Oleh. I Gede Dharman Gunawan, SH., S.Pd.H., M.Pd.H.
Dosen Pengajar di IHDN Denpasar
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang
sama dengan pendidikan moral dan
pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk
pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga
negara yang baik. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam
konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan
nilai-nilai yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam membina
kepribadian generasi muda. Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman
nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Secara garis besar, jadi pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha
pengembangan dan mendidik karakter seseorang, yaitu kejiwaan, akhlak dan budi
pekerti sehingga menjadi lebih baik.
Terdapat beberapa nilai-nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan
karakter bangsa. Mulai tahun ajaran 2011, seluruh tingkat pendidikan di
Indonesia harus menyisipkan pendidikan berkarakter tersebut dalam proses
pendidikannya, antara lain:
a.
Religius, yakni Sikap
dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran
terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama
lain.
b.
Jujur, yakni
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
c.
Toleransi, yakni
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
d.
Disiplin, yakni Tindakan
yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.
e.
Kerja Keras,
yakni Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
f.
Kreatif, yakni
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki.
g.
Mandiri, yakni Sikap
dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan
tugas-tugas.
h.
Demokratis,
yakni Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
i.
Rasa Ingin Tahu,
yakni Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam
dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
j.
Semangat
Kebangsaan, yakni Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
k.
Cinta Tanah Air,
yakni Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
l.
Menghargai
Prestasi, yakni Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati
keberhasilan orang lain.
m.
Bersahabat/Komunikatif,
yakni Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
n.
Cinta Damai,
yakni Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
o.
Gemar Membaca,
yakni Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan
kebajikan bagi dirinya.
p.
Peduli
Lingkungan, yakni Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan
pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
q.
Peduli Sosial,
yakni Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
r.
Tanggung Jawab,
yakni Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya,
yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Pembahasan mengenai nilai-nilai Susila/Etika pendidikan agama Hindu mencakup
beberapa komponen utama. Selanjutnya bagaimana makna susila/etika pendidikan
agama Hindu dalam pembentukan karakter yang dimaksudkan dapat disimak
paparannya berikut ini.
1. Catur Asrama
Catur
Asrama artinya empat
lapangan atau lapisan hidup manusia sebagai tempat menimba pendidikan spiritual
dan kehidupan material. Dalam pustaka Silakrama
ada dijelaskan mengenai ajaran etika pendidikan agama Hindu mengenai atur asrama. Pembagian catur asrama adalah brahmacari asrama, grahastha asrama, wanaprastha asrama, dan bhiksuka/sanyasin asrama.
Apa
makna dari masing-masing asrama tersebut? Brahmacari
asrama adalah tingkat kehidupan manusia pada saat menuntut ilmupengetahuan. Grahastha asrama adalah tingkat hidup
manusia pada saat membina rumah tangga serta melangsungkan keturunan yang
utama. Wanaprastha asrama adalah
tingkat hidup manusia pada saat mengasingkan diri ke hutan dengan tujuan untuk
melepaskan kehidupan grahastha yakni
mencapai ketenangan batin dan mendalami ajaran spiritual. Bhiksuka/sanyasin asrama adalah tingkat hidup manusia pada saat
meminta-minta di sekitar kehidupan masyarakat luas. Tahapan ini merupakan
tahapan penting untuk mengakhiri tahapan kehidupan di dunia ini sebelum menuju
dunia akhir.
2. Panca Yama Bratha
Panca
Yama Bratha artinya lima
jenis prilaku hidup manusia yang wajib dikendalikan dan diarahkan menuju
kebaikan dan kebenaran. Pembagian panca
yama bratha yakni ahimsa artinya
tidak membunuh atau tidak menyakiti atau yang sejenis, terlebih lagi menyiksa
peserta didik, hal itu dilarang keras. Brahmacari
artinya dengan tekun dan rajin menimba ilmu pengetahuan dan teknlogi. Pada
masa ini hanya belajarlah yang diutamakan, hal lain seperti percintaan
dinomorduakan. Satya artinya
kesetiaan, kebenaran dan ketaatan. Siapapun dalam mengupayakan pendidikan tentu
syarat benar dan setia tetap diutamakan, jangan sampai diabaikan bigitu saja,
dikawatirkan bisa menuju kegagalan. Awyawaharika
artinya tidak adanya keterikatan terhadap ikatan duniawi. Hal ini dimaksudkan
untuk adanya fokus untuk menimba berbagai disiplin ilmu pegetahuan dan
teknologi bagi para pelajar. Asteya
artinya tidak melakukan pencurian, oleh karena mencuri dapat merusak moral para
pelajar.
