Senin, 11 Maret 2013

Penaturan Kitab Suci Hindu Kaharingan

Oleh : Ngurah Nala
Universitas Hindu Indonesia

Agama Hindu sudah berusia ribuan tahun. Diperkirakan telah ada sejak 5 ribu tahun yang lalu. Agama ini mula-mula dianut oleh masyarakat India di sepanjang sungai Sindu. Kemudian ajaranNya menyebar ke seluruh pelosok dunia. Sebagai sebuah agama memiliki pula kitab suci yang bernama Weda. Kitab suci Weda ini terbagi atas dua kelompok besar, yakni kitab Weda, Sruti dan Weda Smerti. Kitab Weda Sruti terbagi lagi atas 3 kelompok, yakni kelompok Kitab Suci Mantra, Brahmana, dan Upanishad. Yang termasuk di dalam kelompok kitab Mantra adalah Kitab Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan Atharwa Weda. Keempatnya sering disebut sebagai kitab suci Catur Weda. Kitab Brabmana terbagi lagi atas kelompok kitab Aitareya, Satapatha, Tandya, dan Gopatha. Sedangkan kitab Upanishad terdiri atas 92 buah kitab. Dan kitab Weda Smerti berkembang menjadi kitab suci Wedangga (Siksa, Wyakarana, Chanda, nirukta, Jyotisa, Kalpa), kitab Upaweda (Itihasa, Purana, Ayurweda, Arthasastra, dll) dan kitab Agama (Brahmanisme, Siwaisme, Waisnawaisme, Saktiisme, dll). Kemudian muncul berbagai kitab Nibanda dengan bermacam penafsiran yang ditulis oleh para Mahareshi, Reshi dan cendekiawan Hindu. Kelompok kitab Nibanda ini antara lain adalah kitab Sarasamuscaya, Purwamimamda, Brahmasutra,Wedantasutra, Reinterpretasi dan revitalisasi selalu dilakukan terhadap kitab suci Weda ini. Oleh sebab itu orang luar sering keliru dalam menilai perkembangan serta pelaksanaan agama Hindu di berbagai negara atau daerah setempat. Di Indonesia muncul istilah Hindu Bali, Hindu Tengger, Hindu Batak, Hindu Kaharingan, Hindu Toraja, dan lain-lainnya. Kemunculannya ini disebabkan pelaksanaan ajaranNya berbeda-beda sesuai dengan daerah (desa), zaman (kala), dan manusia atau lingkungannya (patra). Demikian pula dalam penyebutan Tuhan, mempunyai kekhasan/spesifikasi masing-masing, mempergunakan bahasanva sendiri. Misalnya Ran ying Hatalla (Kaharingan), atau Hyang Widhi (Bali, Jawa) adalah sebutan untuk Tuhan. Dengan cara penyebutan seperti ini mereka lebih merasakan keberadaan Tuhan di dalam hati sanubarinya sendiri dibandingkan dengan menyembah Tuhan berdasarkan bahasa Weda, seperti Brahman misalnya.
Umat Hindu Kaharingan suku Dayak di Kalimantan Tengah memiliki pula buku suci sebagai pegangan di dalam melakukan ajaran agama Hindu. Buku suci penuntunnya, mereka sebut Kitab Suci Panaturan. Di dalam kitab suci ini disebutkan bahwa ajaran ketuhanan mereka menganut paham theisme adwaita. Artinya percaya kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, tetapi menampakkan Diri dalam berbagai wujud. Tafsir ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 Kitab Suci Panaturan tentang Tamparan taluh handini (Awal segala kejadian). Pa Se 3 dan 6 tertulis sebagai berikut:
Aku tuh Ran ying Hatalla je paling kuasa, tamparan taluh handiai tuntang kahapus.
Kalawa jetuh iye te kalawa pambelum ije inanggareku kangguranan ara hintan kaharingan (Seloka/Ayat 3).
Aku inilah Ranying Hatalla Yang Maha Kuasa, Awal dan Akhir segala kejadian dan cahaya kemuliaanKu yang terang bersih dan suci adalah Cahaya yang kekal abadi dan
Aku Sebut Ia Hintan Kaharingan.
Ranying Hatalla nuntun pahaliai tingang nureng Nyababeneng tanduk. Handung kalawa jet te puna pahalingei biti, ha yak iye mananggare gangguranan arae bagare “Jata Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan Mijen Papan Malambang Bulau Marung Laut Bapantan Hintan” (Seloka/Ayat 6).
