Manusia
dikatakan sebagai makhluk yang sempurna karena ia dianugerahi kekuatan dan kemampuan
untuk berpikir, berbuat dan berbicara secara arif dan bijaksana. Dasar kekuatan
dan kemampuan inilah yang nantinya akan mengantarkan hidup manusia menuju
kesempurnaan. Untuk mencapai kesempurnaan hidup, manusia harus melewati
berbagai proses yang panjang dan tidaklah mudah. Dalam upaya mewujudkan tujuan
suci tersebut, diperlukan suatu proses penyucian diri baik secara lahir maupun
batin melalui sebuah upacara yadnya yaitu pawintenan atau mawinten.
Upacara
pawintenan atau mawinten merupakan puncak dari upacara Manusia Yadnya dalam
upaya membersihkan diri secara lahir dan batin. Dalam kitab Manawa Dharma Sastra 26 dan
27 menyebutkan :
"Waidikaih karmabhih punyair,
nyekadir dwijanmanam, kayah carira samskarah, pawanah pretya cahatah"
Artinya
:
Sesuai
dengan ketentuan-ketentuan pustaka Weda, upacara-upacara suci hendaknya
dilakukan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim ibu, serta upacara-upacara
kemanusiaan lainnya, bagi orang bijaksana karena dapat mensucikan diri sendiri
segala dosa dalam hidup ini maupun setelah meninggal dunia.
"Garnhair homair jatakarma,
cauda maunjini bandhanah, baijikam garbhikan caino dwijanamapamrjyate"
Artinya
:
Dengan
upacara membakar bau-bauan harum pada waktu hamil, dengan upacara Jatakarma
(kelahiran) upacara cauda (upacara gunting rambut pertama) dan upacara maunji
bandana (upacara memberi kalung, gelang) maka segala kekotoran yang terdapat
dari orang tua akan hilang, dari orang-orang bijaksana.
Kedua sloka tersebut menjelaskan bahwa upacara manusa
yadnya, bermakna menyucikan diri manusia itu sendiri, bertujuan menyucikan tri
sarira dari manusia itu sendiri. Bila tri sarira itu sudah suci akan sangat
baik menjadi wadah untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa
mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan maka manusia akan kehilangan
perikemanusiaannya.
Mawinten berasal dari bahasa jawa
kuno, yang terdiri dari dua suku kata yakni kata mawi yang artinya menjadi
dan kata inten artinya permata berwarna putih dengan cahayanya berkilau.
Jadi kata mawinten disini mengandung makna menjadikan manusia agar mampu
memberikan cahaya berupa sinar sucinya, agar dapat mengantarkan hidup manusia di
jalan kemuliaan. Upacara Mawinten bisa dilaksanakan
oleh siapa saja. Dalam Mawinten ada 3 tingkatan upacara dan itu tergantung dari
keadaan orang yang akan menjalankannya, yaitu:
- Mawinten dengan ayaban saraswati
sederhana adalah upacara penyucian diri dengan memuja Dewi Saraswati
sebagai sakti Brahma yang mencipta ilmu pengetahuan, dan yang melaksanakan
pawintenan ini yaitu yang baru belajar agama, pegawai kantor agama, dll.
- Mawinten dengan ayaban bebangkit
upacara medium adalah penyucian diri dengan memuja Dewi Saraswati dan
Bethara Gana sebagai putra Siwa yang berfungsi sebagai pelindung manusia, dan
yang melaksanakan pawintenan ini adalah para tukang, sangging, tukang
banten, dll.
- Mawinten dengan ayaban catur
upacara utama adalah pensucian diri dengan memuja para Dewa : Iswara,
Brahma, Mahadewa dan Wisnu sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa, dan
yang melaksanakan pawintenan ini adalah para pemangku, dalang, pendeta,
dll.
Pada umumnya pelaksanakan upacara
Mawinten ini, di lakukan saat menjelang upacara Penyineban atau hari penutupan
Piodalan (ulang tahun pura) yang disebut dengan Nyurud Hayu. Nyurud artinya
memohon dan Hayu artinya keselamatan. Jadi Nyurud Hayu adalah memohon
keselamatan Kepada Hyang Widhi Wasa, Bhatara-Bhatari dan Leluhur.