3. Panca Niyama Bratha
Panca
Niyama Bratha artinya
lima macam perilaku manusia yang patut dikendalikan menuju ke arah kebaikan
serta kesempurnaan. Pembagiannya adalah akrodha,
guru susrusa, sauca, aharalagawa, dan
apramada. Apa makna dari kelima jenis sikap tersebut? Berikut ini akrodha adalah tidak marah. Marah itu
tidak baik yang menyebabkan kefatalan bersama. Guru susrusa artinya patuh untuk mengikuti dan menerapkan ajaran
sang guru. Jika hal itu
dilakukan maka kesuksesan menjadi
milik para pelakunya. Sauca artinya adanya kesucian secara lahir dan batin
yang harmonis. Salah satu komponen suci dan yang lainnya kotor, maka hal itu
kurang harmonis. Aharalagawa artinya
menikmati makanan yang sederhana atau tidak berfoya-foya. Hal ini untuk
menjamin hidup sehat lahir dan batin. Apramada
artinya perilaku yang tidak ingkar pada kewajiban diri maupun terhadap orang
lain. Hal ini untuk menjamin hubungan
yang utuh dalam kebersamaan.
4. Dasa Yama Bratha
Dasa
Yama Bratha artinya
sepuluh jenis ajaran moral dengan tujuan untuk membina dan mengarahkan prilaku
manusia menuju budi pekerti yang luhur/mulia sehingga tercapai tujuan hidup
sakala dan niskala. Pembagian dasa yama
bratha yaitu anrasangsya, ksama,
satya, ahimsa, dama, arjawa, priti, prasada, madhurya, dan mardawa. Makna dari semua bagian
tersebut perlu dipahami secara komprehensif guna memiliki nilai tntnan
spiritual bagi kehidupan nyata di dunia ini.
Anrasangsya artinya perilaku yang tidak
mementingkan diri sendiri. Ksama artinya prilaku yang suka mengampuni atau
memaafkan sesama dan yang lainnya sebagai wujud sikap terpuji. Satya artinya sikap yang benar, setia,
dan jujur. Ahimsa artinya tidak suka
menyakiti, tidak menyiksa, dan tidak membunuh. Dama artinya memiliki sikap sabar dan tenang. Arjawa artinya sikap yang jujur dan tulus iklas/suka berterus
terang. Priti artinya sikap yang
selalu mengasihi sesama. Prasada
artinya sikap yang mulia dan suci yang disertai dengan sikap ketulusikhlasan.Madhurya artinya memiliki sikap dan
perangai yang manis dan lembut. Mardawa
artinya sikap atau sifat yang rendah hati penuh keramahtamahan.
5. Sapta Timira
Sapta
Timira artinya tujuh
jenis kegelapan dalam kehidupan manusia. Bagiannya adalah surupa (ketampanan) yakni karena memiliki wajah tampan dan ayu
membuat lupa diri sehingga terjadi hidup nista. Dhana (kekayaan) yaitu adanya artha benda yang melimpah tetapi
tidak bermakna bagi pemiliknya yang menyebabkan kefatalan hidup. Guna (kepandaian) yaitu sikap yang tidak
memknai kepandaian dengan wajar sehingga orang lain diperbodoh atau
diolok-olok. Kulina (kebangsawanan)
yaitu kegelapan dari status keluarga yang terhormat namun tidak ditempatkan
pada posisinya yang simpatik, sehingga menimbulkan perilaku congkak dengan
sesama. Yowana (keremajaan) yaitu
sikap tidak terpuji karena merasa diri masih mampu, kuat, dan tenaga masih
muda, sehingga berlaku tidak senonoh dengan yang lainnya. Sura (minuman keras) yakni perilaku yang suka melakukan
mabuk-mabukan dengan minuman keras dan yang sejenis, sehingga hidup menjadi
tidak terarah. Kasuran
(kemenangan/keberanian) yakni perilaku yang berani tetapi bermakna. Tidak bisa
sekadar berana dalam bertindak yang asal pukul dulu urusan belakangan, sikap
demikian tidak dibenarkan. Mestinya berani dalam membela kebenaran yang sejati.
