup.
Jika
tidak dilakukan jeda maka investasi-investasi pariwisata akan terus
meluas, kedepan anak cucu kita hanya akan mendapatkan Bali yang telah
rusak, terkapling-kapling dan terjual habis oleh industri pariwisata. Dan
pasti, anak cucu kita akan menyalahkan kita (generasi saat ini) karena
tidak melakukan apa-apa ketika masih ada waktu untuk menyelamatkan Bali.
Apabila Bali rusak dan tidak layak lagi untuk ditempati maka para turis
dan para ekspatriat dapat saja pulang ke negeri asal mereka, tetapi
kita sebagai masyarakat lokal tidak tahu akan kemana. Karena kita tidak punya bali-bali yang lain.
Source: www.taman65.wordpress.com