Ranying Hatalla memperlihatkan wujud itu dengan sungguh-sungguh bahwa itu adalah bayanganNya sendiri dan Beliau memberikan nama kepada bayangan tersebut “Jata Balawang Bulu Kanaruhan Bapager Hintan Mijen Papan Malambung Bulau Marung Laut Bapantan Hintan”.
Isi dan kitab suci Panaturan tidaklah jauh berbeda dengan isi kitab atau lontar bercorak Hindu yang ada di Bali, atau di tempat lainnya. Terdapat pula di dalamnya petunjuk tentang pelaksanaan tata cara basarah (persembahyangan), melakukan upacara dan upakara Panca Yadnya. Misalnya dalam upacara Manusa Yadnya, Nahunan adalah upacara kelahiran yang terdiri atas upacara Paleteng (hamil 5 bulan), Nyaki Ehet (hamil 7 bulan), Mangkang Kahang Badak (hamil 9 bulan), dan upacara Nahunan pemberian nama anak. Ada pula upacara perkawinan yang mereka sebut Lunuk Hakaja Pating. Demikian pula dengan upacara lainnya dalam Dewa Yadnya, Reshi Yadnya, Pitra Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Seluruh pelaksanaan yadnya tersebut dilakukan berdasarkan atas petunjuk yang ada di dalam kitab suci Panaturan.
Para dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang (STAHN-TP; Tampung = perkumpulan, Penyang = semangat; semangat bersatu) Palangkaraya Kalimantan Tengah telah menyusun mata kuliah Acara Agama Hindu Kaharingan yang dipergunakan sebagai pegangan dasar pada waktu mereka mengajar mata kuliah Acara Agama Hindu di sekolahnya. Ketua STAHN-TP, Drs. Midday, MM, yang semula dosen di Universitas Palangkaraya, sebagai warga suku Dayak Kaharingan, sangat peduli akan masalah peningkatan kualitas akademik warganya, khususnya dalam pendidikan agama Hindu.
Salah seorang alumninya, Mariatie, SAg, seorang wanita Dayak Kaharingan yang energik, sekarang dosen di almamater nya, ditugaskan sebagai koordinator untuk menyusun buku Pedoman Acara Agama Hindu Kaharingan. Buku pedoman ini sebagian besar bersumber dari kitab suci Panaturan, sebuah kitab suci yang telah dimiliki oleh warga Dayak Kaharingan sejak jaman dahulu. Kitab suci inilah yang dipergunakan sebagai penuntun dan pedoman oleh warga suku Dayak Kaharingan oleh para dosen STAHN Tampung Penyang diharapkan tidak hanya warga Dayak Kaharingan, khususnya para mahasiswa, akan lebih memahami tentang tattwa, etika dan upacara serta upakara agama Hindu yang berkembang di suku Dayak Kaharingan, tetapi juga masyarakat lainnya di Nusantara ini, bahkan juga orang asing yang ingin tahu tentang Hindu Kaharingan.

Source: www.parisada.org

Menyelami Magic di Pulau Dewata

Oleh Gde Putra
 peneliti tentang isu-isu sosial dan aktif di Komunitas Taman 65 Bali

Inilah contoh konflik antar-kerabat manusia Bali di era kontemporer.
Walau siang kala itu tidak seperti hari-hari sebelumnya yang biasa remang karena mendung tebal menyelimuti angkasa, namun tetap saja suasana terasa muram. Sinar cerah matahari terkesan mubasir dikalahkan isak tangis seorang ibu yang menyeruak keheningan. Spontan saja para tetangga berhamburan datang mendekatinya.
Kesedihan sangat terasa, beberapa kerabat berusaha menenangkan ibu yang sedang memeluk erat putranya itu. Akhirnya anak muda kesayangan wanita paruh baya itu terbujur kaku tidak bernapas setelah sekian lama berjuang melawan sakit.
Bagaimana ibu itu tidak kalang kabut sebab lima bulan lalu perempuan berusia lima puluhan tahun itu ditinggalkan sang suami. Sekarang lelaki buah hatinya menyusul untuk dikramasi.
Karena pihak rumah sakit tak mampu menyembuhkan sakit suami serta putranya, maka pengobatan alternatif pun pernah juga ditempuhnya. Sudah lebih dari delapan kali ibu itu mengajak suami dan anak laki-lakinya ke balian (paranormal). Jawaban yang didapatkannya selalu sama. Oleh karena itu, ibu beserta anak perempuan satu-satunya yang tersisa sangat meyakini diagnosis “orang pintar” tersebut. Bahwa tragedi itu akibat desti atau “magic” dari kerabat yang sentimen.