6. Sad Tatayi
Sad Tatayi adalah enam macam pembunuhan
yang kejam. Pembagiannya adalah agnida artinya
membakar sampai menimbukan kematian, wisada
artinya meracuni, atharwa artinya
melakukan ilmu hitam, sastraghna artinya
mengamuk dengan senjata sampai menimbulkan kematian, dratikrama artinya menyiksa atau memperkos, dan rajapisuna artinya memfitnah. Semua
ajaran disiplin ini wajib dipatuhi.
Sad Tatayi sebagai ajaran atau aturan
disiplin agar dipahami dengan sebaik-baiknya, yang harapannya adalah agar tidak
sesuka hati membakar milik orang lain, tidak suka meracuni orang lain dan
hewan/binatang di sekitarnya, tidak suka mengganggu dengan ilmu haluan kiri
semacam santet, leak, teluh, dan yang sejenis. Juga tidak suka mengamuk tanpa
dasar yang jelas yang erugikan jiwa dan material orang lain. Tidak melakukan
penyiksaan dan pemerkosaan yang bukan haknya. Satu yang utama tidak melakukan
fitnahan pada orang lain yang menyebabkan orang lain itu menjadi sengsara dan
menderita. Aturan ini dimaksudkan agar para pelajar tidak melakukan kekejaman
intelektual semacam disebutkan di atas.
7. Catur Paramita
Catur paramita adalah empat jenis
prilaku manusia yang luhur dan mulia. Keluhuran dan kemuliaan budi pekerti
merupakan cita-cita bagi segenap umat manusia oleh karena ajaran catur paramita tersebut sebagai ajaran
etika dalam pendidikan dan dalam kehidupan bersama dalam masyarakat secara
luas. Pembagian catur paramita adalah
maitri, karuna, muditha, dan upeksa. Maitri artinya kelembutan dalam bergaul serta keramahan dalam hidup
bersama. Karuna artinya perilaku yang
penuh dengan belas kasih serta sayang sesama maupun yang ada di sekitarnya. Muditha artinya dapat berprilaku yang
ceria, gembira, suka cita serta bahagia terhadap semua yang ada di sekitarnya. Upeksa artinya sikap yang mulia untuk
menghargai dan menghormati sesama serta makhluk lainnya.
8. Catur Prawrti
Catur
Prawrti artinya empat
macam tuntnan atau pedoman hidupyang patut diterapkan oleh insan Hindu termasu
juga para pemimpin umat. Pembagiannya adalah arjawa, anrsangsya, dama, dan indranigraha.
Maksud dari masing-masing bagian tersebut, arjawa
artinya memiliki sikap yang jujur dan benar; anrsangsya artinya sikap yang tidak mementingkan diri sendiri,
tidak bersifat keakuan/tidak ego, serta tidak gila pujian; dama artinya suka menasihati diri sendiri dan kuat dalam
mengendalikan diri sendiri; dan indranigraha
artinya dapat mengendalikan nafsu jahat atau nafsu birahi yang bejat atau yang
sejenis yang hanya mengumbar birahi belaka tanpa memiliki nilai suci dan mulia.
9. Catur Guru
Catur
Guru adalah empat macam
guru atau penuntun kehidupan spiritual dan nyata bagi kehidupan umat manusia
untuk menuju kesempurnaan hidup. Pembagian catur
guru, yaitu guru swadhyaya, guru
rupaka, guru pengajian, dan guru
wisesa. Guru Swadhyaya adalah
guru utama, guru sejati, guru niskala (Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi
Wasa). Guru Rupaka/Guru Reka adalah
orang tua di rumah yang menjadi penuntut dan pendidik pertama dan utama dalam
keluarga (ayah dan ibu). Guru
Pengajian/Guru Waktra adalah guru yang bertugas memberikan materi pelajaran
di sekolah atau di kampus. Guru Wisesa
adalah guru yang bertugas membina dan menuntun kehidupan masyarakat luas, dalam
hal ini adalah pihak pemerintah ataupun para raja pada jaman dahulu.
10. Wiweka
Wiweka artinya perilaku yang waspada penuh
pertimbangan serta kehati-hatian. Hal positif dan negatif atau baik dan buruk
menjadi dasar dalam bertindak. Tidak terjadinya kecerobohan dan kefatalan dalam
bertindak, oleh hal yang negatif atau keburukan sedapat mungkin untuk tidak
dilakukan. Perbuatan baik yang diutamakan (subha
karma) dan perbuatan buruk (asubha
karma) yang dijauhi atau tidak dilakukan.
11. Tat Twam Asi
Tat
twam asi artinya itu
adala kamu. Maksudnya adalah segala prilaku dan tindakan manusia diharapkan
untuk tetapsaling menghormati, menghargai, saling membantu, dan saling
menjunjung rasa senasib sepenanggungan, rasa kebesamaan dan adanya sikap
toleransi terhadap semua komponen kehidupan di dunia ini.