Upacara Mawinten ini bisa juga
dilaksanakan pada saat bulan purnama, dengan maksud agar pembersihan dan
penyucian terhadap dirinya benar benar bersih serta terang benderang dan
berkilau seperti sinar bulan purnama
Tempat
penyelenggaraan upacara Mawinten ini umumnya di Pura. Prosesi Mawinten untuk
Pamangku, biasanya dilaksanakan ditempat dimana mereka akan mengabdikan diri
sebagai Pamangku, misalnya di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dhang
Kahyangan, Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat atau di Sanggah atau Merajan. Adapun
pemimpin upacara Mawinten adalah seorang Pendeta. Di beberapa desa di Bali atau
di luar Bali yang tidak mempunyai pendeta, upacara Mawinten dapat dilaksanakan
dengan cara memohon kehadapan Hyang Widhi Wasa yang diantar oleh pamangku senior,
dan Mawinten ini disebut Pawintenan ke Widhi.
Proses upacara Mawinten adalah sebagai berikut :
1.
Upacara
melukat yaitu pembersihan diri dari yang akan diwinten dengan sarana air kelapa
muda (klungah) yang telah dijadikan Tirtha oleh pendeta/pinandita melalui doa,
puja dan mantra weda. Selanjutnya dipercikkan ke ubun-ubun dan badan yang
diwinten.
2.
Upacara
mabyakala bertujuan memberikan pengorbanan suci kepada mahluk halus (bhutakala)
agar tidak mengganggu jalannya upacara.
3.
Upacara
pengukuhan (masakapan, padudusan, marajah) yaitu upacara penetapan sesuai
dengan jenis profesi kepamangkuan yang ditekuni, ditandai dengan sarana
penyucian asapnya api (dudus) dan menulisi organ tubuh yang diwinten dengan
aksara-aksara suci.
4.
Upacara
Maprayascita adalah memohon kekuatan-kekuatan Tuhan/manifestasiNya agar yang
diwinten dapat memiliki pandangan yang suci.
5.
Upacara
mejaya-jaya yaitu upacara yang bertujuan menyatakan rasa syukur kehadapan Hyang
Widhi Wasa, karena telah dapat dilaksanakan dengan baik.
6.
Upacara
sembahyang, bertujuan mendekatkan diri kehadapan Hyang Widhi Wasa mohon
tuntunan dan bimbinganNya agar yang diwinten dapat menjalankan kewajibannya
sesuai jenis dan tingkatan pawintenannya.
Dari rangkaian upacara Mawinten yang
disebutkan di atas, mempunyai makna sebagai berikut :
- Dengan menenangkan diri dan
memusatkan pikiran, maka akan dapat lebih terarah untuk mulai mempelajari
ilmu pengetahuan.
- Mengendalikan diri dan menuntun
seseorang untuk berpikir, berkata dan berbuat sesuai dengan ajaran dharma.
- Merupakan tahapan atau jenjang
dalam pendakian spiritual.
- Meningkatkan kebersihan dan
kesucian diri pribadi.
- Pengabdian, pelayanan kepada
Hyang Widhi Wasa dan masyarakat.
Bagi
mereka yang sudah melaksanakan Mawinten diwajibkan melakukan brata, tapa, yoga,
semedhi. Makin tinggi tingkat Mawintennya makin ketat pelaksanaan brata, tapa,
yoga, semedhi-nya, dan mereka harus rela melepaskan diri dari unsur ke
duniawan.
Apabila seseorang yang sudah Mawinten cemer, maka ia wajib
menyucikan diri kembali dengan berbagai tingkatan cara sesuai dengan tingkat
kecemerannya.
Misalnya jika hanya menyantap makanan di
tempat orang berhalangan kematian, cukup dengan meprayascita saja. Jika sampai
mengambil/memegang jenazah wajib mengulangi upacara Mawintennya yang dinamakan
upacara “masepuh”.
Dari
pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan hendaknya kita menghayati makna dari Dharma Pawintenan itu secara lahir
akan menuntun mereka yang melaksanakan pawintenan untuk berpikir, berkata dan
berbuat sesuai dengan ajaran Dharma dan secara batin mengandung kesucian untuk
mengendalikan pikirannya untuk mematuhi petunjuk-petunjuk terhadap dharma. (HIJ)