Tidak pelak kecurigaan mengarah kepada saudara laki-laki suaminya. Sang suami tidak mengizinkan adiknya menjual tanah warisan leluhur ke investor. Keduanya sama-sama ngotot maka terjadilah percekcokan. Ketika konflik sedang berlangsung hangat sang suami tiba-tiba mendadak sakit. Kemudian menyusul anak laki-lakinya. Karena peristiwa yang serba kebetulan ditambah diagnosis para ahli supranatural yang selalu sama percis, maka isu desti menjadi trending topic di kampung ibu itu sampai saat tulisan ini dibuat.
Rontok
Keyakinan kuat manusia Bali sampai saat ini bahwa serangan lewat “senjata” tak kasat mata dari pihak keluarga yang iri hati, atau sakit hati patut untuk dikaji. Persoalan tersebut penting diulas di era Bali pasca bom. Tragedi bom Bali melahirkan wacana jaga Bali (Ajeg Bali). Respon jaga Bali oleh desa adat dan banjar yang secara berlebih-lebihan mencurigai pendatang menegaskan sebuah pandangan bahwa “musuh” itu ada di luar kelompok.
Penduduk pendatang menjadi bulan-bulanan prasangka rasisme yang didengungkan juga oleh aparat negara atas nama penertiban penduduk. Namun pengertian “musuh” eksternal ini akan rontok jikalau melihat wacana perang desti di antara para kerabat di Bali.
Pertanyaan kemudian muncul, siapa sebenarnya “musuh” itu? Apakah benar “orang luar”?
Menarik untuk diselami ternyata Bali yang dikenal kuat dengan sistem kekerabatannya memiliki banyak cerita prahara justru dengan sesamanya. Jika kita menyimak kisah pewayangan, tidak sedikit permusuhan antara kerabat muncul dalam lakon. Pelajari juga perjalanan sejarah raja-raja di Bali yang berhamburan kisah saling intrik antarkeluarga. Apalagi jika pandangan kita arahkan ke zaman setelah kemerdekaan yaitu tragedi masa lalu paling gelap dari bangsa ini, Tragedi 65.
Memang banyak kajian sejarah serta testimoni yang memaparkan bahwa militer dan para milisi sipil sebagai actor pembantaian puluhan ribu manusia Bali yang dicap Komunis. Namun sangat mudah juga ditemui cerita pengkhianatan antar-orang dekat yang melatari dibunuh, hilang serta dipenjarakannya sanak saudara saat tragedi berlangsung. Dengarkan juga istilah “Sangut” yang akrab terdengar di sekeliling kita. Sangut, sosok punakawan licik dalam pewayangan ini menjadi kata sifat terhadap figur oportunis di sekitar kita yang loyalitasnya diragukan. Bagi saya sebagai manusia Bali penting mempelajarai sisi rapuh persaudaraan dan kisah khianat-mengkhianati ini. Menciptakan persatuan untuk menghadapi musuh di luar akan ambrol jika kesatuan itu pada dasarnya retak karena penuh sandiwara yang seolah-olah di antara mereka tidak ada persoalan.
Sistem rumah sakit di republik ini yang masih kacau balau berimplikasi terhadap terawatnya prasangka sakit akibat desti di pulau Dewata. Maraknya kasus mall praktik, pelayanan rumah sakit yang tak profesional, dan membumbung tingginya biaya pengobatan membuat masyarakat dalam situasi krisis ini ragu mempercayai kesaktian para dokter. Bahkan banyak orang kaya di Indonesia dan juga Bali khususnya berobat ke Singapura. Bagi kalangan atas berobat di tanah air sendiri dengan biaya mahal tidak mampu meyakinkan mereka bahwa sakitnya akan sembuh.
Wacana desti di masyarakat selalu muncul setelah seseorang yang mengalami sakit berulangkali ke dokter dan tidak sembuh-sembuh. Orang itu akan berpendapat ketika rumah sakit tidak bisa menyembuhkannya berarti ada kekuatan di luar alasan medis yang menggerogoti tubuhnya. Rumah sakit juga masih sulit dijangkau oleh penduduk Bali yang khususnya tinggal di pelosok desa. Situasi ini menyebakan para pasien memilih pergi ke Balian sebagai pilihan alternatifnya.