12. Sad Ripu
Sad Ripu artinya enam musuh. Secara etika bahwa
dalam pengelolaa pendidikan agama Hindu bahwa enam musuh tersebut harus dihindari,
dijauhi, dan dimusnahkan. Permusuhan sedapat mungkin tidak sampai terjadi.
Musuh menyebabkan terganggunya roda perjalanan pendidikan yang ideal sesuai
dengan yang dicita-citakan. Pembagian sad
ripu meliputi : 1) kama/raga
artinya nafsu; 2) lobha/tamak artinya
rakus; 3) krodha artinya kemarahan;
4) moha artinya kebingungan, 5) mada artinya mabuk, dan 6) matsarya artinya dengki atau irihati.
Bila dimaknai dari enam jenis musuh di
atas, bahwa kama itu perlu
dikendalikan menuju pada nafsu yang terarah dan membawa dampak positif. Lobha atau rakus menyebabkan adanya
pemborosan dan kecerobohan antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini
sedapat mungkin dientaskan dari sang diri. Krodha
atau marah itu menyebabkan kegelapan dan kegusaran. Juga menyebabkan tidak
terkonsentrasinya segala aktivitas. Hal ini juga harus dilepaskan adalam
aktivitas rutin kehidupan manusia. Moha
atau kebingungan maksudnya adalah hal yang menghambat proses berpikir sehat dan
bekerja secara kebaikan. Kuncinya adalah jauhi pikirann yang bingung guna
menuju kecerahan dan kejernihan berpikir. Mada
atau mabuk merupakan perilaku atau tata laku yang tidak terpuji. Perilaku mabuk
itu dilarang oleh ajaran agama maupun tata krama hidup bersama. Hindari faktor
penyebab kemabukan itu jika ingin hidup tenang dan damai. Matsarya atau irihati merupakan tata laku yang buruk oleh karena
dapat mengganggu ketenangan dan kenyamanan dalam hidup bersama. Orang lain
mendapat kemajuan seharusnya didukung dan dihargai. Tidak perlu merasa sewot
jika orang di sekitar menjadi sukses dan unggul.
13. Tri Kaya Parisudha
Tri
Kaya Parisudha artinya
tiga perilaku yang dimuliakan dan disucikan oleh setiap umat Hindu. Bagiannya
adalah manacika parisudha, wacika parisudha,
kayika parisudha. Ajaran etika Hindu tentang tri kaya parisudha ini adalah sebagai landasan utama dalam berpikir
yang baik dan benar, berkata yang baik da benar, serta bertindak yang baik dan
benar. Apapun yang dikerjakan atau dilakukan hendaknya diawali dengan pola
pikir yang sehat, cermat, arif, mulia, bijaksana, wiweka, serta pelan tetapi
mantap. Bila hal itu telah dilakukan maka perilaku berikutnya adalah munculnya
perkataaan atau pembicaraan yang menyenangkan atau tidak menimbulkan ketersinggungan,
atau tidak mengeluarkan kata-kata yang kasar dan menyakitkan orang lain. Dari
dasar pikiran dan perkataan yang simpatik dan terpuji tersebut pada akhirnya
muncullah perbuatan yang terpuji pula atau bisa membahagiakan sesama manusia.
Idealnya adalah seperti itu. Namun terkadang dalam kenyataan sering tejadi
ketimpangan dalam prakteknya.
14. Catur Marga
Catur
Marga adalah empat cara
atau jalan utama menuju alam sempurna di dunia ini maupun kehadapan Hyang Widhi
Wasa. Pembagian adalah bhakti marga, karma marga, jnana marga, dan
raja marga. Bhakti marga adalah jalan bhakti atau pengabdian yang dilakukan
oleh umat Hind menuju Hyang Pencipta.
Karma marga adalah jalan kerja untuk kelepasan yakni alam Hyang Widhi Wasa. Jnana marga adalah jalan pengetahuan
suci sebagai media menuju keluhuran spiritual sehingga dapat tercapai alam
Hyang Widhi. Rraja marga adalah cara
atau jalan untuk mencapai suatu kebebasan atau kesempurnaan hidup yang
tertinggi yakni tercapainya moksa.
Cara ini dapat ditempuh denga cara yoga
dengan menerapkan astangga yoga oleh
Patanjali, antara lain : yama
(pengendalian diri tahap pertama), niyama
(pengendalian diri tahap anjut),
asana (pengaturan sikap badan),
pranayama (pengaturan nafas dengan baik),
pratyahara (sikap pemusatan pikiran),
dharana (sikap pemusatan pikiran tahap lanjutan), dhyana (sikap pemusatan pikiran yang terpusat), dan samadhi (meditasi atau penyatuan pikiran dengan Hyang Widhi Wasa).
15. Tri Mala
Tri
Mala adalah tiga jenis
prilaku kotor atau dusta yang dilakukan oleh manusia. Bagiannya yaitu : 1) Moha yakni kejahatan dalam pikiran; 2) Mada yakni kejahatan karena ucapan atau
perkataan; da 3) Kasmala yaitu
kejahatan karena perbuatan atau perilaku yang kotor.
16. Tri Parartha
Tri Parartha adalah tiga hal yang
dijadikan landasan utama untuk menuju kesempurnaan, kebahagiaan, kesejahtraan,
keselamatan, kesentausaan, serta kemuliaa hidup bagi umat manusia. Adapun
pembagian dari tri parartha, antara
lain : 1) asih artinya cinta, kasih,
dan sayang, 2) punya artinya dermawan, tulus ikhlas, suci, dan rela, 3) bhakti
artinya hormat, bakti, sujud, dan rendah hati.
17. Tri Guna
Tri
Guna adalah tiga macam
sifat yang dimiliki oleh manusia. Ketiga sifat yang dimaksudkan adalah 1) satwam yakni sifat tenang, sabar,
bijaksana, jujur, kasih, dan sayang, 2)
rajas yakni sifat bersemangat, rajin,
lincah, pemarah, ingin menang sendiri,
dan 3) tamas
yakni sifat yang malas, lambat, bodoh, serta acak-acakan. Ketiga sifat ini
dimiliki oleh setiap orang, namun tergantung pada kepribadian seseorang itu. Jika orang itu mampu menguasai sifat rajas
dan tamas, maka menjadilah dia orang yang lembut dan tenang. Sebaliknya jika
sifat satwam tidak nampak pada orang
itu, maka sifat orang itu cendrung menjadi pemalas, pemarah, suka main
perintah, mendikte orang lain, menutupi kesalahan sendiri tetapi membicarakan
kejelekan orang lain, dan sebagainya.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang
bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari ajaran
agama yang juga disebut sebagai the
golden rule serta bersumber dari nilai tradisional yang tumbuh di
masyarakat yang disebut juga local genius.
Dalam prakteknya merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara
sistematis untuk membantu memahami nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat.
Masyarakat Bali sudah memulai pendidikan karakter itu dengan
menerapkan nilai-nilai local geniusnya.
Dari jaman leluhur masyarakat Bali terdahulu sampai sekarangpun masih
menerapkan proses itu untuk tetap berjalan. Seperti orang tua dahulu
menyebutkan konsep “buka petapan padi ne”
yang artinya sepertilah padi didalam menuntut ilmu, yang berawal dari kosong
kemudian terjadi perbahan dinamika sehingga menjadi berisi. Dalam keadaan yang
berisi inilah henhaknya dapat mengamalkan ilmu pengetahuannya dengan baik dan
untuk membantu sesamanya. Kemudian konsep “buka
petapan rook ne” yang memiliki makna bahwa segala sesuatu jika tidak
dimanfaatkan dengan pengelolaan yang baik maka akan cepat habis, sehingga
pengelolaan dalam berbagai hal sangat penting untuk menciptakan kesinambungan
dan keberlanjutan. Selain itu juga nilai-nilai pembentukan karakter berdasarkan
nilai tradisional Bali terdapat dalam untaian lagu “Bungan Sandat”, dimana dalam lagu tersebut memiliki makna yang
sangat tinggi berkenaan dengan pembentukan karakter generasi muda Bali.
Janganlah seperti Bungan Pucuk dan Kembang Bintang, melainkan menjadilah
seperti Bungan Sandat. Pendidikan
moral dan karakter sangat kental dalam lagu ini, dimana para remaja hendaknya
memaksimalkan waktunya untuk terus belajar mengisi ilmu pengetahuan. Sehingga
dapat bermakna kelak di masa tua.