Gosip
Konsep tentang sakit dari persepektif balian sangatlah berbeda dengan perspektif dokter. Sakit dari perspektif dokter biasanya bersumber dari faktor kekuatan tubuh pasien yang lemah terhadap kondisi lingkungannya. Penjelasaannya pun sangat ilmiah misalnya sakit akibat virus, bakteri, mutasi kimiawi atau perubahan cuaca ekstrem.
Sedangkan sakit dari perspektif balian disebabkan oleh faktor tarik menarik antara dunia niskala dan sekala. Dua dunia yang dipercayai ada oleh umat Hindu di Bali, tak terpisah dan saling mempengaruhi. Dunia niskala yaitu dunia tak terlihat dunianya para roh, dewa-dewi, leluhur serta para bhutakala. Sedangkan dunia sekala yaitu dunia nyata dunianya manusia beserta mahluk hidup lainnya. Semisal seseorang sakit bukanlah karena virus atau bakteri tertentu tetapi disebabkan amarah roh penunggu karena pohon tempat tinggalnya roh dibabat oleh pemilik rumah. Seseorang sakit karena lupa mengaturkan sesajen kepada dewa-dewi. Seseorang sakit karena desti dari kerabat yang belajar magic dengan memuja dewa-dewi agar mengabulkan hasrat dendamnnya.
Terlepas dari amburadulnya sistem rumah sakit, dan kuatnya kepercayaan terhadap hal-hal seperti itu, sebenarnya kokohnya wacana desti di masyarakat terkait dengan “benefit” yang didapat pihak berkepentingan dari penyebaran wacana tersebut. Keberhasilan seseorang menyebarkan isu desti ke masyarakat adalah bagian dari mekanisme menyerang sekaligus pertahanan diri dari “musuh”. Ketika gosip menyebar di masyarakat bahwa ada seseorang menggunakan desti untuk menyakiti kerabatnya maka si korban gosip akan terasa diawasi oleh masyarakat. Orang yang didakwa lewat gosip sosial akan mengalami rasa malu karena dicap sebagai sosok tega tak punya hati.
Seperti apa yang dilakukan ibu malang itu, dengan bisik-bisik dia menebar kisah kepada para pelayat bahwa musibah keluarganya karena desti. Ibu itu berharap masyarakat meyakininya dan berpihak kepadanya.
Gosip miring tampaknya sudah menyebar. Keluarga dari saudara almarhum suaminya terlihat salah tingkah saat perhelatan upacara ngaben digelar. Karena menjadi bagian dari tuan rumah yang punya hajat maka adik suaminya itu berusaha keras kelihatan baik di depan pelayat. Dia menyalami para tamu, ngobrol dan memanggil istri almarhum saudaranya di saat ada pelayat menjenguk. Kedua belah pihak berpura-pura kompak. Mirip pementasan drama, tampak laki-laki lima puluhan tahun itu berjuang melawan gossip miring itu.
Lelaki yang jarang ngobrol dengan keponakannya itu terlihat khusyuk memandikan tubuh laki-laki dua puluhan tahun itu sebelum dibawa ke kuburan. Pria berambut uban ini juga sigap menyiapkan sarana upacara keponakannya yang akan dikremasi. Dia ingin meyakinkan masyarakat bahwa kisah itu gosip semata alias tidak benar. Di sisi lain ibu yang ketiban malang itu tidak kenal menyerah menebarkan kisah desti ke khalayak walau penuh kehati-hatian agar tidak ketahuan keluarga iparnya.
Outsider
Bagi pihak yang akrab dan kenal maka akan mudah melihat kedua belah pihak yang pada dasarnya sedarah dan se-pura itu tak saling sapa biarpun tampak kompak saat upacara. Sedangkan bagi pihak “outsider” seperti beberapa wisatawan yang asik menikmati jalannya perhelatan akan berasumsi pemandangan di depan matanya mewakili solidnya kolektivitas masyarakat Bali. Asumsi itu masuk di akal karena pariwisata budaya tidak memberikan celah cerita-cerita perpecahan ke telinga wisatawan. Padahal di dalam parade kekompakan itu terjadi pertempuran halus yang berusaha menggoyahkan pencitraan masing-masing kelompok.
Dari persoalan ibu itu kita bisa melihat bahwa ritual tidak melulu tentang rekatnya persaudaraan melainkan tentang retaknya persaudaraan. Ritual adalah ajang “politik” dalam mencari pengaruh khalayak. Ada beberapa di antara khalayak yang ikut menempel kepentingannya dengan aktif menyebarkan gosip desti ke segala penjuru. Adik almarhum suaminya terkenal suka mangkir dalam kegiatan banjar karena pekerjaanya sebagai satpam sulit diabaikan. Dia sering lari dari tanggung jawab sosial di saat semuanya berkorban demi berjalannya adat istiadat. Masuk akal banyak yang ikut mengambil kesempatan.
Prahara keluarga ibu itu hanyalah salah satu kisah dari sekian banyak kisah tentang konflik tanah yang melatari perang di balik layar antar-kerabat di Bali. Sangat masuk akal karena tanah memiliki nilai ekonomi tinggi. Pada zaman Orde Baru, pemerintah membukakan pintu terhadap kedatangan investor. Bali mengandalkan pariwisata sebagai “senjata” pemikat. Semenjak itu tanah menjadi target investasi yang menggiurkan untuk pembangunan pariwisata. Investor tidak hanya berburu tanah di daerah pusat wisata melainkan mulai merambah ke pelosok desa. Sangat sulit mencari celah kosong dengan pemandangan sawah atau tebing yang lengang di Ubud saat ini.
Investor menggerakan langkahnya ke pinggiran karena pemandangan di sana masih asri. Seperti daerah pinggiran Ubud yang menjadi tempat tinggal ibu itu setahap demi setahap diisi kehadiran bangunan megah berukuran besar, berfasilitas lengkap dengan kolam renang di dalamnya. Occupy daerah pinggiran ini juga berkaitan dengan trend “green” yang melanda dunia. Ada semacam dorongan untuk meraih sensasi “organic”, yaitu jika ingin dekat dengan alam maka tinggalah di daerah hijau yang penduduknya belum terkontaminasi “modernitas”.
Fakta yang muncul kemudian daerah pesisir atau pinggiran di serbu oleh kehadiran villa. Harga tanah yang dulunya tak bernilai menjadi melonjak tinggi.
Rayuan
Tidak dapat dipungkiri manusia Bali berlomba-lomba mensertifikatkan tanah leluhurnya. Ketika proses pensertifikatan tanah inilah muncul persoalan yang mengarah pada percekcokan internal. Pada dasarnya tanah itu adalah tanah komunal (keluarga) yang tak memiliki kepemilikan personal. Sawah, tebing dan ladang yang menjadi penopang pura keluarga juga diperebutkan. Jikalau rayuan investor menyentuh hati para tetua, tak pelak para tetua yang diamanatkan keluarga besar sebagai pemegang sertifikat tanah pura tergoda untuk menjualnya. Benang kusut konflik tanah antara pro-kontra penjualan, dan pihak yang merasa dirugikan versus pihak yang merasa diuntungkan melandasi wacana desti di Pulau Seribu Pura.
Tidak sedikit perempuan menjadi korban dari konflik tanah setelah ditinggalkan oleh suami mereka. Sang istri merasa sendiri di sebuah keluarga yang sebenarnya secara akar bukanlah keluarganya. Apalagi dia seorang perempuan dan tak memiliki anak laki-laki. Posisi ibu itu sangatlah riskan karena tanah yang ditempatinya sekarang begitu strategis. Tentu saja ada pihak yang bekerpentingan untuk mengambil alih. Mitos janda calonarang dengan kekuatan desti yang melegenda dalam benak manusia Bali sering kali digunakan dalil “pengusiran” secara halus oleh kerabat.
Janda itu tidak diajak bicara, tidak dilibatkan dalam upacara, atau setiap pemberian apapun dari janda itu ditolak oleh kerabatnya. Alasannya kekuatan magic janda itu bisa membuat ritual tak berjalan lancar. Menerima makanan pemberian janda bisa fatal akibatnya sebab diyakini mengandung racun desti. Bagi perempuan yang tidak kuat terhadap perlakuan itu biasanya akan “kabur” ke rumah asalnya.
Isu magic yang terlebih dahulu melekat kepada saudara laki-laki suaminya itu memberikan sebuah keuntungan bagi ibu itu karena menyelamatkanya dari pergunjingan sosial. Dengan aktif menebarkan wacana desti, Ibu itu ingin mengajak pihak keluarga besar dan warga banjar untuk mencurigai kesetiaan sosial dari keluarga adik almarhum suaminya itu. Jika isu desti berhasil menyebar dan memiliki banyak penggemar maka bisa merusak hubungan subjek itu dengan keluarga besar dan warga banjar.
Seperti kita ketahui ritual di Bali banyak jenisnya, bersifat rutin dan beberapa ritual wajib melibatkan kerabat dan warga banjar.