Pengembangan karakter berdasarkan nilai local genius tolak ukurnya adalah pengamalan Konsep Tri Hita Karana. Konsep yang bersumber
dari ajaran Agama Hindu ini telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat
Bali. Semenjak anak-anak sampai menjelang ajalpun orang bali melaksanakan
konsep tersebut. Kata Tri Hita Karana
berasal dari bahasa Sanskerta dimana kata Tri
artinya tiga, Hita artinya sejahtera
atau bahagia sedangkan Karana artinya
sebab atau penyebab. Jadi Tri Hita Karana
artinya tiga hubungan yang sangat harmonis yang mengakibatkan umat manusia
mencapai kebahagiaan/kesejahtraan. Penerapannya terdiri dari: hubungan antara
manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya, hubungan manusia
dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya dan hubungan
antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra Yadnya, Resi Yadnya,
serta Manusia Yadnya. Di Bali konsep Tri
Hita Karana ini tercermin dalam tata kehidupan masyarakat Hindu yang
meliputi tiga unit yaitu : Parahyangan, yaitu berupa
unit tempat suci ( Pura ) tertentu yang mencerminkan tentang konsep Ketuhanan, Pawongan,
yaitu berupa unit tempat organisasi masyarakat sebagai perwujudan hubungan
unsur antara sesama manusia, Palemahan, yaitu berupa
unit wilayah tertentu sebagai perwujudan unsur manusia dengan alam lingkungan.
Salah satu contoh sederhana dalam sebuah keluarga Hindu di Bali,
orang tua kita selalu menghaturkan yadnya sesa setelah selesai masak. Hal ini
mengandung makna hubungan antara manusia dengan Tuhan. Bahwa sebelum kita mulai
menikmati makanan, terlebih dahulu kita haturkan rasa syukur lewat yadnya sesa.
Contoh lain, di Bali kita juga mengenal hari untuk memuliakan tanaman, hewan
bahkan peralatan kerja yang dipakai setiap hari. Banjar sebagai wadah dalam
mengikat budaya dan adat orang Bali juga membawa pengaruh besar bagi karakter
orang Bali. Tanpa disadari, kita telah menanamkan konsep-konsep tersebut kepada
anak-anak kita, yang dengan sifat keingintahuannya menyebabkan terjadinya “Transfer
of Characther” melalui pengamatan dan pengalaman hidup (life skill).
Kelebihan karakter dan prilaku orang Bali dibandingkan orang di daerah lain
adalah sebagai berikut: berpedoman pada ajaran Tri Hita Karana, memegang teguh tradisi dan ritual keagamaan,
menganggap penting aktivitas di pura dan banjar, percaya pada hukum karma,
peduli kelestarian lingkungan, menjunjung tinggi kejujuran, membenci sikap
serakah dalam mencari keuntungan, menjaga tradisi gotong royong (ngayah) dan harmoni kekeluargan, terbuka
dan toleran terhadap orang yang berbeda budaya dan adaptif terhadap budaya
modern dan profesionalisme.
Dengan demikian bahwa orang Bali telah dibekali pendidikan karakter
oleh orang tuanya. Pendidikan orang Bali secara informal telah mencakup
pendidikan karakter. Sepanjang Masyarakat Bali tetap mempertahankan tradisi,
adat dan hubungan dengan leluhur yang berlandaskan ajaran agama Hindu, niscaya
proses pendidikan karakter itu akan tetap berproses.
Penyelenggaraan pendidikan agama Hindu diperlukan
suatu tatanan utama sebagai pedoman dalam meraih keberhasilan dalam pengelolaannya.
Tatanan yang dimaksudkan adalah adanya penerapan aturan atau etika/susila Hindu
yang jelas dan pasti di dalam upaya untuk mencapai kesuksesan yang
dicita-citakan. Ajaran etika Hindu yang utama dijadikan landasan berpijak dalam
pembentukan karakter yang bersumber dari nilai-nilai ajaran tata susila agama Hindu
dan nilai-nilai tradisional masyarakat Bali. Beberapa nilai-nilai ajaran tata
susila agama Hindu dan nilai-nilai tradisional masyarakat Bali dalam mengelola
pendidikan agama Hindu hendaknya diterapkan secara rutin, mantap, dan secara kebersamaan
dalam pembentukan karakter generasi muda Hindu tersebut. Jika hal itu telah
diupayakan niscaya kualitas pendidikan agama Hindu menjadi kenyataan terutama
dalam mencetak kader Hindu sebagai generasi penerus agama Hindu dan bangsa
Indonesia yang bertanggung jawab dan penuh dedikasi. Hal itu patut menjadi
target utama sebagai sekala prioritas dalam pencapaiannya.