Perasaan tak enak akan menghinggapi subjek tersebut di saat dia memiliki hajatan ritual sebab dihadiri orang-orang yang tidak nyaman dengan dirinya. Telah menjadi rahasia umum bahwa “musuh” warga sebenarnya merasa sungkan untuk mengundang para kerabat dan warga banjar. Namun seandainya nekat tidak mengundang tentu bisa gawat karena menunjukan dirinya berani beroposisi menantang massa.
Kolesterol
Dari situasi pelik itu kita akan melihat bahwa kolektivitas di Bali juga digerakan oleh ketidak-ikhlasan yang dipaksakan ikhlas untuk berbagi materi, tenaga, waktu dan emosi dengan sesamanya. Situasi serba tak ikhlas ini semakin parah di era krisis ekonomi ini karena biaya solidaritas seperti makanan, rokok, aqua dan lain-lain selalu naik tak pernah turun.
Melihat hal itu pihak “musuh” tentu tidak tinggal diam. Mereka mempunyai senjata ampuh untuk meredamnya. Wacana medis mereka gunakan untuk menghantam isu magic yang disebarkan ibu itu. Keluarga adik suaminya mengcounter isu magic dengan menyebarkan cerita kepada para khlayak bahwa kematian suami ibu itu karena stroke. Suami ibu itu terkenal malas bergerak dan selalu tidak tahan diri untuk menyantap lawar babi, makanan khas Bali berkolesterol tinggi. Upaya mengcounter isu magic itu juga terlihat dalam perhelatan ngaben putra ibu itu. Tak henti-hentinya sang paman menjelaskan ke pelayat bahwa kematian keponakannya itu karena pendarahan di kepala yang sudah kronis. Pendarahan itu didapat dari kecelakaan berkendaraan satu tahun lalu. Kebiasaan keponakannya dalam memendam masalah menyebabkan keluarga tidak menyadari bahwa sakit di kepalanya begitu parah.
Menarik melihat perang wacana antara isu magic vs isu medis oleh dua keluarga yang berseteru. Bukan persoalan mana yang benar, namun bagaimana isu ini berusaha mengontrol keberpihakan khalayak. Isu medis digunakan pihak musuh untuk meyakini masyarakat bahwa kematian suami serta anak laki-laki ibu itu akibat dari sikap mereka sendiri yang acuh terhadap kondisi kesehatan tubuhnya. Isu medis menjadi semacam otokritik terhadap subjek si penderita sakit bahwa dia adalah korban dari ulahnya sendiri.
Adapun isu magic menempatkan kematian kedua lelaki tercinta ibu itu sebagai korban dari pihak “musuh” yang dendam kepada mereka. Pihak “musuh” menggunakan wacana medis sebagai senjata karena ingin membawa persoalan tanah ini ke ranah privat yang tak layak dikonsumsi publik. Sedangkan lewat wacana desti ibu itu ingin membawa persoalan pelik tentang sengketa tanah keluarga ke wilayah publik. Pihak “musuh” ingin merahasiakan persoalan domestik yang dihadapinya agar pencitraan mereka tidak tambah buruk. Sang ibu malang itu justru ingin mengungkab aib agar gamblang disimak khalayak sehingga citra buruk adik suaminya semakin menguat.
Pertengkaran sesama kerabat ini pada dasarnya berakar dari ketidak becusan negara dalam mengelola politik pertanahan yang cenderung berpihak kepada investor. Begitu gamblang terlihat hukum di negara ini bisa dipermainkan jika punya modal. Agar manusia Bali mau menjual tanah maka dunia bertani dibunuhnya pelan-pelan. Dari kebijakan revolusi hijau yang membuat tanah tak sehat, pupuk yang harganya mahal, sulitnya air mengalir di persawahan karena sungainya dikapling swasta, hingga masuknya beras impor dengan harga murah.
Tidak ada yang mau jadi petani lagi sehingga dengan mudah sawah-sawah raib ke tangan investor.
Rasa frustasi semakin menggila karena biaya upacara dan sekolah anak-anak membutuhkan rupiah dalam jumlah banyak. Makanya jangan heran ketika investor datang maka anak cucu saling tantang rebutan sawah dan ladang. Sulit bermusuhan total karena upacara mewajibkan mereka saling berpegangan. Mereka pun berkumpul dalam hati yang bimbang dan berperang dalam remang agar upacara berjalan tenang serta warga tak tegang.

Source: www.balebengong.net